More

    Prinsip Wabi-sabi dalam Estetika Seni Keramik Kontemporer

    5/

    Raku Kichizaemon XV adalah keturunan ke-15 pembuat cawan gaya raku yang pertama di Jepang, yaitu Chojiro pada abad ke-16. Raku berarti kebahagiaan, kenyamanan, atau kemudahan. Istilah raku tersebut berasal dari kalangan Jurakudai (nama istana) di Kyoto, yang dibangun oleh Daimyo Toyotomi Hideyoshi (1537-1598), negarawan dan jenderal terkemuka Jepang waktu itu.

    Pada abad ke-16, Sen no Rikyu (1522 – 1591), master upacara minum teh dalam tradisi Zen, terlibat dengan pembangunan istana Jurakudai dan meminta seorang pembuat keramik bernama Chojiro agar membuat cawan teh yang akan digunakan dalam upacara minum teh gaya “wabi” (sempurna). Cawan teh yang dihasilkan oleh Chojiro awalnya disebut sebagai “ima-yaki” (perabotan kontemporer), yang dibedakan dengan juraku-yaki (perabotan dari tanah liat merah). Raku kemudian menjadi nama keluarga Chojiro sekaligus menjadi nama gaya seni keramiknya hingga saat ini.

    - Advertisement -

    Dari sejak abad ke-16, seni keramik Jepang–khususnya seni keramik gaya raku–sudah dilandasi oleh filsafat dan spiritualitas Zen. Aspek inilah yang membuat seni keramik Jepang menjadi bernilai, menjadi sebuah karya seni yang berjiwa, yang memiliki virtue. Tanpa jiwa itu sebuah cawan hanyalah perabotan rumah tangga yang terbuat dari tanah lempung. Pula begitu, menurut saya, pada bentuk seni lainnya. Tanpa virtue, tanpa jiwa, maka sebuah karya dari seorang seniman hanya akan menjadi produk, hanya akan menjadi barang.

    Raku Kichizaemon XV, sebagai penerus seni keramik gaya raku dari Chojiro, menyadarI dengan baik soal virtue itu. Ia pernah berkata dalam katalog pamerannya di Eropa tahun 1998 bahwa gaya raku adalah soal energi dinamis kesadaran dalam diri seniman keramik, sebuah kontemplasi atas objek sehari-hari yang justru menjadi sumber energi spiritual itu sendiri. Yang spiritual dan yang sehari-hari, bagi seorang empu seni keramik gaya raku, tak pernah terpisahkan.

    Oleh Raku Kichizaemon XV presensi cawan gaya raku telah “dihidupkan” kembali pada abad ke-21 ini. Bukan sekedar teknik pembuatannya, tetapi lebih lagi pada aspek spiritualnya. Namun, spiritualitas dalam benda sehari-hari pada prinsip Raku, bukanlah mistisisme benda-benda keramat, benda yang dipuja sekaligus hanya dijadikan pajangan. Sebaliknya ini adalah spiritualitas dari benda-benda fungsional, benda yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti cawan atau bejana air atau pas bunga atau perabotan rumah tangga lainnya.

    Anda dapat menggunakan sekaligus menghikmati presensi dari cawan raku dalam kehidupan sehari-hari. Anda sama sekali tak perlu menyembahnya, tak perlu mengeramatkannya, oleh sebab aspek spiritual dari cawan raku bukanlah klenik. Semua benda, dalam terang kesadaran begini, adalah esa. Segala sesuatu terhubung dengan jatidiri Anda dan, karenanya, amatlah berharga. Sebuah puisi, sebuah cawan, atau jatidiri Anda pada intinya sama saja: ketiganya merupakan presensi dari semesta.

    Suatu ketika master Zen Nansen ditanya oleh seseorang bangsawan kaya yang akan menyumbang ke kuilnya: “Mana yang akan kaupilih, permata atau batu kerikil?” Nansen berkata, “Tentu saja saya akan memilih batu kerikil.” Bangsawan kaya itu bingung dan bertanya lagi, “Kenapa begitu?” Nansen menjawab sambil tersenyum, “Karena tak seorang pun bangsawan kaya sepertimu yang akan menganggap batu kerikil berharga.” Dan, Nansen pun berlalu.

    6/

    Menurut saya, dalam konteks filosofis, makna wabi-sabi bisa dimaknai sebagai berikut: wabi adalah simetri; sabi adalah tak simetri. Dengan demikian wabi-sabi bisa diartikan sebagai ketaksimetrian di dalam kesimetrian, atau ketaksempurnaan di dalam kesempurnaan.

    Dalam konteks estetika di Jepang, wabi-sabi ditandai oleh tiga ciri: “tak-sempurna, tak-kekal, dan tak-lengkap”. Sebenarnya, wabi-sabi tak dikenal dalam konsep Zen, yang dikenal adalah konsep “merasa cukup”. Ketika kita menyadari bahwa segala eksistensi dicirikan oleh ketakkekalan, duka, dan tiada diri, maka kesadaran ini pada akhirnya akan membawa kita pada merasa cukup. Seperti konsep estetika dalam seni taman Zen di kuil Ryoan-ji (“Kuil Naga Damai”, sebuah kuil Zen yang terletak di sebelah barat daya Kyoto, Jepang) amat jelas mengekspresikan konsep wabi-sabi, prinsip merasa cukup itu. Kita tak lagi mencari hal-hal luar biasa di dalam maupun di luar diri kita, tetapi mulai menerima presensi yang lain, kehadiran yang lain, melihat yang lain sebagai bagian dari diri kita. Pada taman Zen di kuil Ryoan-ji, konsep wabi dilambangkan dengan hamparan batu kerikil putih, sedangkan konsep sabi dilambangkan dengan batu-batu coklat kehitaman dan tembok yang ditumbuhi lumut.

    Begitulah, ketika saya menatap sebuah keramik wabi-sabi, atau sebuah taman Zen, saya menyadari: segala sesuatu memang sempurna, kecuali “saya”. Dan, itu cukup.


    —————————————————————
    Esai © Ahmad Yulden Erwin, 2015 – 2016
    —————————————————————

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here