More

    Menulis Syair Saat Banjir Status Puisi

    IMAN HERDIANA

    Mahwi Air Tawar memperkenalkan kumpulan puisinya yang berjudul “Tanah Air Puisi” di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Minggu (06/11/2016). Sebelumnya pria kelahiran Madura ini lebih dikenal lewat cerpen-cerpennya.

    Mahwi Air Tawar penulis buku "Tanah Air Puisi". Foto : Dokumentasi Pribadi
    Mahwi Air Tawar penulis buku “Tanah Air Puisi”. Foto : Dokumentasi Pribadi

    “Lewat buku puisi ini saya merasa mengamalkan pepatah ‘menulis hal yang paling dekat dengan diri saya’. Dengan judul ‘Tanah Air Puisi’, sekarang kan banyak sekali puisi, banyak yang nulis status dengan puisi,” ungkap Mahwi Air Tawar.

    - Advertisement -

    Memakai peci hitam dan jas hijau gelap, ia menjadi salah seorang narasumber Pengajian Sastra ke-82 gelaran Majelis Sastra Bandung (MSB), sebuah komunitas sastra pimpinan penyair Matdon.

    Antologi puisi “Tanah Air Puisi” masuk dalam 15 besar puisi pada Hari Puisi kemarin, sebuah capaian menarik bagi penulis yang sebelumnya lebih sering menulis cerpen. Menanggapi capaian tersebut, cerpenis yang doyan humor ini berusaha merendah.

    “Tadinya saya mau jadi nomor satu, saya menolak, lalu dua besar, saya juga menolak. Lalu saya terima masuk 15 besar. Itu karena saya harus rendah hati,” katanya, disambut tawa renyah hadirin yang memadati pengajian sastra itu.

    Pria kelahiran Pesisir Sumenep, Madura, 28 Oktober 1983, ini mengaku mulai menulis puisi sejak usia SMP kelas tiga saat sekolah di Yogyakarta. Honor menulis puisi waktu itu Rp25.000, jumlah honor ini sangat kecil dibandingkan menulis cerpen Rp 250.000.

    “Itu godaan saya, daripada nulis puisi mending cerpen. Tapi rupanya cinta pada puisi tak bisa diukur dengan honor. Puisi terus memanggil-manggil saya pulang. Akhirnya saya pulang ke kampung halaman puisi (mulai menulis puisi),” katanya.

    Puisi-puisi dalam buku “Tanah Air Puisi “berisi pengalaman keseharian penulisnya. Mahwi Air Tawar berusaha menghindari syair-syair gelap yang sulit dipahami. Awalnya ia merasa puisi yang baik adalah puisi yang sulit dipahami.

    Belakangan saat ia berkunjung ke Lumajang, Jawa Timur, ia bersinggungan dengan masyarakat yang menyenandungkan syair dalam bahasa Arab yang entah dimengerti atau tidak artinya.

    Kebiasaan masyarakat Lumajang yang menyenandungkan puji-pujian itu membuatnya bertanya-tanya, bagaimana puisi yang tidak dimengerti tetapi bisa disukai masyarakat.

    Menurutnya, puji-pujian Arab itu sangat memperhitungan rima, irama, diksi. Satu ketukan hilang membuat irama dan rima syair tak menarik. Sehingga rima awal dan akhir sangat diperhitungkan.

    Dari situ ia mencoba membuat puisi yang mempermainkan rima. Hasilnya, ia tidak menampik jika puisinya agak jadul, agak kemelayu-melayuan sebagaimana syair yang biasa ditulis angkatan pujangga lama.

    “Tapi toh sebagai belajar ya nggak apa-apa. Ke sananya setelah saya membuat fondasi mungkin bisa ugal-ugalan,” katanya.

    Salah satu puisi yang ia buat dengan gaya arabik lahir dari pengalamannya saat menyeberang pulau Madura. Di atas kapal ia mendengar pengumuman untuk penumpang. Pengumuman itu kemudian menjadi bagian syairnya. Ia lalu membacakannya dengan gaya puji-pujian.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here