,
Encep Sukontra
Potret peristiwa besar Konferensi Asia Afrika 1955 bisa diketahui hingga sekarang tidak lepas dari jasa pewarta foto waktu itu. Inen Rusnan merupakan salah satu fotografer yang mengabadikan momen kepala negara berkumpul di Bandung. Saat itu Inen Rusnan baru berusia 17 tahun.
Kini usianya tak lagi muda namun masih mengingat jelas peristiwa yang terjadi 61 tahun lalu. Menjelang peringatan KAA tahun 2016, pria kelahiran Sumedang, 28 Agustus 1937 ini diundang mengisi satu sesi rangkaian acara untuk mengisahkan pengalamannya memotret Konferensi Asia Afrika.
KabarKampus beruntung bisa bertemu dan berbincang langsung dengan sang fotografer. Inen Rusnan pandai membuat suasana cepat akrab dengan guyonan segar khas Sunda. Berikut wawancara KabarKampus dan Inen Rusnan.
Apa kabar Pak Inen, masih dinas atau sudah pensiun?
Usia 82 tahun masih sehat, Alhamdulillah. Kalau dinas mah terus dimana-mana.
Kecuali kalau sudah pakai putih-putih, baru pensiun. Maksudnya boeh (kain kafan) hahaha. Sejak ditunjuk Departemen Penerangan, saya terus bantu-bantu Kodam.
Pria dengan sorot mata teduh ini menunjukkan pakaian dinasnya dengan emblem Kodam III Siliwangi. Di masa KAA 1955, ia adalah sipil yang ditunjuk Departemen Penerangan melalui Kodam III Siliwangi untuk meliput Konferensi Asia Afrika 1955.
Bagaimana ceritanya Pak Inen bisa ditunjuk jadi fotografer KAA 1955?
Tahun 1955 saat akan KAA, waktu itu mungkin tidak ada wartawan foto di Bandung, yang ada Preanger Studio, tapi mereka tak berani mengaku wartawan. Pada acara pembentukan panitia KAA saya diundang, karena ada pemilihan siapa yang bisa menguasai tustel (kamera) waktu itu.
Bukan pemudanya yang tidak ada atau tidak mau, tapi tustelnya yang tak ada.
Lalu saya ditunjuk jadi wartawan foto. Katanya Inen sudah biasa menggeluti foto. Dulu saya pakai kamera buatan Jerman. Saya malu kalau dikatakan mahir, tapi waktu itu memang saya mahir memotret. Maka panitia tunjuk saya sebagai petugas dokumentasi.
Bisa dijelaskan bagaimana tugas Pak Inen saat meliput KAA?
Saya harus bikin dokumentasi. Semua yang diminta panitia saya sanggupi semua. Alhamdulillah diberi ketabahan dan keberanian. Waktu itu kan jangankan motret Bung Karno, mendekati pejabat saja takut. Tapi saya abadikan momen-momen, dokumentasikan. Perlu kelihaian bikin dokumentasi, misalnya, para tamu negara asyik berbincang, saya foto.
Dalam catatan Deni Sugandi, perkenalan Inen Rusnan dengan fotografi dimulai ketika James AS. Adiwijaya pendiri James Photo Service mengangkatnya menjadi asisten kamar gelap. Di ruang gelap inilah Inen Rusnan belajar proses cuci dan cetak film hitam putih. Ketekunan dan kesungguhan Inen Rusnan membuat James jatuh hati. Sehingga dalam waktu yang tak lama, order James Photo Service dikerjakan oleh Inen Rusnan.
James AS Adiwijaya adalah orang penting yang mengantarkan karir Inen Rusnan menjadi seorang fotografer.
Menjadi seorang fotografer sekaligus memahami cara kerja ruang produksi di kamar gelap, membuat dirinya istimewa. Kedua jenis pekerjaan ini merupakan keahlian yang jarang dimiliki seorang fotografer dari dulu hingga saat ini.
Inen Rusnan disebut-sebut sebagai generasi pertama fotografer dokumentasi di Bandung yang kini dikenal dengan istilah pewarta foto. Karya-karyanya bertebaran di sejumlah media massa, diantaranya : Pikiran Rakyat, Sipatahunan, Warta Bandung, Bandung Post, Mangle, Duta Masyarakat, Harian Karya, dan Banteng.
