More

    Geostrategy Study Club (GSC) Adakan Majelis Kritis tentang Mahalnya Harga Beras di Indonesia

    Oleh: Andrezal*

    Prof. Dwidjono Hadi, Guru Besar UGM dalam Majelis Kritis GSC “Kenapa Beras Indonesia Termahal di ASEAN. (29/01/2023)

    BANDUNG, KabarKampus – Hampir 50 orang aktivis dari berbagai latar belakang mengikuti Majelis Kritis yang diadakan oleh Geostrategy Study Club (GSC) dan Kabarkampus secara daring pada Hari Minggu (29/01/2023).

    Tema yang diangkat dalam Majelis Kritis ini mengenai ketahanan pangan bertajuk “Mengapa Beras Indonesia Termahal di Asean?”. 

    - Advertisement -

    Majelis Kritis ini menghadirkan narasumber Prof. Dwidjono Hadi, Guru Besar UGM dan Ken Ndaru seorang peneliti dari Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (INKRISPENA). 

    Tidak hanya itu, undangan diskusi juga dikirimkan ke Badan Urusan Logistik (Bulog) agar mendatangkan Dirut Perum BULOG, Budi Waseso. Ini bertujuan untuk memberikan sudut pandang dari pemerintah, namun sampai pada hari pelaksanaan, pihak Bulog tidak ada konfirmasi dari Kabulog.  

    Walau diadakan secara daring lewat platform Zoom, diskusi berjalan lancar dan aktif selama dua jam lebih di bawah arahan moderator Faisal Bachri dari Forum Peduli Literasi. Pemateri membahas tema yang diangkat secara mendalam, baik dari data maupun analisis mengenai pertanian dan harga beras. Karena itu para peserta menjadi antusias dan memberikan berbagai pertanyaan serta tanggapan. 

    Prof. Dwidjono Hadi sebagai pembicara pertama memaparkan bahwa ongkos produksi terlalu dibebankan kepada petani. Kemudian pengadaan Bulog yang tidak mencukupi stok beras akhir tahun. 

    “…kenaikan harga itu, selain disebabkan oleh harga imput juga ada karena ketersedian (beras) yang memang kurang” ujar Professor Dwidjono. 

    Dia juga memberikan contoh pertanian di negara lain seperti Thailand yang berupaya untuk memperkecil ongkos produksi lewat teknologi tepat guna. 

    Ken Ndaru melanjutkan diskusi menggunakan paradigma Professor Jason Moore dari Amerika dalam melihat fenomena harga beras di Indonesia. Paradigma ini disebut Web of Life yang memadukan persoalan alam dan sosial.

    “Pertanian adalah soal alam tapi saat bersamaan ia adalah persoalan sosial. Kedua persoalan ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain” ucap Ken Ndaru.

    Baginya persoalan beras di Indonesia dimulai sejak terjadinya Revolusi Hijau di zaman Orde Baru. Peralihan pertanian tradisional ke pertanian modern dan liberal membuat petani bergantung pada mekanisme pasar. 

    Baik Professor dan Ken Ndaru saling melengkapi pemaparan satu sama lain. 

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here