More

    Sebelum Kunang-kunang : Sehimpun Catatan Lepas

    51/
    Secara teknik, saya bisa mencetak penyair. Tapi, saya tak bisa mencetak Jiwa Penyair. Percayalah, tak ada kursus kilat untuk mencetaknya. Jiwa Penyair mesti dilahirkan, bukan dicetak. Begini adalah fakta yang tak terbantahkan: Segala yang tak berjiwa, hanyalah bangkai.

    52/
    Seorang sahabat saya, penyuka musik blues, pernah berkata kepada saya (tentu saja telah saya modifikasi ujarannya menjadi bahasa tulis, tapi intinya sama): “Saat mendengarkan satu musik yang indah, maka sikap pertama yang mesti kauambil hanyalah satu, yaitu: rileks. Kau tak bisa menikmati alunan nada yang indah dari suatu musik, kalau pikiranmu terus hingar dan begerak tanpa henti. Yang perlu kaulakukan hanyalah mengendurkan otot-otot tegang pikiranmu, dan menyerahkan seluruh ketegangan itu kepada nada-nada yang mengalun indah di sana. Biarkan nada-nada itu memasuki dirimu, sehingga musik pun mengalun dalam jiwamu, menjadi jiwamu.”

    Pesan sahabat saya itu acapkali muncul serupa bisikan di dalam kepala saya saat saya menjadi terlalu tegang berhadapan dengan puisi yang kompleks atau lukisan abstrak yang ganjil. Yang saya lakukan hanyalah duduk atau berdiri serileks mungkin, dan membuka diri terhadap ekspresi artistik yang aneh atau ganjil itu. Saya mengistirahatkan pikiran saya yang tegang dan hingar, dan membiarkan diri saya dihisap ke dalam keanehan eksoresi artistik itu–membiarkan mereka mengalunkan nada-nada ganjil, bentuk-bentuk aneh, makna-makna absurd–membiarkan saya dibawa ke dalam ketiadaan yang agung, keluasan dari segala yang tanpa bentuk. Lalu, pada titik itu, saya tiba-tiba akan mendengar suara yang lembut di dalam pikiran saya, seolah suara dari karya seni itu sendiri, yang dengan rileks mengungkapkan seluruh rahasianya–termasuk keindahan, keunikan, dan kepalsuannya. Begini, rasa saya, cara paling jujur dan santai untuk berdialog dengan karya seni yang memiliki ekspresi kompleks.

    - Advertisement -

    53/
    Waktu pertama kali puisi “The Waste Land” ditulis oleh penyair T. S. Eliot, edisi aslinya jauh lebih panjang daripada edisi yang dikenal oleh khalayak sastra sekarang. Lalu T. S. Eliot menunjukkan puisinya itu kepada sang mentor yang dikaguminya, konseptor puisi imajisme, Ezra Pound. Sang mentor membacanya dengan seksama, lalu tersenyum dan berkata: “Terlalu tegang, cair, dan berlarat-larat.” T. S. Eliot tersentak, tapi ia hanya diam. Dan kemudian ia meminta kepada Pound untuk mengedit total puisinya. Hasilnya adalah seperti edisi The Weste Land yang dikenal sekarang. Dan T. S. Eliot mengagumi hasil edit mentornya tersebut dan memberi kata persembahan dengan huruf kapital dalam bahasa Italia pada awal puisi The Waste Land: BAGI EZRA POUND, SANG PANDAI BESI YANG AHLI. Apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh Ezra Pound terhadap puisi The Waste Land? Kata kuncinya adalah komposisi. Seorang penyair yang piawai dalam komposisi akan mampu menyusun teks puitik yang mendalam secara tematik, kuat secara estetik, dan rileks secara spirit.

