More

    NKK/BKK dan UU Cipta Kerja dalam Teori Konflik

    Oleh : Mikdad Afiff

    Ilustrasi / Foto : Fasaz

    Knowledge is Power… (Sir Francis Bacon)

    Sketsa pemberlakuan NKK/BKK

    - Advertisement -

    Tahun 1978 lahir Konsep NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan), yang digelontorkan oleh Mendikbud, menginstruksikan: demi meningkatkan kualitas analisis mahasiswa selaku man of analysis (bukan sebagai man of public meeting), maka keberadaan organisasi Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa yang sering kali suka melibatkan para mahasiswa tergerak berpolitik praktis turun ke jalan, demi menyuarakan keadilan dan aspirasi warga masyarakat yang kerap terabaikan akibat tergerus dan tergilas roda pembangunan secara sepihak, harus disterilkan alias dibubarkan. Mahasiswa harus tekun fokus belajar meningkatkan kadar intelektualitas, tidak tengok ke kanan atau ke kiri tergoda berdemonstrasi di jalanan menguliti kebijakan pemerintah.

    Respon mahasiswa pun, terutama para aktivis, jelas marah besar, mencoba melawan habis-habisan, memberontak untuk menggagalkan konsep NKK/BKK. Tetapi apa daya, gagal. NKK/BKK pun jalan terus. Tidak sedikit aktivis mahasiswa yang frustrasi, berhenti kuliah, mencibir kampus, dan lalu terjun totalitas berbakti ke masyarakat membentuk LSM/NGO (Lembaga Swadaya Masyarakat/Non Governmental Organization). Mendikbud saat itu menantang siapa saja untuk berdebat soal NKK/BKK dan “sesumbar” ini merupakan konsep yang sempurna dan tidak ada celah bagi siapa pun untuk “menelanjanginya” sebab dirancang oleh, kalau tidak salah 8 orang profesor pintar. Tapi mahasiswa dan publik tak percaya, ada dugaan, konsepsi NKK/BKK itu dirancang oleh suatu lembaga Think Tank Politik ternama negeri ini, di mana sang Mendikbud aktif pula berkiprah di situ.

    Dari hari ke hari, tak henti lahir pernyataan “arogan” sang Mendikbud tentang kesempurnaan konsep NKK/BKK, yang jumlah lembaran halamannya lumayan banyak dan cukup sulit untuk dicerna, yang dibagikan ke semua kampus; akibatnya semakin memanaskan hati sivitas akademika kampus di seantero negeri, dan sekaligus memancing pro dan kontra di dalamnya, membelah kampus negeri maupun swasta, menjadi dua kutub diametral, antara yang hendak melawan NKK/BKK sampai “titik darah penghabisan” dengan yang merasa sebaiknya berkompromi saja, buat apa “gelap mata menubruk cadas”, tak mungkin menang melawan rezim otoriter yang saat itu tengah berada di puncak kekuatannya.

    Yang menarik ditelaah, adalah sisi perilaku individual (mikro-behavioral) Mendikbud dan seting psikososial (makro-sosietal) saat itu. Menurut perspektif JS Nimpoeno, setiap evaluasi psikologi patut menggabungkan variabel mikro-behavioral dengan makro-sosietal menjadi suatu uraian analisis psikodinamika tingkah laku. Apa sebenarnya yang ada di benak sang Mendikbud dan benak rezim Orde Baru kala itu?Sang Mendikbud memang orang pintar lulusan perguruan tinggi ternama kelas dunia, Universitas Sorbonne, Prancis. Ia terkesan orang yang kaku, soliter, bukan aktivis, menghabiskan sebahagian besar masa hidupnya dengan bersekolah, gemar menulis dan berdebat, memiliki super ego kuat yang membuatnya punya moralitas dan kejujuran yang tinggi. Di samping itu besar kemungkinan ada juga predisposisi perfeksionis, rendah diri, yang agaknya disertai kecenderungan neurotik dan paranoid dalam dirinya; dan maaf ia tidak tergolong “good looking”. Paling tidak, secara gestalt, bisa tertangkap aura, katakanlah semacam potensi endapan bagi kecenderungan bawah sadar terkristalnya perilaku menjadi figur “buldozer intelektual” jika sekiranya diberi wewenang kekuasaan formal yang cukup besar di suatu organisasi. Secara keseluruhan ia sesungguhnya individu yang berhati baik, namun cukup keras kepala, dan suka merasa dirinyalah yang paling benar.

