Dalam sejarah konsep estetika puisi dunia, khusunya imajisme, Ezra Pound terinspirasi oleh huruf-huruf piktograf Cina sewaktu merumuskan teknik ideogramik yang menjadi dasar dari sintaksis puitik imajisme. Teknik ini diuraikan oleh Ezra Pound, pendiri gerakan puisi imajisme dan inspirator gerakan puisi objektivis, gerakan pertama dan kedua dari puisi modern di AS pada awal abad ke-20. Metode ideogramik ini memungkinkan penyair mengekspresikan hal-hal yang abstrak melalui imaji (gambaran atau citraan) konkret.
Ide ini timbul setelah Ezra Pound membaca esai-esai Ernest Fenollosa, terutama yang ada dalam buku “Penulisan Huruf Cina sebagai Medium bagi Puisi”—buku yang ditulis oleh Fenollosa, tetapi kemudian diedit oleh Pound setelah kematian penulisnya pada tahun 1908. Pound memberikan penjelasan singkat tentang ideogramik dalam bukunya “The ABC of Reading” (1934). Di dalam buku itu ia menjelaskan pemahamannya tentang cara satu kata Cina terbentuk, dengan contoh kata “Timur” (東), yang terbentuk dari gabungan kata “pohon” (木) dan kata “matahari” (日), yaitu gambaran sinar matahari yang ada di cabang-cabang suatu pohon, yang menunjukkan matahari telah terbit di “Timur”. Ia kemudian menyarankan, berdasarkan contoh pembentukan huruf Cina di atas, bahwa konsep-konsep abstrak dapat dibangun dari imaji-imaji konkret dalam penulisan puisi. Konsep “merah” (abstrak) amat dimungkinkan untuk dituliskan dengan menempatkan bersama kata-kata benda (imaji konkret) yang memiliki sifat “merah” tanpa menghadirkan kata “merah” ke dalam teks puitik.
Puisi-puisi Cina klasik dalam struktur sintaksisnya sangatlah ritmis, sangat berirama, karena memang awalnya puisi-puisi Cina klasik itu dinyanyikn dengan diiringi alat musik. Para penyair Cina klasik sangat menghitung metrum berbasis silabel (pengertian silabel dalam Cina, bukanlah suku kata tetapi kata). Misalnya, metrum tetrasilabel (puisi yang setiap larik atau barisnya terdiri dari 4 kata): “Saat minum aku merenung, seberapa lama hidup kita?” Pula, masih ada lagi bentuk metrum lainnya seperti metrum pentasilabel (setiap baris terdiri dari lima kata), metrum sektasilabel (setiap baris terdiri dari enam kata), metrum heptasilabel (setiap baris terdiri dari tujuh kata), dll. Puisi-puisi Cina klasik itu biasanya mengambil bentuk yang ketat dalam baitnya. Bentuk baitnya ada yang berupa kuatrin (satu bait terdiri dari 4 baris) atau oktaf (satu baris terdiri dari 8 baris). Bentuk yang populer dari puisi Cina klasik pada jaman dinasti Song adalah berbentuk “Ci” dan memiliki aturan yang ketat soal bait dan metrum seperti yang saya sebutkan di atas.
Dalam perkembangan berikutnya ada juga dikenal bentuk puisi “San-Qu” pada era dinasti Yuan. San-Qu merupakan semacam perlawanan terhadap bentuk “Ci” yang terlalu ketat dan anggun. San-Qu bergerak lebih bebas dan mengambil bentuk dari lagu-lagu rakyat. Bentuk puisi San-Qu ini ada dua jenis yaitu berbentuk “Xiao Liang” yaitu baris bernada tunggal, dan “Tao-Shu” yaitu baris bersambung berdasarkan dua nada. Contoh terbaik dari puisi jenis San-Qu dengan mengambil bentuk Tao-Shu, satu larik atau baris terdiri dari dua nada (kata) yang bersambung dengan pasangan untaian nada berikutnya, adalah seperti puisi karya Ma Zhiyuan (1250 – 1324 masehi) berikut ini:
——————————————–
LAGU RENUNGAN MUSIM GUGUR
——————————————–
Rotan lapuk pohon tua gagak terantuk
Titian kecil air mengalir rumah penduduk
Jalanan purba angin barat kuda meringkuk
Matahari senja turun ke barat
Hati patah di tepian jagat
………………………………..
Perhatikan bahwa dalam bentuk aslinya, puisi Ma Zhiyuan di atas membiarkan saja jeda yang ada di setiap klausa (terdiri dari dua kata) pada setiap baris tanpa diberi grafem tanda baca koma. Misalnya pada baris pertama itu: “Rotan lapuk (JEDA) pohon tua (JEDA) gagak terantuk (JEDA).” Pola klausa dua kata itu terus berulang pada setiap barisnya dengan menggunakan campuran metrum 6 kata pada 3 baris pertama dan 4 kata pada dua baris terakhir (kata “ke” dan “di” sebagai kata depan tergabung dalam kata berikutnya).
Bentuk San-Qu ini lebih bebas daripada bentuk “Ci” pada dinasti sebelumnya, oleh sebab dapat menggabungkan beberapa metrum pada setiap baitnya. Teknik penghilangan tanda baca (koma atau titik koma), atau penghilangan kata sambung (dan, atau, yang), atau penghilangan kata depan (di, ke, pada, dari) pada senarai klausa tersebut kelak akan dipakai di dalam sastra modern dunia seperti pada novel “Ulyses”, satu novel yang dikenal menggunakan teknik “arus-kesadaran”, karya James Joyce. Sintaksis model ini dalam sastra barat dikenal sebagai teknik “run-on sentences” (laju kalimat). Teknik “laju kalimat” ini sebenarnya terkait dengan kepentingan irama dalam sintaksis puitik.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>