More

    Sebelum Kunang-kunang : Sehimpun Catatan Lepas

    41/
    Puisi tanpa ”Gita Puitik” adalah prosa. Puisi tanpa ”Lukisan Puitik” adalah filosofi atau khotbah palsu. Puisi tanpa ”Pendalaman Tematik” adalah racauan. Memadukan dengan laras ketiga hal itu adalah inti dari ”Komposisi Puitik”. Kompleksitas kerja kreatif penciptaan puisi terjadi ketika setiap unsur dari “Komposisi Puitik” itu juga memiliki unsur-unsur yang mesti dilaraskan menjadi satu komposisi (Sub-Komposisi Puitik). Rasa saya hal begini tak mungkin dilakukan tanpa pengetahuan yang memadai tentang teori sastra (ars poetica) dan latihan menulis yang tiada henti. Karena itu mencipta puisi bagi saya lebih merupakan ”Jalan-Hidup” ketimbang kendaraan buat menggembungkan ego penulis puisi akan popularitas pribadi.

    42/
    Saya hanya menulis puisi ketika ada momen puitik yang menyentuh jiwa saya, sebuah momen keserentakan yang meluaskan sekaligus mendalamkan pikiran dan rasa saya, dan karenanya layak untuk dituliskan ke dalam puisi. Dengan begitu puisi akan menjadi bahasa jiwa yang diabadikan oleh jiwa agar mampu menyentuh dan membangkitkan keindahan tersembunyi di dalam jiwa kreator kedua, sang pembaca. Teknik adalah soal cara, bukan esensinya. Tetapi, tanpa teknik yang matang, jiwa itu juga tak bisa hadir ke dalam puisi, tak bisa menjadi presensi, menjadi momen puitik yang tak terganti di dalam jiwa pembaca.

    43/
    Ame Agaru, “Selepas Hujan”, frasa yang menjadi judul naskah film yang terakhir ditulis Akira Kurosawa, sutradara film kelas dunia dari Jepang itu, amatlah puitis. Kenapa? Frasa puitik itu bukanlah simbol atau metafora atau simile–karena dalam konteks majas perbandingan frasa itu tak “menunjuk” pada “satu” topik yang pasti, yang dicarikan titik persamaan dengan “kendaraan majasnya”. Frasa puitik itu adalah semacam semiotik, semacam tanda yang secara serentak membuka ruang bagi kehadiran tanda-tanda lainnya. Frasa “Selepas Hujan secara serentak merujuk pada sekian tanda sebelumnya dan menunjuk pada sekian tanda setelahnya. Tanda itu dapat merujuk pada kejadian sebelum hujan itu, mungkin pesta yang hangat dalam cuaca yang dingin, mungkin keriuhan pertarungan seorang ronin, mungkin rasa sayu saat berjalan sendiri pada setapak jalan di tepi hutan, dan sekaligus menunjuk pada tanda setelah hujan: Keheningan, kejernihan langit di angkasa, seekor elang yang melayang sendiri tanpa suara. “Ame Agaru” adalah tanda yang dapat merujuk pada satu hal yang pasti, tetapi serentak pula menunjuk pada segala yang mungkin–seperti jiwa, seperti puisi.

    - Advertisement -

    44/
    ”Bunuh diri kelas” itu gampang diomongkan. ”Melakoni solitude” itu gampang diserukan. Tapi, uji sesungguhnya ada dalam laku, bukan dalam khotbah. Lao Tze berkata, ”Tao bukan menambah, tapi mengurangi.” Itu sama dengan aforisma sufi: ”Matilah sebelum mati.” Tiba mati kita tak membawa apa-apa, hanya sendiri, sepenuhnya sendiri. Saat terjaga, kita tak melihat segala yang ada dalam mimpi, namun kini bunga-bunga rumput itu nampak bermekaran di depan mata.

    45/
    “Ilmu pedang adalah soal jiwa. Pelajari jiwa sebelum mempelajari ilmu pedang. Pikiran jahat, pedang pun jahat,” kata Takuan Soho. Rasa saya, perkataan Takuan Soho kepada Musashi ini bisa sedikit dimodifikasi, kata ‘pedang’ bisa diganti ‘puisi’: “Puisi adalah soal jiwa. Pelajari jiwa sebelum mempelajari puisi. Pikiran buruk, puisi pun buruk.”