    54/
    Orang bisa belajar tentang segala teknik dan teori menulis puisi, namun tanpa menemukan “jiwa-puisi”, ia tetap tak akan bisa menulis puisi sebagai sebuah manifestasi dari Keindahan, sebuah presensi dari Kehadiran yang mampu menggetarkan hati pembacanya. Kata “jiwa” mungkin hanya sebuah metafora, namun kata itu menunjuk pada hal yang sungguh-sungguh nyata, yang melampaui setiap kata, yang, bahkan, lebih dekat daripada urat leher kita.

    55/
    Penyair Indonesia modern itu, sebagian besar, adalah tipe pemalas dalam soal mencari diksi. Sehingga yang muncul dalam konteks irama puitik (terutama rima akhir larik) dominan hanya menggunakan bunyi dari vokal A atau U. Pula, amat jarang menggunakan rima akhir kata atau larik yang berasal dari bunyi konsonan, kecuali memanfaatkan bunyi akhiran “-an” atau “-kan”. Penyair yang malas membuka kamus, baik kamus umum atau kamus sinonim kata atau kamus rima atau kamus sains, adalah jenis penyair yang malang.

    56/
    ”Aku melihat semesta di dalam sebutir pasir.” Apakah ini sebuah sintaksis puisi surealistik? Jika Anda menjawab ya, maka berarti Anda belum memahami prinsip ”Logika Gambar” yang menjadi prinsip terpenting dalam puisi surealisme. Jadi, sungguh keliru jika surealisme dianggap sebagai gerakan seni tanpa aturan, tanpa prinsip estetik, alias ngawur. Sekarang perhatikan sintaksis puitik dari Andre Breton, pelopor puisi surealisme, berikut ini: ”Aku melihat embun berkepala kucing.” Jika Anda tak bisa membedakan antara sintaksis puitik yang pertama dengan yang kedua, maka Anda berarti belum memahami prinsip dasar penulisan puisi modern. Sintaksis puitik yang pertama adalah contoh dari abstraksi sugestif, bukan surealistik. Jadi, sintaksis sugestif itu hanya dimungkinkan di dalam episteme nonmonistik, episteme paradoks, episteme keserentakan.

    57/
    Kuasai metrum, Tuan dan Puan Penyair. Pecahkan kode-kode irama, alunan nada, dalam setiap larik. Maka kita akan bisa menuliskan sintaksis puitik dengan diksi apa saja–yang arkhaik atau kontemporer, yang sopan atau banal, yang lembut atau kasar, yang hidup atau mati–sebab semua diksi itu, termasuk huruf dan tanda baca itu, tunduk dalam metrum pada sebuah sintaksis puitik. Dan karenanya, tak ada jalan lain, kita harus menemukan irama batin kita sendiri. Dengan begini saya telah memfalsifikasi tesis Prof. A. Teeuw bahwa sintaksis puitik dalam puisi-puisi Indonesia (pula puisi-puisi berbahasa Melayu) tak mengenal metrum, sebab pada faktanya bahasa Indonesia itu memiliki metrum.

    Tanpa memahami dan menguasai metrum, seorang penulis tak akan mampu menghasilkan sintaksis puitik. Seluruh pemahaman akan rima kata, rima akhir larik, alterasi, asonansi, jeda antarkata, juga tekanan nada pada huruf-huruf vokal dalam bahasa Indonesia, secara teknik, akan bermuara pada metrum. Sintaksis puitik bukan cuma soal semantik atau majas belaka, tetapi, lebih lagi, adalah soal metrum. Tentu saja, metrum dalam puisi modern atau kontemporer adalah metrum “berkaki bebas”. Kaki-kaki irama yang membentuk metrum tidak selalu berpatokan pada silabel atau suku kata dengan aturan heksameter atau pentameter seperti dalam rumusan puisi klasik dari Horace, tetapi lebih bertolak dari metrum berkaki bebas. Tanpa menguasai metrum, maka sintaksis puitik akan cair dan menjadi setara bahasa koran.

