MENGADOPSI SISTEM EKONOMI TIONGKOK
Tiongkok, telah mengembangkan kebijakan ekonomi politik memadukan sistem ekonomi kapitalistik dalam lingkup politik sentralistik. Lalu, hybrid system yang dilakukan Tiongkok, apakah sesuai dengan Indonesia?
Kita tahu Indonesia secara historis merupakan negara yang didirikan dari karakteristik negara Kerajaan (feodalisme). Sehingga, sistem demokrasi politik alat barat, nampaknya tidak sesuai dengan karakteristik rakyat Indonesia. Mengapa? Kepemimpinan demokratis tidak akan memiliki kekuatan menertibklan masyarakat dengan karakteristik feodalisme.
Kebijakan Comandante merupakan tawaran Solusi. Karena, karakteristik negara Indonesia, harus mengembangkan sistem pemerintahan sentralistik. Kita harus belajar dari sistem hybrid model pemerintahan Tiongkok. Argumentasi saya, didasarkan alasan, yakni : Pertama, Indonesia secara historis tidak pernah memiliki pemerintah demokrsi ala barat. Kita, tahu Indonesia lahir dari Kumpulan beberapa Kerajaan Nusantara. Sehingga, kepemimpinan Indonesia tidak cocok untuk kepemimpinan demokratis. Kita, membutuhkan sebuah contoh gaya kepemimpinan top-down (dari atas ke bawah), bukan button-up (dari bawah ke atas). Sentralisasi kebijakan fundamental, seperti kebijakan luar begeri, kebijakan perdagangan global, kebijakan jejaring antar negara, kebijakan Pembangunan infrastruktur dan penyusunan regulasi.
Kedua, Desentralisasi ekonomi dapat menjadi strategi yang efektif untuk memacu pertumbuhan daerah. Desentralisasi ini meruapkan roh dari kelahiran UU No. 23 Tahun 2014 tentang otonomi daerah. Dengan, sistem ekonomi secara desentarlisasi, akan memiliki daya dorong dan ruang untuk pejabat lokal memiliki insentif mendukung perusahaan swasta, mendorong inovasi dan pengembangan industri rakyat (baca “UMKM”).
Kita tahu keberhasilan ekonomi lokal berkontribusi pada kemajuan dari sebuah sistem perekonomian negara. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi sering terjadi ketidaksinkronan antara program pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat, bertanggung jawab untuk merancang program strategis, percepatan pembangunan infrastruktur atau transformasi energi, tetapi implementasinya di tingkat daerah.
Ketidakadaan pedoman strategis pula, mengakibatkan sering terhambat oleh perbedaan prioritas. Dan, mengatasi sering adanya perbedaan prioritas ini, Indonesia tidak ada salahnya mengadopsi mekanisme insentif seperti di Tiongkok, di mana pemerintah daerah didorong untuk menyelaraskan program mereka dengan kebijakan pusat melalui skema penghargaan berbasis pencapaian target. Hal ini dapat menciptakan sinergi yang lebih baik antara pusat dan daerah.
Ketiga, Ada pelajaran penting lainnya dari model yang diterapkan di Tiongkok, khususnya adalah bagaimana Tiongkok memanfaatkan investasi strategis untuk membangun daya saing di sektor-sektor masa depan. Transformasi Tiongkok menjadi pemimpin global dalam teknologi energi bersih adalah hasil dari kebijakan industrialisasi yang terencana dengan baik. Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alamnya, memiliki potensi besar untuk mengikuti jejak ini, khususnya dalam pengembangan energi terbarukan.
Untuk dunia, keberhasilan ekonomi Tiongkok menawarkan model alternatif dari kapitalisme murni yang sering dikritik karena menciptakan ketimpangan sosial. Tiongkok telah menunjukkan bahwa intervensi negara yang strategis, bila dilakukan dengan efisien, dapat membantu memperbaiki kegagalan pasar. Namun, model ini juga memiliki risiko, terutama bila terlalu banyak kekuasaan terpusat yang menghambat inovasi jangka panjang.
Sehingga, model yang diterapkan di Tiongkok, ini bisa jadi akan menimbulkan resiko otoriterianisme tak terkendali seperti yang 32 tahun dilakukan oleh orde baru. Guna, menekan kemungkinan otoririanisme tak terkendali, tidak seperti di Tiongkok. Akan, mudah terjadi apabila penegakan hukum tidak dilakukan secara tegas. Tumpul ke atas (pejabat), tajam ke bawah (rakyat).
Mungkinkah, penegakan hukum ini akan bisa dilakukan di Indonesia. Saya, termasuk tidak yakin. Mengapa? Kita tahu dan sadar, bahwa mental dan moralitas kepemimpinan Indonesia-Tiongkok, sangat berbeda jauh. Jika, Tiongkok merupakan gabungan sistem kapitalisme negara dengan pasar bebas. Indonesia, kita tahu sampai saat ini, selalu gamang dengan sistem yang akan digunakan. Ekonomi Pancasila, makin tidak jelas akibat kepemimpinan nasional yang selalu gamang dengan kebijakan strategis sebagai bangsa Merdeka. Indonesia,sangat mudah terpengaruh gejolak dan perubahan sistem serta kebijakan negara-negara global.
TIONGKOK DENGAN HYBRID ECONOMIC
Bersambung ke halaman selanjutnya –>