More

    Demi Nenek Telinga Panjang, Perempuan ini Blusukan ke Pedalaman Kalimantan

    IMAN HERDIANA

    Ati Bachtiar, fotografer senior Bandung, merampungkan buku fotografinya yang kemudian diberi judul “Telinga Panjang: Mengungkap yang Tersembunyi”. Buku ini lahir dari riset dua tahun dan blusukan selama enam bulan di suku-suku pedalaman Dayak, Kalimantan.

    Ati Bachtiar (tengah), dalam buku fotografi berjudul “Telinga Panjang: Mengungkap yang Tersembunyi” dalam rangkaian Festival Indonesia Menggugat#3: Pekan Literasi Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintiskemerdekaan, Bandung, Senin (05/12/2016). FOTO: IMAN HERDIANA
    Ati Bachtiar (tengah), dalam buku fotografi berjudul “Telinga Panjang: Mengungkap yang Tersembunyi” dalam rangkaian Festival Indonesia Menggugat#3: Pekan Literasi Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintiskemerdekaan, Bandung, Senin (05/12/2016). FOTO: IMAN HERDIANA

    “Buku ini berisi 43 foto perempuan telinga panjang plus 11 foto perempuan yang telinganya sudah dipotong,” kata Ati Bachtiar, kepada Kabar Kampus, di sela diskusi bukunya dalam rangkaian Festival Indonesia Menggugat#3: Pekan Literasi Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintiskemerdekaan, Bandung, Senin (05/12/2016).

    - Advertisement -

    Ide membuat buku fotografi, kata Ati Bachtiar, muncul ketika dirinya hadir dalam pertujukan di Kalimantan. Ia bertemu seorang nenek puping panjang yang diganduli banyak anting. Si nenek sudah terbiasa dipotret. Satu kali jepretan, si nenek memasang tariff Rp50.000.

    Ia terkesan dengan nenek kuping panjang berusia sekira 60 tahunan. Si nenek dinilai generasi langka, seperti the last samurai yang menjadi pewaris tradisi terakhir suatu peradaban.

    Ia riset di internet yang menyebutkan tradisi kuping panjang semakin punah. Untuk memastikan risetnya, Ati Bachtiar pun merancang liputan yang memerlukan biaya besar. Ia pun membuat proposal yang ditujukan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga perusahaan-perusahaan minyak.

    “Semua proposal saya ditolak. Padahal menurut saya, dokumentasi ini sangat penting, sebagai dokumentasi kebudayaan telinga kuping panjang. Tapi bagi saya penting belum tentu bagi orang lain penting, bahwa budaya mereka punah silahkan,” ungkap Atie Bachtiar.

    Misi Ati Bachtiar terlaksana lewat program Membaca Indonesia. Lewat program ini, ia bisa berangkat ke sejumlah suku Dayak sejak Mei sampai Oktober 2016. Ia kembali bertemu dengan nenek kuping panjang yang memasang tarif Rp50.000 sekali potret.

    Dengan pendekatan berbeda, ia bisa memotret si nenek sepuasnya plus dapat informasi di mana saja perempuan-perempuan yang masih memiliki kuping panjang. Semuanya ada 43 orang. Perempuan kuping panjang memang mendekati kepunahan.

    Ia dapat informasi tentang perempuan bekas pemilik kuping panjang, yaitu perempuan yang pernah memiliki kuping panjang, tetapi karena berbagai faktor terpaksa memotong telinganya ke puskesmas.

    Diperkirakan, jumlah perempuan telinga panjang yang memotong telinganya mencapai ratusan ribu. Hal itu pula yang membuat tradisi kuping panjang semakin menyusut. Salah satu faktor pemotongan telinga adalah perubahan zaman. Mereka memotong sendiri telinganya karena malu dengan generasi masa kini. Di mata generasi muda, telinga panjang dipandang aneh.

    “Nenek kuping panjang sering menutup diri, takut diolok-olok. Mereka hanya keluar saat upacara adat tanam padi, panen padi dan upacara besar lainnya,” kata perempuan yang diangkat menjadi anak angkat suatu suku di Dayak.

    Sementara peneliti Pindi Setiawan mengatakan, telinga panjang sebagai tradisi bangsawan di Dayak, laki-laki maupun perempuan. Tradisi digerus Kolonialisme Belanda. Kepunahan tradisi ini makin meningkat sejak Orde Baru berkuasa 32 tahun.

    “Orang dengan telinga panjang sebagai simbol bangsawan, pemilik tanah atau hutan,” jelas Pindi Setiawan. Sejak penguasaan hutan diambil-alih pemerintah lewat Hak Pengusahaan Hutan (HPH) pada tahun 70-an, para bangsawan Dayak kehilangan hutan atau tanah mereka. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here