    58/
    Renungan, imajinasi, lukisan alam dan peristiwa, juga metrum yang secara serentak dikomposisikan ke dalam satu teks tertulis: itulah puisi. Semacam atom yang menyimpan seluruh jagad raya di dalam intinya: itulah puisi. Inti dari Keheningan yang berulang kali hendak dikatakan, tetapi selalu mengelak dari kepastian: itulah puisi. Tak ada definisi lain yang lebih jelas selain ini: ITULAH PUISI.

    59/
    Beberapa waktu lalu saya menonton film fiksi neurosains, berjudul “Lucy”. Konsep dasar film ini sebenarnya bagus, yaitu menjawab pertanyaan klasik dalam ilmu neurosains: Bagaimana bila otak manusia mampu bekerja dalam kapasitas 100%? Menurut riset saat ini manusia baru masuk wilayah 10% kapasitas otaknya. Plot film ini menjawab pertanyaan tersebut, dengan cara realisme magis, yaitu manusia akan menjadi “dewa” ketika otak manusia dapat mencapai kapasitas 100%, bila dan hanya bila, manusia dapat berada dalam “tubuh” superkomputer yang terhubung dengan internet. Hanya saja, solusi peningkatan kapasitas otak 100% itu adalah melalui stimulus narkoba jenis terbaru. Mendadak saya teringat kisah hidup seorang pemuda asal negeri Uncle Sam, pada tahun 60-an, saat ia melakukan kelana spiritual ke Tibet. Di sana ia bertemu dengan seorang lama (bikku Tibet) dari sekte Dzogchen. Setelah beberapa bulan belajar spiritual kepada sang lama, pemuda itu kemudian bertanya: “Guru, apakah narkoba dapat membawa kepada pencerahan?” Sambil tersenyum lembut, sang lama menjawab: “Dasar pemuda Amerika.”

    60/
    Para pemikir postmodern tak mampu menjelaskan pola-pola berulang di pasar finansial dan komoditi global (seperti fenomena boom-bust harga minyak bumi tahun 2008 atau boom-bust saham-saham perusahaan berbasis internet di Wall Street tahun 1991). Mereka juga tak mampu menjelaskan fenomena pemanasan global atau pola “hasil yang semakin meningkat” pada bisnis teknologi informasi seperti Google. Kenapa? Karena para pemikir postmodern itu menolak segala macam struktur dan pola dengan menganggapnya hanya sebagai logosentrisme. Mereka tidak dapat memahami fenomena struktur sistem terbuka dan pola-pola berulang khaotik yang menjadi dasar teori khaos itu. Dengan munculnya teori khaos, maka sebenarnya teori posmoderisme sudah berakhir secara epistemologis. Angsa hitam di tengah kumpulan angsa putih itu telah ditemukan.

    Para pemikir postmodernisme keliru ketika menyatakan pusat itu tidak ada. Kekeliruan itu karena mereka secara naif hanya menyangkal teori logosentrisme, sebuah sistem yang tertutup itu, lalu membuat inversinya. Penyangkalan seperti itu tidak menyelesaikan masalah apa pun. Penyangkalan, dalam sistem tertutup, adalah semacam trik kecil untuk memungkinkan kehadiran yang lain. Namun, pada akhirnya, setiap trik akan terbuka juga, akan berakhir. Bila trik telah berakhir, maka pusat akan nampak dengan cara berbeda, akan hadir sebagai yang terbuka, bukan sebagai subyek atau obyek epistemologis atau metafisis, melainkan sebagai predikat, sebagai proses, sebagai jalan tanpa akhir. Pusat yang terbuka itu ada di sini dan di sana, ada di mana-mana, sebagai sebuah titik atraktor yang terus bergerak di dalam ruang fase. Para spiritualis di Timur pada masa lalu, terutama pada wacana advaitha, menyebut pusat yang terbuka itu sebagai proses tanpa dualisme, sebagai presensi yang adalah representasi dan sekaligus nonrepresentasi, ketiadaan yang mengada.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here