31/
Kini, pertama kalinya, para ilmuwan telah menemukan formula klasik untuk “pi” dalam dunia fisika kuantum. Pi adalah rasio antara keliling lingkaran dan diameternya, dan sangat penting dalam matematika murni, tapi sekarang para ilmuwan telah menemukan bahwa “pi” juga “bersembunyi” di dalam dunia fisika, tepatnya ketika mekanika kuantum menemukan bahwa “pi” juga terdapat pada saat membandingkan tingkat energi dari atom hidrogen. Hal yang sebelumnya dianggap sebagai “puisi matematis”, bilangan “pi” itu, kini telah terbukti memiliki korespondensinya dengan realitas fisik. Di sini alasan saya kenapa menyukai sains, karena di dalam sains baik sains murni maupun sains terapan tak pernah dianggap bertentangan, tetapi saling menguatkan, saling berkaitan.
32/
Puisi, seperti juga seni lainnya, bisa sederhana maupun kompleks dalam strukturnya. Baik sederhana maupun kompleks akan sama menggetarkan bila puisi itu ditulis dengan presisi dan keteguhan jiwa. Haiku-haiku Basho yang ditulis dengan struktur sederhana maupun haiku-haiku Tomas Transtromer yang dituliskan dengan struktur kompleks, keduanya sama menggetarkan. Seorang yang “memahami” dan telah melangkah di “jalan-setapak-estetika” akan langsung bisa membedakan mana puisi yang ditulis dengan seluruh “Jiwa” dan mana yang sekadarnya saja. Begitu pula halnya dengan seni bertarung pedang. Hanya orang bodoh yang nekat bertarung dengan para master samurai “iaido” semata karena melihat gerakan “kata” mereka yang rileks dan tak memahami bahwa para master samurai itu telah berlatih sepanjang hidupnya, menjadikannya sebagai “Jalan Hidup”. Dan kita sungguh-sungguh tertipu oleh ego kita sendiri jika berpikir bisa mengalahkan para master samurai ini tanpa belajar teori bertarung pedang dengan benar dan melatihnya selama bertahun-tahun. Di dalam pertarungan pedang yang nyata nyawa kita tidak bisa diselamatkan hanya dengan menggembungkan ego bodoh kita. Begitu pula halnya dalam menulis puisi.
33/
Menuntut orang lain untuk rendah hati adalah salah satu keangkuhan terselubung. Jika kau memang rendah hati, maka jangan tuntut siapa pun untuk melakukannya kepadamu, tetapi tundukkan saja dan–bila perlu–penggallah sendiri kepalamu yang penuh muslihat egoistik itu. Negeri ini sudah lama diselimuti tuntutan rendah hati atau kesantunan palsu model begitu, semacam politik etis para “menir”, agar kau terus merangkak-rangkak sebagai “koeli” di hadapannya.
Saya teringat pendapat spiritualis besar pada abad ke-19 dari India, Swami Vivekananda: “Tak ada dosa terbesar manusia selain menjadi lemah, karena bila demikian kau telah merendahkan martabat kemanusiaanmu sendiri dan meletakkannya di bawah telapak kakimu. Jadilah kuat, sehingga kau tak perlu merengek-rengek menuntut orang lain untuk melakukan kebaikan moral kepadamu, sebab sungguh tidaklah etis bila kau menuntut orang lain untuk menjadi budak kebaikan moralmu. Jadilah cerdas, sehingga seluruh dunia akan terbantu dengan berkurangnya satu orang bodoh di muka bumi. Tuhan Maha Kuat, maka jadilah kuat!”
34/
Penulis medioker itu selalu menuntut dan memaksa orang lain agar “rendah diri” di hadapan “dewa-dewa sastra” yang bloon. Jika ada orang lain terbang, ia segera menuntut orang lain itu merangkak-rangkak di tanah, sebab terbang dianggapnya sebagai bentuk keangkuhan (padahal maksudnya jangan terbang melebihi dirinya). Jika seseorang berjalan di tanah, maka ia akan mengejek orang yang berjalan di tanah itu agar segera terbang ke langit, tanpa memberi tahu bagaimana caranya terbang. Itulah mental feodal–termasuk bila sosok itu memiliki gelar akademis tertinggi–yang tak pernah bisa menatap sebiji benih bertumbuh menjadi sebatang pohon menjulang.
