More

    Alasan Gender, Jadi Penyebab Bahasa Daerah Makin Punah

    Salah satu peserta Festival Karnaval Khatulistiwa asal DKI Jakarta menampilkan tarian saat melintas Jalan Tanjung Pura, Pontianak, Sabtu (22/08/2015).
    Ilustrasi / Salah satu peserta Festival Karnaval Khatulistiwa asal DKI Jakarta menampilkan tarian saat melintas Jalan Tanjung Pura, Pontianak, Sabtu (22/08/2015).

    Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah bahasa etnis terbesar kedua di dunia. Namun bahasa yang dimiliki tersebut dari waktu ke waktu terus menghilang alias punah.

    Dari sebanyak 719 bahasa lokal yang ada d Indonesia, sebanyak 12 bahasa telah punah. Sementara dari bahasa yang tersiksa yaitu sebanyak 707 bahasa, sebanyak 266  bahasa terancam dan 76 nyaris punah.

    Punahnya bahasa di daerah tersebut, disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya kelas sosial dan gender. Selain itu adalah ada persepsi negatif masyarakat terhadap penggunaan bahasa lokal.

    - Advertisement -

    Hal ini disampaikan Ika Nurhayani, Ph.D., pakar Linguistik dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya pada Konferensi Internasional di Bidang Bahasa, Sastra dan Budaya (ICON LATERALS) 2016 di Auditorium Widyaloka UB, (29/10/2016). Acara ini merupakan forum internasional yang bertujuan untuk mempresentasikan dan mendiskusikan persoalan terkait (kajian) bahasa, sastra dan budaya pada situasi saat ini.

    Ika mengatakan, punahnya bahasa daerah salah satunya disebabkan, oleh kelas sosial dan gender. Dari data yang dikutip dari hasil penelitian Kuniasih, perempuan lebih mempunyai peran dalam pergeseran bahasa Jawa.

    “Sebanyak 88 persen ibu kelas menengah lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan anaknya dibandingkan bahasa daerah. Sementara 57 persen remaja perempuan kelas menengah menggunakan bahasa Indonesia di rumah sedangkan  sembilan persennya remaja laki-laki,” ungkapnya mengutip penelitian Kurniasih.

    Selanjutnya, kata Ika, faktor lainnya adalah pandangan negatif orang lain dalam penggunaan bahasa Jawa. Berdasarkan penelitiannya, salah satu faktor penyebab masyarakat tidak lagi banyak yang menggunakan bahasa daerah karena akan memunculkan persepsi negatif orang lain. Selain itu, menggunakan bahasa daerah dan lokal atau bilingualism dianggap menjadi salah satu penghambat pencapaian prestasi akademik di sekolah.

    “Oleh karena itu, sejak tahun 1990 sesuai dengan kebijakan bahasa atau language policy, bahasa daerah diajarkan hanya sampai kelas tiga Sekolah Dasar dengan frekuensi tiga jam seminggu,”katanya.

    Ika menambahkan bahwa penggunaan bahasa bilingual justru akan mampu meningkatkan kemampuan kognitif otak. Selain itu adalah menghindari terjadinya demensia atau kelainan pada otak yang menyebabkan gangguan berpikir dan hilang ingatan, perubahan sifat serta perilaku seseorang.

    Bertolak belakang dengan bahasa daerah yang yang semakin bergeser, bahasa Mandarin justru semakin meluas penggunanya. Hal ini tidak terlepas dari faktor budaya dan yang semakin menyebar di berbagai penjuru dunia.

    Di Indonesia sendiri, penggunaan Bahasa Mandarin sempat dilarang. Pada tahun 1990 an ketika internet sudah mulai merambah Indonesia, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa mempunyai akses terhadap publikasi on line berbahasa Mandarin.

    Selain Ika, konferensi ini juga mengundang dua pakar pakar sebagai keynote speakers (pembicara utama) yaitu Prof. Dr. Budi Darma, M.A., pakar sastra dari Universitas Negeri Surabaya, Dr. Thomas Barker, pakar Kajian Budaya dari The University of Nottingham, Malaysia, Dr. Charlotte Setijadi, pakar sosiologi bahasa dari Institute of Southeast Asian Studies, Singapura.[]

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here