Oleh: Syamsah*

Di Gaza, pagi tidak disambut dengan bunyi bel sekolah, melainkan sirene dan dentuman langit yang meraung seperti tak sudi ada ilmu tumbuh di tanah itu. Anak-anak terbangun bukan untuk bersiap ke kelas, melainkan untuk menghitung siapa yang masih hidup setelah malam.
Di tanah yang dijajah debu dan duka, pena-pena kecil yang dulu menggores huruf-huruf pertama kini patah di genggaman mungil, terkubur bersama cita-cita yang belum sempat terucap.
Sekolah-sekolah di Gaza yang dahulu adalah tempat para malaikat kecil mengeja mimpi, kini telah berubah menjadi puing. Sejak dimulainya konflik pada 7 oktober 2023 hingga April 2025, Kementerian Pendidikan Palestina merilis data yang dikutip oleh Save the Children dalam laporan mereka pada Mei 2025 tercatat 5.479 siswa meninggal, 261 guru dan staf pendidikan juga menjadi korban jiwa. Hampir 90% dari seluruh gedung sekolah telah rusak atau hancur, lebih dari 625.000 anak kehilangan akses pendidikan.
Di antara mereka, ada anak bernama Noura yang kini belajar membaca huruf dari sisa majalah yang ditemukan direruntuhan toko. Ia bilang, “Aku ingin tahu bagaimana caranya menulis nama ibuku, agar aku bisa memanggilnya di surga.”
Di Sekolah Fahmi al-Jarjawi, yang dulu memiliki taman kecil tempat anak-anak bermain, kini tak ada lagi tawa. Hanya sepi yang menggantung di dinding yang retak, dan darah yang belum kering di lantai koridor. Tragedi pada 26 Mei 2025 menjadi saksi gugurnya 36 orang di sana, termasuk anak-anak, guru, ibu, dan ayah yang hanya ingin berteduh. Mereka tidak sedang menembak, tidak sedang berperang. Mereka hanya sedang berharap.
Di Khan Yunis, anak-anak kini belajar di pemakaman. Mereka duduk di antara batu nisan, membuka buku-buku dengan tangan gemetar. Seorang guru tua, dengan suara pelan namun tegas, tetap mengajarkan huruf-huruf hijaiyah. “Karena setiap huruf adalah doa,” katanya. “Dan doa tidak pernah sia-sia.”
Gaza tidak kehabisan guru, tapi kekurangan atap. Tidak kehabisan siswa, tapi kekurangan perlindungan. Di setiap reruntuhan kelas, ada sisa kapur putih yang tergores di papan: “Belajar adalah bentuk perlawanan.”
Mereka tidak meminta banyak. Hanya sebuah tempat aman untuk membaca, sebuah papan untuk menulis, dan sebuah jendela yang menghadap harapan. Namun dunia menutup jendela itu. Dunia membiarkan pena-pena mereka patah, bahkan sebelum tinta mengalir.
Tapi Gaza tidak diam. Gaza menulis dengan darah, menulis dengan doa, menulis dengan deru napas yang tersisa. Sebab mereka tahu, selama satu anak masih mengingat alfabet, penjajahan tidak akan pernah benar-benar menang.
Ketika sekolah dihancurkan, itu bukan hanya serangan pada bangunan, melainkan pada masa depan. Dan Gaza, hari ini, sedang berjuang bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi agar masih ada generasi yang bisa berseru: “Panjang Umur Perlawanan, Panjang Umur Palestina!”
*Penulis adalah anggota FPN (Free Palestine Network).
Tidak mengapa ji_ka para penjajah mau menjajah tanah Gaza Palestina..(karena kita akan terus melawan)
Tapi Yang menjadi masalah ketika mereka yang mengaku berislam justru mendukung_nya penjajahan..
Satu hal yang paling penting saat menghadapi kesulitan hidup adalah menjaga semangat hidup. Semangat akan memberi kita pengharapan di tengah gempuran duka cita yang datang terus-menerus. Hidup memang sejatinya adalah berjuang meraih harapan dan ia dimulai dengan belajar.
Anak-anak Gaza telah ditempa oleh kondisi sulit. Pengalaman mengajarkan mereka bahwa berdiam diri bukanlah pilihan. Mereka tetap menemukan cara untuk menimba ilmu. Itulah jalan kemenangan. Itulah cahaya fajar setelah gelapnya malam.
Panjang umur Palestina
Keren. Bagus dibacakan saat acara2 literasi pembacaan puisi
Tulisan ini sungguh menghantam hati dengan begitu dalam. Sulit dibayangkan bagaimana anak-anak Gaza harus belajar di tengah puing dan pekikan sirene, sementara dunia terus berjalan seolah semuanya baik-baik saja. Kalimat “belajar adalah bentuk perlawanan” benar-benar membekas menunjukkan bahwa harapan tak pernah benar-benar padam, bahkan di tengah reruntuhan.
Trimakasih untuk penulis atas narasi yang menyuarakan luka yang kerap diabaikan. Semoga dunia tidak lagi membiarkan pena-pena kecil itu patah sebelum sempat menuliskan masa depan mereka. Solidaritas dari jauh untuk rakyat Gaza.
#FreePalestine #SaveGaza #PendidikanAdalahHak
Tulisan yg Apik dlm puisi..Mimpi anak2 Gaza & Palestina pasti kan terwujud dalam bentuk lain yaitu Kemerdekaan .
Semangat terus wahai anak anak Gaza ,kemerdekaan ada di tangan kalian✊✊
#free free Palestine
Sangat menyayat hati membaca tentang Noura dan anak-anak lain yang tetap ingin belajar, meski dunia seperti memilih bungkam. Terima kasih kepada penulis yang telah menghadirkan suara-suara kecil dari Gaza yang sering kali tak terdengar. Semoga pena-pena yang patah itu suatu hari kembali menulis cerita kemenangan. Panjang umur perlawanan, panjang umur
Pendidikan di Gaza saat ini menghadapi krisis yang sangat parah. Komflok yang berkepanjangan telah menyebabkan kerusaksn infrstruktur sekolah ,trauma pada siswa,guru, serta keterbarasan akses pendidikan bagi banyak siswa. UNESCO,telah mebyerukan penghentian segera serangan terhadap sekolah sekolah dam memberikan dukungan keoada siswa dan guru yanv terkena dampak konflik.Banuak sekolah di Gaza yang hancur atau rusaj parah akibat serangan militer,sehingga mengurangi akses pendidikan bagi ribuansiswa dan menyebabkan ribuan siswa dan menyebabkan keterlambatan dalam proses belajar dan mengajar.