Mental feodalistik macam begitu tak lain satu bentuk kemunafikan karena selalu menuntut yang lain agar “rendah hati”, padahal maksud sebenarnya hanyalah agar yang lain itu selalu rendah diri di hadapannya. Rendah hati palsu semacam itu telah membuktikan hasilnya di sini: penjajahan selama berabad-abad. Kolonialisme dan feodalisme selalu bisa akrab, karena memang memiliki watak yang sama: budak! Kenapa? Karena hanya orang yang memiliki mental budaklah yang akan mampu memperbudak yang lain.
Di sini, di negeri ini, menurut saya, tak pernah ada pascakolonialisme, yang ada hanyalah epikolonialisme. Gagasan soal ini telah saya kemukakan dalam satu esai berjudul “Puisi Sugesti, Situasi Epikolonial, Logika Irasional” pada tahun 1994, saat saya masih mahasiswa, dan telah banyak beredar dalam berbagai situs internet hingga saat ini. Kata “epi” saya pinjam dari seorang filsuf Spanyol awal abad ke-20, George Santayana–mentor dari penyair Wallace Stevens–yang mengemukakan gagasan tentang epifenomenalisme, sebuah gagasan yang menyatakan bahwa fenomena kesadaran atau jiwa hanyalah hasil dari aktivitas tubuh, kelanjutan dari aktivitas tubuh. Begitu pun halnya dengan epikolonialisme, setelah penjajahan fisik berlalu pada proklamasi kemerdekaan 1945, maka penjajahan di negeri ini terus berlanjut dalam bentuk penjajahan pikiran, penjahan jiwa, penjajahan mental kepada bangsa sendiri. Penjajahan itu, pada dasarnya adalah soal mental, mental medioker dan bukan eksplorer.
35/
Dalam penulisan puisi, saya melanjutkan pandangan Chairil Anwar: “Saya adalah ahli waris kebudayaan dunia.” Sejak awal saya menekuni dunia sastra hingga saat ini saya nyaris tak mengalami konflik identitas seperti yang dialami para penulis pascakolonial dan realisme magis. Saya mencintai mitos-mitos Yunani, sama seperti saya mencintai syair-syair Hamzah Fansuri dan Abdullah bin Abdul Qadir Munsyi, hingga gurindam Raja Ali Haji. Saya terkagum dengan Vigyan Bairava Tantra dan koan-koan Zen, sama seperti saya kagum dengan Serat Centini dan La Galigo. Saya menekuni Zen dan Yoga dan Silat Kali, sama seperti saya menekuni logika simbolis juga matematika diskrit dan kosmologi kuantum juga teori khaos. Saya jatuh cinta kepada puisi-puisi China klasik dan haiku, sama seperti saya jatuh cinta kepada puisi-puisi imajisme dan surealistik. Saya studi linguistika dan semiotika secara intensif, sama seperti saya studi teks-teks sufistik dan budhistik. Saya suka musik klasik dan jazz, sama seperti saya suka musik etnik nusantara. Saya terhisap lukisan-lukisan impresionisme dan pasca-imrpresionisme, sama seperti saya terhisap motif-motif arabeska dan lukisan non-perspektif China dan Persia klasik, lukisan cukil kayu Jepang, hingga lukisan tradisional Bali. Saya terkagum dengan tari Butoh, sama seperti saya takjub dengan tari saman dan serimpi dan bedoyo. Saya membaca filsafat Eropa, sama seperti saya membaca filsafat Ki Ageng Suryomentaram. Dan, meski demikian, dari awal hingga akhir, saya tetap berada di halaman rumah saya.
