Photo: Jar by Matthew Blakely, UK.
1/
Wabi-sabi adalah konsep estetika Zen di Jepang tentang segala hal yang tak sempurna dalam kesempurnaannya, fana dalam keabadiannya, dan tak selesai dalam kelengkapannya. “Wabi” adalah simetri. “Sabi” adalah asimetri. Wabi-sabi adalah asimetri di dalam simetri, khaos di dalam kosmos.
Wabi-sabi tak bisa ditafsirkan hanya sebagai konsep estetika tentang segala hal yang tak sempurna, tak abadi, dan tak lengkap–seperti banyak ditafsirkan oleh pemikir Barat selama ini. Wabi-sabi adalah seni tentang segala yang paradoks untuk mencapai harmoni.
Pemahaman tentang estetika wabi-sabi tak bisa dimulai dari asimetri, tetapi mesti dimulai dari simetri. Asimetri harus diletakkan sebagai bagian dari simetri. Ketaksempurnaan adalah wujud dari kesempurnaan. Ketakabadian adalah wujud dari keabadian. Dan ketaklengkapan adalah wujud dari segala yang selesai.
Para seniman keramik modern Barat, banyak yang gagal memahami hal ini, karena mereka hanya memaknai wabi-sabi dalam konteks “sabi”, sehingga mereka menganggap wabi-sabi sebagai seni tentang segala hal yang rapuh, rusak, dan hancur. Padahal, wabi-sabi adalah estetika tentang harmoni, kesatuan dari idealitas dan realitas, yang di dalam dan yang di luar, yang fana dan yang baqa, konstruksi dan dekonstruksi.
2/
Seni bukan hanya soal meniru alam (mimesis), tapi “melebih-lebihkan” objek yang ditiru. Ini adalah tesis tentang muasal seni pada sejarah manusia yang muncul pada abad ke-20. Tesis ini membantah tesis dari Aristoteles tentang seni hanya sebagai ekspresi peniruan alam (mimesis).
Tesis soal seni sebagai ekspresi melebih-lebihkan itu muncul dari temuan artefak arkeologis patung “Venus dari Willendorf”. Patung dari batu kapur ini berupa sosok perempuan tanpa wajah dengan bagian dada dan pinggulnya dibuat secara berlebihan. Patung sosok perempuan setinggi 11,1 cm ini diperkirakan telah dibuat antara 28.000 – 25.000 SM.
Patung Venus dari Willendorf tersebut ditemukan pada tahun 1908 oleh seorang pekerja bernama Johann Veran selama penggalian yang dilakukan oleh arkeolog Josef Szombathy, Hugo Obermaier, dan Josef Bayer pada situs paleolitik Willendorf, satu desa yang ada di dekat kota Krems. Patung ini sekarang tersimpan pada Museum Naturhistorisches di Wina, Austria.
Setelah penemuan patung “Venus dari Willendorf”, maka mulai ditemukan banyak lagi patung sejenis di berbagai daerah di Eropa, bahkan ada yang berumur lebih tua lagi, seperti patung “Venus dari Hohle Fels” yang diperkirakan berumur 35,000 – 40,000 SM. Patung yang terbuat dari potongan gading diukir ini ditemukan di Jerman pada tahun 2008.
Namun, yang menarik saya adalah temuan patung “Venus dari Monruz”. Ini adalah “patung Venus pada akhir masa paleolitik, atau awal epipaleolithic, sekitar 11.000 tahun lalu. Patung ini berupa liontin terbuat dari batu kristal Jet (lignite) berwarna hitam dan berbentuk “abstraksi” tubuh perempuan. Patung ini ditemukan tahun 1991, ketika pembangunan jalan raya N5 di Monruz pada kota Neuchatel, Swiss, sedang dilakukan.
Hal yang menarik dari patung “Venus dari Monruz” adalah terjadinya perubahan signifikan dari bentuk figur patung Venus sebelumnya, yaitu kecenderungan untuk menjadi abstrak. Mimesis dari bentuk wajah, tangan, kaki, dan payudara mulai ditinggalkan. Yang tersisa adalah kecenderungan “melebih-lebihkan” pada bagian pinggul. Abstraksi bentuk pada patung “Venus dari Monruz” menurut saya sangat canggih. Bentuk lengkung kurva dibuat sangat dinamis dan memiliki tingkat kerumitan geometris yang tinggi bila hendak dirujuk kepada konsep geometri modern. Patung ini juga menunjukkan bahwa kecenderungan berpikir abstrak sudah ada sebelum manusia menemukan angka dan huruf, sudah ada pada masa prasejarah. Dan, yang lebih penting lagi, pada patung abstrak ini kecenderungan melebih-lebihkan tetap dipertahankan.
Apa artinya ini? Menurut saya, seni sejak masa prasejarah, bukanlah sekadar ekspresi meniru alam (mimesis), tetapi juga melebih-lebihkan. Objek tidak hanya ditiru, tetapi juga diinterpretasikan secara berlebihan untuk “menarik” persepsi atau emosi subjek tertentu dan para apresian seni. Rasa saya, ini memang menjadi dasar yang terus bercokol dalam pikiran manusia hingga kini: realitas bukanlah hal yang biasa, tetapi “luar biasa”.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>