More

    Otokrasi dan Demokrasi di Minangkabau: “Tagangnyo Bajelo-jelo, Kanduanyo Badantiang-dantiang”

    Ilustrasi: Rumah Gadang di Pandai Sikek dengan dua buah Rangkiang di depannya. (Foto: Michael J. Lowe via Wikipedia)

    Oleh: Muhammad Farhan Suhu*

    Problematika lahir di tengah masyarakat akibat adanya dinamika sosial. Dalam proses hubungan antar masyarakat, tak jarang terjadi konflik di mana dalam penyelesaiannya harus menyesuaikan terlebih dahulu dengan berbagai tahap. Ada permasalahan yang diselesaikan hanya dengan diri sendiri, ada yang yang harus diselesaikan dengan musyawarah karena menyangkut orang banyak, juga permasalahan yang menyangkut orang banyak namun dalam penyelesaiannya harus menunggu keputusan dari orang yang dituakan atau pemimpin dalam sebuah perkumpulan.

    Hal yang sama juga berlaku di ranah Minangkabau, dengan ciri khas kebudayaannya proses penyelesaian masalah pun bermacam caranya, berbeda alur keturunan, maka dengan jelas berbeda juga cara penyelesaian masalah. Yang menjadi pokok permasalahan dewasa ini adalah kebanyakan kaum muda asli Minangkabau tidak paham dengan tata cara penyelesaian masalah tersebut, menuntut transparansi dan selalu diikutsertakan dalam pengambilan keputusan, seolah memaksa agar ikut mengambil fungsi dalam situasi tersebut namun belum memahami esensi dan kepatutan untuk mengambil peran dalam penyelesaian masalah di tengah masyarakat.

    - Advertisement -

    Pertanyaan sederhananya adalah, bagaimana sebenarnya kaum Minangkabau menyelesaikan permasalahan diantara mereka?

    Pada dasarnya, proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian masalah di Minangkabau dipengaruhi oleh dua sistem politik yang sudah terkenal sejak lama, yaitu Bodi Caniago dan Koto Piliang. Bodi Caniago dikenal sebagai penganut sistem demokrasi di mana dalam penyelesaian segala bentuk perkara harus berlandaskan pada musyawarah dan mufakat, berbeda dengan Koto Piliang penganut otokrasi yang lebih menyerahkan bentuk putusan kepada pemangku jabatan tertinggi.

    Bodi Caniago menjunjung tinggi nilai musyawarah dan mufakat, sesuai dengan pepatah “putuih rundiangan dek sakato, rancak rundiang disepakati” yang artinya segala sesuatu dilandaskanpada musyawarah dan mufakat agar menemukan solusi dan keputusan dari setiap permasalahan. Apabila terjadi permasalahan di tengah kaum, maka para ninik mamak dan kamanakan akan duduk dalam satu lingkup yang sama untuk menyelesaikan permasalahan dengan berdiskusi. Tidak ada tingkatan bagi seorang ninik mamak dalam suatu kaum, mereka berada pada jenjang yang sama. Hal yang diyakini oleh kaum Bodi Caniago yaitu setiap permasalahan pasti memiliki solusi dan jalan keluar, tidak akan pernah dijumpai permasalahan yang buntu dan hanya menjadibeban berkelanjutan sebagaimana yang dituahkan “Indak ado kusuik nan indak salasai, indak ado karuah nan indak janiah”.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here