36/
Momen puitik itu bukan renungan, bukan letikan emosi, bukan persepsi inderawi, melainkan hal yang membangunkan VIRTUE–nilai-nilai dalam kemanusiaanmu. Pencetusnya bisa apa dan siapa saja, bisa hal yang dianggap besar atau kecil, yang jelas bila momen puitik itu timbul kau akan menjadi lebih manusiawi.
37/
Guru pertama saya menulis puisi adalah puisi-puisi Chairil Anwar di dalam buku tipis yang berjudul DERU TJAMPUR DEBU. Itulah buku puisi pertama yang saya baca dari lemari perpustakaan ayah saya pada saat saya kelas 2 SMP, 29 tahun lalu. Setelah membaca buku itu saya pun mulai menulis puisi di dalam buku tulis, hingga berpuluh-puluh buku tulis. Saya juga terus membaca buku-buku sastra ejaan lama dalam lemari perpustakaan ayah saya. Pada saat kenaikan kelas 3 SMP, ayah saya bertanya apa hadiah yang saya minta. Spontan saya jawab: MESIN KETIK. Esoknya ayah saya membawa saya ke pasar loak ‘Sederhana‘, satu lorong di samping terminal angkot Tanjungkarang, dan membelikan saya mesin ketik kecil merek Brothers. Dengan mesin ketik itu saya menuliskan puisi-puisi saya dan mempublikasikannya ke media massa dan mengikuti berbagai festival sastra hingga saya mahasiswa. Setelah ayah saya meninggal barulah saya tahu dari ibu saya bahwa ayah saya berhutang di kantornya demi membeli mesin ketik itu. Pagi ini saya bersihkan mesin ketik itu dengan mata berkaca-kaca.
38/
Di dalam sastra atau seni pada umumnya, orang bisa mencuri teknik, tapi tak mungkin mencuri momen puitik atau momen estetik. Teknik bisa dipelajari, tapi momen puitik hanya bisa dimasuki ketika batin kita sadar sepenuhnya.
39/
Dalam bidang apa pun, dalam hal apa pun, dalam jalan apa pun, kita akan menemukan Zen, Chan, Dzogchen, Ghyan, Dien–menemukan kedalaman sekaligus keluasan–menemukan Samadi, termasuk di dalam sepotong puisi. Perbedaan hanya ada di dalam pikiran yang mendiskriminasi, yang hibuk memecah, memilah, bukan pada Jatidiri. Orang bisa berpikir Keheningan mampu dipecahkan dengan teriakan atau isak lirih–benar, namun tak selamanya. Tak ada teriakan atau isak lirih yang bisa abadi. Ketika semua itu berlalu, yang tersisa hanyalah Keheningan, jeda dalam ruang puitik itu, tepat seperti sebelumnya.
40/
Tiga tahun menjelang akhir hidupnya, sebelum memutuskan matinya sendiri, Vincent van Gogh hidup dalam momen artistik dari hari ke hari, melukiskan batinnya yang ia persepsi pada alam dan figur di sekelilingnya dan ia ekspresikan ke dalam kanvas-kanvasnya. Saat melukis ia terserap ke dalam momen artistik itu dengan utuh. Ia tak memikirkan yang lain, hanya lukisan dan lukisan dan lukisan yang memenuhi batinnya. Ia hidup dalam bentuk dan warna. Ke mana pun matanya memandang hanya lukisan yang ada, hanya presensi dari Keindahan yang sungguh-sungguh nyata. Ia hilang ke dalam lukisan, di dalam Keindahan. Dan orang-orang hanya menganggapnya sakit atau gila. Ia tak peduli. Baginya, momen artistik itu, momen puitik itu, adalah jatidirinya. Ia tak butuh jatidiri lain di luar dirinya. Dan ketika selesai, ketika seluruh energinya habis, seperti pelita yang kehabisan minyak, ia pun memutuskan meniup sendiri sisa api di sumbu pelita batinnya. Seniman memang tak abadi, tak sempurna–tapi adakah manusia yang sempurna, kecuali dalam mitos dan pikiran kita sendiri? Teks seni mungkin abadi, seniman tidak.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>