1/
Puisi bukan cuma ketepatan soal semantik dalam diksi. Namun, hal itu terkait pula soal bagaimana seorang penyair meletakkan diksi dalam koherensinya dengan gita-puitik, lukisan-puitik, dan pendalaman-tematik pada satu sintaksis puitik secara presisif. Jika simetri dari empat unsur itu sudah terbentuk, barulah Anda mungkin mencipta “cacat artistik”, tanpa merusak simetrinya. Itulah maknanya invensi atau inovasi dalam puisi. Jika tidak, maka puisi-puisi yang Anda tulis hanya akan jadi silogisme yang tepat, tapi tak berjiwa. Tidak hidup.
Namun, andai kita mau bicara soal ketepatan semantik dalam diksi, berarti kita akan bicara perihal koherensi antarmakna dan atau korespondensi dengan fakta, dan itu artinya kita bicara soal simetri dalam sintaksis puitik. Bicara soal simetri, terutama dalam konteks sintaksis puitik, bisa juga didekati dengan konsep “relasi” pada teori himpunan. Mari kita lihat bagaimana relasi itu terbentuk dalam konteks logika modalitas, logika yang hendak mengukur ketepatan “makna” satu proposisi dengan dua operator: ‘mungkin’ dan ‘niscaya’.
Ada sembilan relasi dalam aksioma logika modalitas (“□” simbol untuk operator “niscaya” dan “◇” simbol untuk operator “mungkin”), yaitu:
(D): □A→◊A, ∃u wRu, Relasi Serial;
(M): □A→A, wRw, Relasi Refleksif;
(4): □A→□□A, (wRv & vRu) ⇒ wRu, Relasi Transitif;
(B): A→□◊A, wRv ⇒ vRw, Relasi Simetris;
(5): ◊A→□◊A, (wRv & wRu) ⇒ vRu, Relasi Euclidis;
(CD): ◊A→□A, (wRv & wRu) ⇒ v=u, Relasi Fungsional;
(□M): □(□A→A), wRv ⇒ vRv, Relasi Pergeseran Refleksif;
(C4): □□A→□A, wRv ⇒ ∃u(wRu & uRv), Relasi Pekat;
(C): ◊□A → □◊A, wRv & wRx ⇒ ∃u(vRu & xRu), Relasi Konvergen.
Berikut ini beberapa prinsip dasar dari logika modalitas yang dirumuskan oleh C. Lewis dan Lukasiewicz ke dalam logika simbolis (matematis):
1) Jika suatu hal itu niscaya (necessarily), maka hal tersebut berarti harus jadi mungkin (possibly).
2) Jika suatu hal itu niscaya, maka hal tersebut berarti tidak mustahil.
3) Jika suatu hal itu mustahil, maka hal tersebut secara niscaya salah.
4) Jika suatu hal secara niscaya salah, maka hal tersebut berarti mustahil.
5) Jika suatu hal diniscayakan oleh hal yang secara niscaya benar, hal tersebut benar secara niscaya.
6) Segala yang niscaya adalah benar-benar faktual atau benar-benar mungkin.
Sekarang, jika Anda mau dan paham soal logika modalitas, maka silakan buktikan hipotesis di atas dengan menguji, misalnya, puisi-puisi modern atau kontemporer dunia. Sebagai contoh Anda bisa menguji—dalam konteks ketepatan makna sintaksis puitik dengan menggunakan logika modalitas—suatu puisi “dadaisme” karya Shinkichi Takahashi (1901 – 1987), seorang penyair dadaisme dan sekaligus pendeta Zen di Jepang, berikut ini:
WAKTU
Waktu seolah angin danau
Menyentuh wajahnya,
Segala renungan meninggalkan pikirannya.
Suatu pagi matahari, yang mengancam,
Terbit dari punggung gunung,
Menghanguskan pohonan—seperti harapan.
Sepenuhnya terjaga, ia nyalakan pipa
Dan seolah matahari tengah menghela napasnya
Waktu tercurah—seperti hujan, seperti buah-buahan.
Ia menoleh ke belakang dan melihat kapal itu
Tengah berlayar menuju masa lalu. Dengan satu tangan
Ia mencengkeram layar keabadian,
Dan memasukkan seluruh semesta ke dalam matanya.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>