More

    Bentuk “San-Qu” pada Puisi-puisi Cina Klasik, Teknik “Run-on Sentences”, dan Jukstaposisi

    Di dalam perpuisian modern Indonesia, teknik “laju kalimat” ini banyak digunakan oleh penyair Sapardi Djoko Damono, misalnya pada puisi bergaya imajisme berikut ini:

    ——————————-
    PADA SUATU PAGI HARI
    ——————————-

    Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.

    - Advertisement -

    Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

    ………………………………

    Secara umum, puisi-puisi Cina klasik sangatlah visual, artinya lebih menekankan agar pesan atau rasa yang ada “dilukiskan” dalam bentuk citraan-citraan visual. Tekanan visual pada puisi-puisi Cina klasik inilah yang kelak menjadi cikal bakal puisi modern seperti imajisme di AS dengan memunculkan konsep “jukstaposisi”. Konsep ini, menurut Ezra Pound, salah satu pelopor puisi imajisme dunia, ia temukan setelah dirinya melakukan studi intensif terhadap puisi-puisi klasik Cina dan haiku Jepang.

    Jukstaposisi adalah teknik sastra yang menggunakan dua atau lebih ide, tempat, karakter dan tindakan para tokoh yang diletakkan berdampingan dalam sebuah teks prosa atau puisi untuk membangun perbandingan dan kontras.

    Dalam sastra, jukstaposisi adalah perangkat yang berguna bagi penulis untuk menggambarkan karakter dengan sangat rinci demi menghadirkan ketegangan dan mencapai efek retoris. Begini jelas suatu upaya kreatif manusia untuk memahami satu hal secara cepat melalui perbandingan dengan hal lain. Sehingga, oleh karenanya, penulis sastra dapatlah membuat pembaca merasakan “kebaikan” dalam karakter tertentu dengan menempatkannya berhadap-hadapan tetapi juga saling berkelindan dengan karakter yang didominasi oleh “kejahatan”. Dampaknya, kebaikan dalam satu karakter tertentu akan semakin nampak jelas oleh sebab gelapnya kejahatan dalam karakter lainnya. Penjajaran begini bisa sangat berguna dalam pengembangan karakter atau gagasan, baik pada prosa maupun puisi.

    Meski begitu teknik jukstaposisi tidak hanya digunakan pada puisi-puisi modern dunia, melainkan telah digunakan juga pada puisi-puisi era praromantik dan romantik, misalnya di dalam puisi dan teks drama karya William Shakespeare. Sebagai contoh, teknik jukstaposisi digunakan dalam teks drama “Romeo dan Juliet”. Kita bisa menemukan jukstaposisi antara “cahaya” dan “kegelapan” secara berulang, misalnya, dalam satu dialog Romeo pada Babak I, Adegan V, begini:

    …………………………….

    O, betapa wajahnya mengajari obor tetap menyala!
    Nampak cerlang ia pada pipi malam begini gelapnya
    Seperti permata mewah di telinga orang Ethiopia;

    …………………………….

    Pada dialog puitis itu, wajah berseri Juliet disandingkan dengan kulit gelap orang Ethiopia. Romeo mengagumi Juliet dengan mengatakan bahwa wajahnya tampak lebih terang ketimbang obor yang menyala di aula. Dia mengatakan bahwa pada malam hari wajah Juliet bersinar laksana permata di kulit gelap orang Ethiopia.

    Penulis sastra biasanya menggunakan teknik jukstaposisi untuk mengejutkan pembaca dengan cara mengembangkan perbandingan antara dua hal yang berbeda melalui penjajaran langsung pada suatu teks prosa atau puisi. Perbandingan yang kontras itu sengaja dihadirkan demi menambah kejelasan akan gambaran yang diekspresikan di dalam teks, mengontrol alur kisah atau gagasan di dalam prosa atau puisi, serta menyediakan koneksi logis antara dua konsep yang ambigu.

    Munculnya konsep jukstaposisi dalam puisi-puisi imajisme sebenarnya untuk menjawab dua pertanyaan klasik: Apa yang membedakan bahasa sastra dan bahasa nonsastra? Serta, apa yang membedakan antara bahasa puisi dengan bahasa prosa? Dua pertanyaan itulah yang sejak masa Yunani kuno, tepatnya sejak Horace menulis “Ars Poetcia” sekitar tahun 19 – 18 SM, hingga masa Alexander Pope menulis “puisi esai” berjudul “An Essay on Criticism” di Inggeris pada tahun 1709, terus dicari jawabannya oleh para penyair klasik di Eropa. Mereka percaya bahwa ada perbedaan mendasar antara “bahasa sastra” dibandingkan dengan “bahasa lainnya”. Pula, tentu saja, ada perbedaan mendasar antara “bahasa prosa” dibandingkan dengan “bahasa puisi”.