Bagaimana respon pejabat-pejabat negara saat itu?
Saat ada kesadaran mereka minta diulang sendiri. Orang-orang yang saya foto, semuanya sangat menginginkan hasil kerja saya. Dan tugas saya memberikan pelayanan sebaik-baiknya. Panitia berpesan, kalau mereka mau hasil dokumentasi supaya saya ladeni untuk dibawa ke negaranya. Itu bukan tugas enteng, saya nggak banyak mikir, yang penting selesaikan dulu. Mungkin jika mereka majang foto di sana ada karya saya. Foto Jackson Leung yang mengalungkan bunga untuk Chou En Lai, katanya, dapat fotonya dari Belanda. Tapi siapa lagi yang motret waktu itu selain saya. Semua tamu dapat foto.
Di masa KAA 1955, Jackson Leung menjadi salah satu anak yang bertugas mengalungkan bunga kepada delegasi KAA. Salah seorang delegasi adalah Perdana Menteri (PM) legendaris Tiongkok, Chou En Lai (Zhoue Enlai). Nama Chou En Lai menjadi sorotan dunia, ia menjadi salah satu bintang tamu KAA.Setelah bersalaman dengan Chou En Lai banyak warga yang ingin bersalaman dengan Jackson Leung. Orang Tionghoa percaya Chou En Lai memiliki keberuntungan.
Saat mendokumentasikan itu ada tim yang membantu?
Bukan saya semua, karena waktu itu gabungan, karena ada Preanger Studio, tapi akhirnya kalau ada pertanyaan-pertanyaan mereka serahkan ke saya. Foto digabungkan dengan Departemen Pertahanan Pusat dalam wujud satu dokumentasi foto. Foto hanya memiliki kode yakni : Departemen Pertahanan (Depan) dan Negara.
Saya abadikan apa adanya. Kalau sekarang foto bisa diedit, rekayasa, dulu tak bisa. Karena proses foto juga beda dengan sekarang yang sudah mutakhir, negara sekarang sudah maju, teknik foto juga sudah maju.
Bagaimana kendala pendokumentasian waktu itu?
Dulu hitam putih. Film paling sedikit 10 rol. Jadi dikali 36 per rol. Sedang saya ingin film lebih dari itu. Lebih baik rugi film daripada momen hilang. Agar acara sampai malam ter-cover, lebih baik lebih film daripada kurang. Kan harus beli, nyari dulu, jauh. Dulu sekali bawa film sama dengan buat mutar film di bioskop.
Masukan film sendiri, motong film sendiri. Dulu pede, nggak kayak sekarang. Kalau fotonya jelek bisa dihapus. Dulu makanya Bung Karno katakan berdikari, tak andalkan orang lain. Dalam memotret juga gitu, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Pak Inen juga masih mengoleksi foto-foto KAA 1955. Punya rencana dengan koleksi foto tersebut?
Saya di rumah ada rencana mau bikin museum sendiri. Cuman belum ada modalnya. Di rumah masih ada foto kegiatatan RI 1 yang pertama (Soekarno) ke Bandung. Saya dan mereka. Meski rumah saya pernah kena musibah kebakaran, ada dokumentasi yang selamat. Ada foto Bung Karno, Pak Nas (AH Nasution), beberapa pejabat Panglima Siliwangi.
Inen Rusnan lebih dari saksi sejarah perhelatan KAA. Hasil kerja keras Inen Rusnan dan fotografer dunia masa itu merupakan bukti otentik peristiwa besar sepanjang sejarah di kota Bandung. Kini foto-foto itu terpampang jelas di setiap sudut Museum KAA, termasuk di Arsip Nasional. Dokumentasi ini menjadi salah satu syarat yang membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNESCO menetapkan arsip KAA 1955 sebagai Warisan Ingatan Dunia atau Memories of The World.
Inen Rusnan memotret penggagas konferensi Perdana Menteri (PM) Ali Sastroamidjojo dan empat penggagas lainnya, yakni : PM Sri Lanka John Kotelawala, PM India Jawaharlal Nehru, PM Birma (Myanmar) U Nu, dan PM Pakistan Muhammad Ali. Presiden Soekarno kemudian mengusulkan menggelar konferensi yang lebih besar yang lalu mewujud lewat KAA yang pertama pada 1955 di kota Bandung. []