    Sebelum ia dilimpahi kepercayaan tertinggi menjadi menteri, memang sudah sering terjadi demonstrasi mahasiswa, dan salah satu yang terbesar, dikenal dengan sebutan Peristiwa Malari (demonstrasi mahasiswa 15 Januari 1974) yang sangat fenomenal, yang sayangnya ditunggangi pihak misterius, sehingga tidak terkontrol, lantas menimbulkan kerusuhan dan kerusakan parah di Jakarta. Seringnya muncul demonstrasi mahasiswa mengkritisi rezim Orde Baru, tentu terasa menjengkelkan bagi sang penguasa. Berarti saat ia dipilih menjadi Mendikbud tentu sudah dengan niatan, dan kalkulasi organisasi, bahwa dirinya dianggap profil yang tepat, untuk membuldozer organisasi kemahasiswaan di kampus negeri maupun swasta, terutama Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa, yang selama ini telah berfungsi menjadi Kawah Candradimuka sikap kritis mahasiswa terhadap kebijakan pemerintahan, terutama menyangkut dampak ketimpangan sosial akibat pembangunan ekonomi yang tengah gencar digulirkan saat itu. Pertanyaan psikologikal berikutnya adalah, saat itu, kira-kira paradigma teoritikal apa yang dipakai sebagai kerangka acuan sang Mendikbud saat mengeluarkan perintah diberlakukannya NKK/BKK di semua kampus negeri maupun swasta ini? Jika melihat pola kepribadian dirinya dan pola stimulus lembar-lembar halaman tebal konsepsi NKK/BKK yang disebarkannya ke seluruh kampus untuk dipelajari, ditaati, dan dilaksanakan sepenuhnya oleh sivitas akademika; maka bisa kiranya diasumsikan bahwa landasan teoritikalnya selaku pedoman untuk mengaktualisasikannya, tak lain berbasis paradigma Teori Konflik. Apa pentingnya kita bersusah payah meneropong dan berkeyakinan bahwa Teori Konflik tengah dimainkan kala itu? Ini penting untuk merancang respons teori apa yang bisa diadopsi untuk berkelit mengatasinya, menetralkannya, menandinginya, atau bahkan menelikung balik sekaligus meruntuhkannya!

    Salah satu prinsip atau dalil mendasar dalam teori konflik adalah: dari setiap konflik, baik yang sengaja diciptakan atau tidak sengaja terciptakan akan berdampak pada terjadi perubahan/pergeseran posisi atau peran pada objek sasaran. Nyatanya, semenjak diberlakukannya NKK/BKK hingga hari ini, posisi organisasi kemahasiswaan di kampus tidak lagi sekokoh dan sangat diperhitungkan eksistensinya seperti masa lalu sebelum masa hadirnya pemberlakuan NKK/BKK. Dan yang paling menyedihkan hati, peranan organisasi kemahasiswaan di kampus-kampus swasta maupun negeri saat sekarang, apa pun nama kelembagaannya, tak lebih dari sekadar penggembira saja.

    Sketsa pengesahan UU Cipta Kerja (Omnibus Law)

    Lantas bagaimana dengan UU Cipta Kerja yang diketok tengah malam itu, yang kini tengah ramai dibahas dan diprotes oleh terutama para buruh di seluruh pelosok nusantara? Paradigma teoritikal apa yang tengah dimainkan di sini? Boleh jadi, tak lain, identik, “sebelas-duabelas”, dengan pola pemberlakuan NKK/BKK yang dilandasi paradigma Teori Konflik. Tentulah, untuk semakin memastikannya, bahwa kini paradigma Teori Konflik tengah kembali dimainkan oleh siapa pun yang merasa berkepentingan mengejawantahkan UU Cipta Kerja menjadi kenyataan, sejatinya perlu ada semacam kajian serius untuk menelaah semua aspek mikro-behavioral dan makro-sosietal di balik tirai proses kelahiran undang-undang tersebut. Dan bagi siapa pun yang hendak menolaknya, terutama organisasi buruh (pekerja) untuk teliti menelaah sedalam-dalamnya, apa kandungan esensinya, tersirat maupun tersurat, di balik lembar-lembar halaman undang-undang ini, yang sedemikian tebal, rumit, dan sudah pasti memusingkan siapa pun orang awam yang hendak mempelajarinya. Jika organisasi buruh gagal merespon dengan akurat atas kekecewaan mereka terhadap UU Cipta Kerja tersebut, maka sudah hampir dapat dipastikan, nasibnya akan mirip seperti organisasi kemahasiswaan kini, yang sudah tak punya kaki lagi di kampusnya sendiri, menjadi mahluk terasing (alien) dari planet lain; serta kualitas analisanya pun bahkan lebih merosot ketimbang generasi terdahulu sebelum ada NKK/BKK.

    Di masa keemasan organisasi kemahasiswaan, sebelum berdemo, dipersiapkan terlebih dahulu sebundel tulisan yang menerangkan apa alasannya mereka mau turun ke jalan, dilengkapi data-data terpercaya. Mahasiswa sekarang, tak lagi punya kebiasaan seperti itu, karena jejak mereka telah terputus dengan generasi para seniornya. Mereka langsung saja berdemo tanpa bekal konseptual yang cukup. Tak bisa disalahkan memang, sebab NKK/BKK telah meruntuhkan segalanya!

    Pada akhirnya, dalam kehidupan yang serba absurd ini, mereka yang paham kedigjayaan pengetahuanlah yang akan menjadi pemenang sesungguhnya. Bukan yang punya uang. Bukan juga yang punya kekuasaan. Mengapa uang dan kekuasaan sering menjadi pemenang dalam suatu pertarungan konflik kepentingan? Karena dengan uang dan kekuasaan bisa membeli pengetahuan, tentunya dengan imbalan mahal.Ilmu pengetahuan adalah kekuasaan yang sesungguhnya…Tabik…

    *Penulis adalah Pemerhati Perilaku Sosial

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here