    Menurut Horace, yang menjadi hal pembeda substansial antara bahasa puisi dengan bahasa prosa adalah “irama” atau “musik” yang ada di dalam teks puisi. Irama dimaksud meliputi banyak unsur, mulai dari rima hingga metrum. Namun, masih menurut Horace, yang paling penting dalam konteks irama pada bahasa puisi adalah metrum. Metrum bukanlah perkara remeh pada puisi, karena menurut Horace setiap pola-pola metrum pada puisi selalu didasarkan pada metrum natural, metrum yang dianggap melekat pada keberadaan alam itu sendiri, sekaligus, secara imanen, keberadaan Ilahi. Dengan demikian, Horace telah meletakkan pandangan klasik bahwa upaya menulis puisi merupakan suatu upaya profetik untuk menghadirkan kembali “musik alam” atau musik Ilahi melalui bahasa. Upaya yang dilakukan oleh Horace ini setara dengan upaya dilakukan oleh Phytagoras saat mengangkat matematika menjadi semacam jalan mistis, sebagai jalan untuk menemukan substansi Ilahi. Pula begitu dengan Horace. Ia berupaya mencari hal yang paling “mendasar”, begini memang sangat tipikal pada pemikiran para filsuf Yunani, dari bahasa puisi. Dan Horace menemukannya dalam irama, khususnya metrum, yang merupakan substansi dari bahasa puisi.

    Pola-pola metrum yang dirumuskan oleh Horace itu sangat ketat, seperti rumus matematika, semacam hukum “bahasa puisi” yang nyaris tak bisa dilanggar bila puisi ingin dimaksudkan sebagai puisi. Itulah sebabnya, tidak sembarang orang pada masa Horace bisa disebut penyair, oleh sebab sulitnya menulis puisi yang mesti berpatokan pada pola-pola metrum “natural” seperti yang dirumuskan oleh Horace. Penyair pada masa itu bisa dianggap sebagai “pemusik Ilahi” atau sebagai penyampai pesan profetik oleh sebab kemampuannya dalam menulis puisi. Hal ini terus bertahan hingga masa sastra klasik dan romantik di Eropa.

    Namun, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dengan munculnya gerakan puisi simbolisme di Prancis, dan, lebih lagi, gerakan objektivisme dan imajisme di Amerika Serikat, pembedaan yang ketat antara bahasa puisi dengan bahasa prosa mulai digugat. Ezra Pound, penyair imajisme dari Amerika Serikat, pada awal abad ke-20 menyatakan bahwa sesungguhnya “metrum natural” itu tidak ada. Semua metrum itu buatan manusia dan disepakati oleh manusia. Lalu, ia bersama rekan-rekan penyair Amerika Serikat sejamannya memperkenalkan apa yang sekarang dikenal sebagai metrum berkaki bebas. Dengan munculnya “metrum berkaki bebas” ini bahasa puisi pun menjadi lebih “cair”, menjadi lebih prosais, dalam arti tidak lagi berpatokan pada pola-pola metrum natural yang ketat itu. Batasan yang tegas antara bahasa puisi dengan bahasa prosa, yang ditandai oleh metrum natural itu, mulai pupus. Para penyair modern mulai memunculkan imaji-imaji atau simbol-simbol visual sebagai substansi puitik. Namun, ini bukan berarti para penyair modern itu sama sekali mengabaikan irama atau aspek prosodi lainnya. Irama masih tetap menjadi hal yang vital dalam puisi modern, namun bukan lagi menjadi hal mendasar yang menjadi pembeda antara bahasa puisi dengan bahasa prosa.

    Dengan pupusnya metrum natural dan hadirnya metrum berkaki bebas, pula beralihnya substansi puitik kepada “gambaran-gambaran”, maka puisi-puisi karya Ezra Pound, William Carlos Williams, T. S. Eliot, Wallace Stevens, hingga John Ashbery tampil menjadi pemuka gerakan “bahasa visual” di dalam khasanah puisi modern pada abad ke-20. Dan, jukstaposisi menjadi salah satu teknik kunci yang ditawarkan oleh Ezra Pound dalam merumuskan “kalimat puitik”, seperti puisi yang ditulisnya dan dianggap oleh para kritikus sebagai pemula dari puisi modern ini:

    ————————————–
    PADA SATU STASIUN METRO
    ————————————–

    Penampakan wajah-wajah ini di kerumunan;
    kelopak-kelopak di dahan basah, dan hitam.
    ……………………………

    Jukstaposisi yang ada dalam puisi Ezra Pound itu adalah membandingkan antara kelopak-kelopak bunga dan dahan hitam dengan wajah-wajah penumpang dan kereta api di dalam satu stasiun metro. Perbandingan yang mengejutkan itu menimbulkan kesan emosi yang kuat dalam benak pembaca tentang wajah-wajah penumpang yang mungkin lelah setelah perjalanan, wajah-wajah yang seperti kelopak-kelopak bunga yang basah di dahan hitam. Namun, puisi ini juga membuka ruang lain bagi pembaca untuk menafsir, misalnya: wajah-wajah para penumpang itu merupakan wajah-wajah kaum pekerja yang lelah setelah menghadapi kerasnya kehidupan di kota yang dipenuhi persaingan dan dominasi modal—seperti kelopak-kelopak bunga pada sebatang dahan hitam. Begitulah, sejak saat itu, puisi modern dunia telah bertransformasi menjadi semacam lukisan dengan bahasa.

    Pergulatan para penyair dari segi “teknik”, sejak masa Yunani kuno hingga modern (mungkin pula pascamodern), adalah pergulatan untuk menemukan “bahasa puitik”, pergulatan antara “irama puitik” dengan “lukisan puitik” sebagai pilihan atas bentuk-bentuk artistik. Dan, bagi pembaca, memahami pergulatan para penyair dalam menemukan bahasa puitik adalah jalan terlempang untuk memahami puisi sebagai karya sastra, sebagai salah satu bentuk terpurba dari seni yang pernah diciptakan oleh manusia.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here