    46/
    Ketika dunia sastra lebih banyak mengurusi pribadi sastrawannya ketimbang karya sastra, maka itulah tanda-tanda dunia sastra sedang mandeg. Dunia sastra, sama seperti matematika atau fisika, di mana karya dalam bidang tersebutlah yang menjadi ukuran kemajuannya. Dalam dunia fisika teoritis atau matematika murni, seseorang diakui sebagai ilmuwan karena temuannya yang bisa diuji oleh ilmuwan lainnya. Begitu pun dalam dunia sastra, ukuran akhirnya adalah teks sastra itu sendiri, bukan sastrawannya. Anda bisa membuat mitos hiperbolik tentang sosok sastrawan, tapi Anda tak mungkin melakukannya terhadap karya sastra yang benar-benar brilian, sebab teks sastra itu sudah cukup membuktikan keindahannya. Anda bisa memfitnah sastrawan, tetapi Anda tak mungkin memfitnah sebuah teks sastra.

    47/
    Seumur hidup pelukis melarat ini tak pernah ikut pameran lukisan di mana pun di muka bumi. Ia juga tak pernah mengikuti kompetisi “Salon” di Paris–sebuah kompetisi para pelukis yang, bila lukisannya lolos seleksi oleh para kurator seni rupa di Paris, dapat melegitimasi sang penciptanya sebagai pelukis berkelas, dan lukisannya akan mulai melejit harganya di mata para kolektor masa itu. Para pelukis muda Eropa pada masa itu pun berlomba-lomba bisa mendekati para kurator “Salon” atau para pelukis yang telah sah “dibaptis” oleh mereka. Tapi, tidak bagi pelukis melarat asal Belanda yang pernah tinggal beberapa tahun di Paris. Ia hanya melukis dan bersahabat dengan beberapa pelukis pasca-impresionis yang amat dibenci oleh para kurator “Salon”–oleh sebab dianggap telah menghancurkan estetika lukisan neoklasik dan impresionis pada masa itu. Ia hanya bergaul dengan beberapa orang saja di antara pelukis pasca-impresionis, yaitu: Paul Gauguin, Lautrec, dan Georges Seurat. Selebihnya ia hanya berdiam di kamar sewanya yang murah: melukis dan mambaca dan terus menulis surat yang menceritakan seluruh proses kreatif melukisnya kepada adik lelaki satu-satunya. Sekembalinya dari Paris ia pun terus melukis dan melukis–dilambari oleh satu tekad untuk menemukan gaya melukisnya sendiri. Sepanjang hidup ia hanya mampu menjual satu lukisan, itu pun tidak dalam rangka pameran lukisan, tetapi karena ia diambang bahaya tidak makan dan terpaksa menjual lukisannya dengan harga murah. Namun, ia terus melukis dan melukis, tak peduli apakah lukisannya akan laku dijual atau kelak dia akan terkenal. Dan, akhirnya, ia pun berhasil menemukan gaya lukis ekspresionismenya yang khas itu. Kini dunia mengenang pelukis itu sebagai pelopor lukisan modern dunia. Lukisannya diburu kolektor kelas atas di mana-mana. Para kritikus memuja-muji karyanya. Para apresian terkagum-kagum dengan capaian artistiknya. Sulit membayangkan bahwa semua itu tercipta dari proses kreatif yang amat menyakitkan dan kesepian luar biasa. Pelukis itu bernama: Vincent van Gogh.

    48/
    Apa yang akan terjadi pada persepsi kita, ketika ’dewa’ yang kita hormati dan kita puja, sosok yang kita duga tak memiliki kelemahan itu, yang kita anggap mampu menyublimkan segala ‘virtue’, mendadak hadir sebagai sebuah bayangan yang cacat dan tak sempurna, yang memiliki sisi gelapnya sendiri? Wabi-sabi, ketaksempurnaan dalam kesempurnaan, hanya akan selamanya menjadi konsep, ilusi yang membayang sepanjang hidup, sebelum menjadi sebuah peristiwa. Semua yang kita bangun, baik atau buruk, cacat atau sempurna, adalah persepsi kita sendiri. Dan kita tak perlu membunuh ‘dewa’, jelas saja hal itu memang tak akan bisa, karena ia, ‘dewa’ itu, hanyalah sebuah konsep yang kita pilih untuk kita tolak atau percaya. ‘Ilusi-batu’ itu, Tuan dan Puan, tetap tegak di sana, di tepi sebuah jalan sunyi yang kini mungkin telah jarang dilalui orang.

    49/
    Menulis puisi itu subjektif. Tetapi, teks puisi itu objektif. Itulah sebabnya sebuah puisi yang benar-benar Indah, yang memiliki jiwa, akan tetap hidup bahkan ketika tubuh penyairnya sudah lama mati. Bukan sebaliknya.

    50/
    Seorang penyair yang “hidup” akan sadar bahwa pertama-tama ia menulis puisi untuk memekarkan cahaya di dalam jiwanya. Jika orang mau membuka diri, moga cahaya dalam jiwanya pun ikut mekar. Tapi, bila menutup diri, berarti itu pun pilihannya. Sebuah teks puitik seperti bibit cahaya, ia akan tumbuh dan memekarkan bunganya yang harum dan indah di lahan yang lembab, bukan gersang.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here