More

    Teater Payung Hitam dan Politik Tubuh yang Tersungkur

    NATALIA OETAMA

    Seorang laki-laki berdiri mengenakan selendang merah, payung transparan berlubang, dan sekuntum kembang kresek dipegang erat. Dia telah membuat takjub, bingung, panik, kasihan, hingga jantung berdebar-debar.

    Tony Broer saat pertunjukan Teater Tubuh di Studio ISBI Bandung.
    Tony Broer saat pertunjukan Teater Tubuh di Studio ISBI Bandung.

    Selama kurang lebih satu jam Tony Sopartono alias Tony Broer, laki-laki aneh itu, menghipnotis penonton di Studio Teater Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Dia tak mengucapkan sepatah kata, selain gerakan tubuh dan suara nafas yang diperlihatkan selama pertunjukkan.

    - Advertisement -

    Di panggung yang hampir tak berbatas dengan penonton, Tony Broer menyentuh setiap patung-patung yang dibentuk dengan berbagai pose. Deden Bulqini-lah, seniman yang mendapatkan kepercayaan untuk menata panggung. Sebuah ruang istimewa untuk mengejawantahkan gagasan teater tubuh “Tu(m)buh”.

    Tony Broer adalah seorang seniman Indonesia yang yang menamatkan pendidikan S1 penyutradaraan di STSI Bandung (kini ISBI) dan S2 Penciptaan Teater di Pascasarjana ISI Yogyakarta. Dan pada perayaan 34 tahun Teater Payung Hitam, Tony Broer meneguhkan eksistensi kesenimannya mengolah tubuh untuk mencacah tiap persoalan geo-politik di Indonesia.

    Tubuh, dalam perspektif seniman seperti Tony Broer, menjadi alat politik mumpuni untuk menyatakan sikap. Sekaligus medium paling nyata menerima segala beban persoalan. Dan seperti kenyataan sekarang, tubuh itu pun membicarakan banyak hal. Soal kasih sayang serta lingkungan yang semakin menakutkan.

    Tubuh menjadi begitu politis.

    Pada satu adegan, sambil berjalan mengenakan bakiak, dia meminta dua penonton untuk membantu pertunjukkannya. Tugas “aktor” dadakan itu memukul tong dengan keras dan cepat. Sementara Tony Broer berada di dalamnya. Itulah sedikit gambaran bagaimana tubuh menerima langsung dari interaksi sosial. Pada adegan itu, dia seperti menegaskan rasa sakit yang luar biasa lewat bunyi suara ke seluruh tubuh.

    Jika tak percaya, lakukanlah seperti yang Tony Broer kerjakan saat di panggung. Mintalah kawan untuk memukul tong dengan diri kita yang terperangkap di dalamnya. Dipastikan akan sakit. Ingin marah tapi tak ada yang mendengar.

    Dari Studio Teater, Tony Broer bergerak menuju Gedung Kesenian Sunan Ambu ISBI Bandung. Penonton mengikutinya.

    Pertunjukan selanjutnya dilakukan oleh dua belas orang. Sebelas berpakaian hitam dan satu berpakaian putih. Sorotan lampu yang berganti-ganti membuat panggung menjadi dramatis. Salah satu adegan yang tak bisa saya lupa, seorang perempuan menduduki televisi dengan gambar seperti foto presiden terbalik sembari membaca koran. Koran itu dikudap dan menyumpal mulut.

    Perempuan itu tersedak. Lantas berlalu.

    Adegan-adegan selanjutnya makin kompleks dan rumit. Cepat, seperti informasi yang berseliweran lewat media massa dan media sosial. Belum cukup memahaminya, persoalan lain muncul dengan ketegangan yang kurang lebih sama. Diantara ketegangan, seperti soal penyiksaan, penonton sempat tertawa. Begitu pula ketika adegan benda-benda berbahaya jatuh dari “langit”, kepanikan itu dipandang sebagai sesuatu yang lucu.

    Teater Payung Hitam mempersembahkan pertunjukan teater "Post Haste" arahan sutradara Rachman Sabur di GK. Sunan Ambu ISBI Bandung, 20-22 Desember 2016.
    Teater Payung Hitam mempersembahkan pertunjukan teater “Post Haste” arahan sutradara Rachman Sabur di GK. Sunan Ambu ISBI Bandung, 20-22 Desember 2016.

    Saya menggaris bawahi pertunjukan Teater Payung Hitam “Post Haste” yang digelar 20-22 Desember 2016. Diantaranya, soal timing dari setiap aksi menjadi kunci keberhasilan pertunjukan ini.

    Benda-benda berjatuhan dan patah tepat pada waktunya. Penonton dibuat ngos-ngosan dengan rentetan aksi yang mendebarkan, seperti kursi patah, meja roboh, barang-barang yang berjatuhan dari atas, atau dinding yang tiba-tiba menimpa.

    Sang aktor yang berbaju putih diperlihatkan berkali-kali terhimpit dan tersudut. Aktor itu seperti orang yang polos.

    Pertunjukan “Post Haste” arahan sutradara Rachman Sabur yang juga pendiri Teater Payung Hitam ini merupakan representasi dari kondisi alam, sosial politik maupun sejarah Indonesia. Kondisi yang penuh oleh gelombang perubahan sejarah, bencana alam, keberagaman sosial-budaya.

    Dalam pernyataan tertulis Afrizal Malna, salah satu penonton sekaligus pembicara diskusi “Ketubuhan : Tubuh Teater Tubuh” menyatakan pertunjukan “Post Haste” merupakan representasi ruang hidup yang dialami sebagai ruang emergensi, urgen. Disposisi dinding-dinding yang menampilkan kekuasaan; mayoritas di atas minoritas.

    Lebih lanjut, Afrizal Malna menyatakan pertunjukan ini juga memperlihatkan penguburan berkali-kali tehadap kalangan diri, kampanye hitam tentang bahaya komunisme dan diskriminasi terhadap homoseksual.

    “Post Haste menjadi inti waktu dan ruang untuk setiap orang memiliki “managemen emergensi” agar bisa keluar dari situasi yang secara tidak sadar mencederai humanisme,” tulis Afrizal Malna.

    Pertunjukan ini ditutup dengan dramatis. Barisan dinding yang menampilkan gambar-gambar kapitalisme mendorong kain berwarna merah putih dan Tony Broer, dari tengah panggung hingga jatuh. Tersungkur dengan gemilang.

    Seperti itukah tubuh kita saat ini? []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here