More

    IKJ Kolektif Kreatif

    Ahmad Fauzan

    Bedah Buku Kolektif Kreatif di Galeri FSR IKJ, Jakarta, Selasa, (24/01). FOTO : AHMAD FAUZAN

    JAKARTA, KabarKampus Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta menggelar bedah Buku Kolektif  Kreatif : Dalam Perkembangan Kerja di Galeri FSR IKJ, Jakarta, (24/01). Sebagai pembicara adalah Roni Agustinus, pendiri ruang rupa dan Yudhi Suryoatmojo, dari British Council bidang ekonomi kreatif.

    Dalam buku serial kataloq yang ditulis Indonesia Visual Art Archive (Ivaa) yang berjudul Kolektif Kreatif tersebut menggambarkan perjalanan seni rupa Indonesia melalui kolektif kreatif dalam kurun waktu 1938 – 2011.

    - Advertisement -

    Pada tahun 2011 untuk pertama kalinya Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengukuhkan ekonomi kreatif sebagai suatu kementerian, ini menunjukan ada upaya serius dari pemerintah untuk mengembangkan ekonomi kreatif.

    Menurut Roni Agustinus, konsepsi ekonomi kreatif yang hendak dibangun pemerintah itu bersebrangan dengan para pegiat seni, dalam buku Ivaa tersebut mencontohkan ekonomi kreatif itu adalah majalah alternatif, seni tato, artis merchandise, t-shirt sebagai bentuk seni visual  informalitas dan kreativitas ekonomi yang berbasis produksi dan distribusi karya, namun menurut Agustinus warna independen dalam cetak biru konsepsi ekonomi kreatif yang dikeluarkan Departemen Perdagangan tersebut tidak ada sama sekali.

    “Sama sekali tidak ada kreteria kebudayaan (pencerdasan kehidupan bangsa, penyebaran informasi, dan pengetahuan cuma-cima), penyediaan alternatif kultural yang dipakai sebagai kreteria untuk mengukur dampak ekonomi yang sangat mainstream,” kata Agus.

    Menurut Agustinus, Industri kreatif yang sebenarnya menurut Depdag adalah bukan Ivaa, ruang rupa, Mess56, atau Butet manurung yang mengajar suku anak dalam, dan sebagainya, namun Raam Punjabi.

    Sedangkan menurut  Yudhi Suryoatmojo, pemerintah sudah mulai sedikit memahami berkembangnya ekonomi kreatif, namun bidang kreatif lain selain distro dan sebagainya adalah bagaimana menjelaskan dengan bahasa yang mereka mengerti, karena segala sesuatu tidak bisa dinilai dengan uang. Ketika pemerintah  sedikit memahami, kita harus menambahkan pemahaman itu, dan kita jangan harap pemerintah ada di depan membuat wacana yang bagus, membuat konser musik, dan pagelaran seni.

    “Sudah tugas kita mendorong pemerintah dan menformulasikannya, Tuhan memberikan kita kelebihan yang tidak dimiliki birokrat, gunakan kelebihan itu,” kata Yudhi.[]

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here