More

    Kisah Para Pemuda Jailolo yang Kini Menari Keliling Dunia

    ABC AUSTRALIA NETWORK
    Hany Koesumawardani

    Para penari Jailolo. Muda dan enerjik. [FOTO : Hany Koesumawardani]
    Para penari Jailolo. Muda dan enerjik. [FOTO : Hany Koesumawardani]
    Beberapa pemuda Jailolo itu dengan percaya diri menari, membuat hentakan bernada dengan kaki telanjang di OzAsia Festival, Adelaide, Australia. Mereka adalah anak-anak nelayan di pelosok Jailolo, Maluku Utara, yang gemar menyelam dan memanjat pohon.

    Mereka menghentak-hentakkan kaki, memainkan telapak kaki dan tumit, selama satu jam dalam tarian berjudul “Cry Jailolo” karya seniman tari Eko Supriyanto, yang dikenal sebagai mantan penari diva dunia Madonna.

    - Advertisement -

    Setelah satu jam, keringat memenuhi tubuh mereka yang bertelanjang dada dan hanya memakai celana katun selutut berwarna merah.

    Para penonton hening dan menahan nafas selama satu jam itu hingga lampu pertunjukan padam. Sejurus kemudian…plok! plok! plok! Tepuk tangan bertubi-tubi sambil berdiri. Standing ovation!

    Itulah yang terjadi di OzAsia Festival yang disaksikan sejumlah jurnalis Indonesia pada September 2015 lalu di Adelaide atas undangan Australia Plus ABC International. Di balik penampilan yang sempurna itu, ada kerja keras para pemuda Jailolo dan kedisiplinan sang koreografer, Eko Supriyanto.

    “Saya ke rumah mereka, mereka ini biasa memanjat pohon 60-70 pohon tiap hari, menyelam mencari ikan tanpa alat,” kata Eko di sela-sela acara.

    Eko mencari sendiri pemuda Jailolo untuk menarikan tariannya itu. Dari sekitar 350 pemuda dari Teluk Jailolo, terpilihlah enam di antaranya.

    “Saya pilih enam di antara mereka, SMP-SMA, tak melalui audisi tapi dari kedekatan psikologi yang sangat dekat, untuk tahu dari mana mereka berasal, keluarganya bagaimana, kehidupannya bagaimana, kita pilih enam orang, satu dari Jakarta yang jadi asisten saya,” ungkapnya.

    Menurut Eko, sudah beberapa bulan ini mereka keliling beberapa negara untuk mementaskan “Cry Jailolo”.

    “Dengan karya ini sudah memasuki bulan kedua. Kami tiga bulan tur dunia tahun ini. Total ada 28 pementasan dan 11 festival. Agustus-Oktober mulai Darwin, Hamburg di festival tari kontemporer bergengsi, Swiss, Groningen-Belanda, kemudian break 10 hari. September ke Jepang, Adelaide, Antwerp-Belgia, Frankfurt untuk opening Frankfurt Book Fair, berakhir di Esplanade Singapura acara dance festival ulang tahun Esplanade bulan Oktober,” papar Eko.

    Eko memberdayakan para pemuda dari pelosok Jailolo yang memiliki beragam latar belakang keluarga. Ada yang mulanya tak disetujui orangtuanya karena mendamba anaknya masuk militer, ada pemuda yang berasal dari area konflik, dan sebagian dari keluarga kurang beruntung.

    Yang jelas, mereka dipilih Eko bukan dari penari profesional. Namun, kini mereka keliling dunia untuk menari dengan profesional. Bahkan, Eko menjadi orangtua asuh beberapa di antaranya, membiayai mereka yang berniat melanjutkan ke sekolah seni. Salah satunya adalah Greatsia Yobel Younga (20).

    “Awalnya dari kecil nggak suka tari sama sekali, sejak SMA kelas 2 ada event di Jailolo, Festival Teluk Jailolo. Tiga tahun terakhir Mas Eko yang dipanggil sebagai koreografer. Awalnya ikut mau cari teman main-main, tujuan utamanya cari makan. Latihan kaya gitu kan dapat makan, dapat cemilan,” tutur Greatsia sambil tersenyum-senyum.

    Namun, saat dia datang mengikuti audisi tari itu, ternyata Eko memilih pemuda-pemuda berperawakan tinggi. Dirinya termasuk yang tersangkut dalam radar Eko.

    “Saya dipilih sebagai tokoh utama sekitar tahun 2012-2013. Sejak itu ketertarikan pada dunia tari muncul. Setelah itu dipilih 4 orang ke Malaysia termasuk saya. Di Malaysia saya ambil keputusan untuk ambil dunia tari,” tutur dia.

    Saat itu, Greatsia sangat senang karena bisa memperkenalkan tari dari kampungnya, tarian Soya-soya dan Legu Salai. Tarian “Cry Jailolo” ini memang diciptakan Eko terinspirasi dari kedua tarian Maluku itu.

    “Awalnya bagian daerah Ternate atau Jailolo saja yang tahu. Sekarang bisa bawa Legu Salai sama Soya-soya ke dunia,” imbuh Greatsia.

    Tantangan menjadi salah satu penari Cry Jailolo, menurut Greatsia, adalah latihan yang cukup berat. Eko, dinilainya sangat berdisiplin dalam melatihnya dan rekan-rekannya.

    “Kalau pas menari lagi tur sekarang, ya tergantung cuaca. Kalau lagi dingin tantangan ya di situ. Di Ternate kan panas, nggak tahan dingin. Kalau pas latihan sama Mas Eko berat banget, sampe muntah-muntah gitu. Saya dan Nandito (rekannya) sampai sakit nggak bisa bangun, langsung mau pingsan,” ungkap Greatsia tanpa sungkan.

    Namun Greatsia kini memetik buahnya bersusah payah berlatih menari dengan Eko. Dia bisa melanglang buana keluar dari kampungnya.

    “Keluar negeri berkat tari. Malaysia, Jepang, Jerman, Belanda, Prancis, Singapura, Australia, ke Swiss, kemudian Belgia dan Jerman,” tutur Greatsia mengingat-ingat negara yang sudah dijelajahinya.

    Merantau jauh dari kampung bahkan negaranya juga memberikan pelajaran tersendiri bagi Greatsia. Pelajaran tentang persahabatan, meliputi kepercayaan dan pengertian.

    “Pelajaran berharga bagi saya, butuh pengertian satu sama lain, karena di luar berbulan-bulan, bersama mereka-mereka saja. Kalau nggak saling mengerti dan menghargai ya susah. Senang, ingin bisa pergi ke mana-mana lagi berkat tari. Pengin lebih dapat ilmu di dunia tari,” tutur pemuda yang kini duduk di bangku semester 3 Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta jurusan seni tari ini. []

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here