IMAN HERDIANA
“Jangan sampai warga desa dibanjiri informasi dari kota yang sama sekali tidak mewakili kepentingan desa…”
Ribuan orang berkumpul di tanah lapang bekas pabrik genteng Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Mereka membacakan ikrar dan mars Jatiwangi. Mungkin cuma Jatiwangi satu-satunya kecamatan di Indonesia yang punya ikrar dan mars sendiri.
Peristiwa itu direkam Sunday Screen, sebuah komunitas video yang intens membantu masyarakat Jatiwangi untuk merekam kehidupan mereka. Video dijadikan alat sebagai pengingat sekaligus mengantisipasi perubahan.
Kecamatan Jatiwangi tengah menghadapi perubahan dahsyat dimana Kabupaten Majalengka, menjadi tempat terpilih untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, Majalengka. Sebelumnya, di kabupaten ini pula dibangun waduk raksasa Jatigede.
Pembangunan infrastruktur besar-besaran itu berdampak besar pada masyarakat.
Dampak dari perubahan itu kiranya dapat dilihat secara kritis melalui video yang diputar dalam rangkaian acara “Jungkir Balik 2016” berjudul Videography: Village Video Festival (VVF), di Kafe Kaka, Jalan Tirtayasa 49 Bandung, Jumat (30/12/2016).
Salah satu yang membuat kagum dari gambar bergerak itu memperlihatkan ribuan pelajar, guru, ibu-ibu PKK, tentara, polisi, menyatakan bersama-sama dalam Ikrar Masyarakat Jatiwangi.
“Bahwa kebudayaan Jatiwangi sangat dipengaruhi oleh tradisi pendahulu yang selalu berpikir, bergerak, berkreasi, peduli, penuh semangat dalam memenuhi dan mempertahankan kebutuhan hidupnya…”.
Berikutnya video memperlihatkan berbagai aktivitas masyarakat Jatiwangi. Mulai dari potensi desa hingga cara masyarakat merespon tanah menjadi seni dan permainan sehari-hari.
Saat presentasi, Yopie Nugraha, salah seorang pendiri Sunday Screen, mengungkapkan VVF merupakan salah satu event rutin yang dimiliki masyarakat Jatiwangi. VVF sudah digelar sejak 2009. Peserta festival adalah warga Jatiwangi sendiri yang sebelumnya mendapat pelatihan dari seniman yang didatangkan Sunday Screen.
Bagi masyarakat Jatiwangi, tanah merupakan sumber kehidupan. Tanah menjadikan Jatiwangi sebagai pusat produksi genteng. Tanah pula yang memberi hasil panen melimpah, padi dan palawija.
“Jatiwangi daerah yang memproduksi genteng terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Genteng-genteng dari Jatiwangi melindungi atap-atap nusantara,” kata Yopie Nugraha.
Dengan kata lain, tanah melahirkan kebudayaan khas Jatiwangi. Berbagai produk kebudayaan tersebut harus direkam. Menurut Yopie Nugraha, alat perekam terbaik adalah video atau film dokumenter.
Maka video bukan hanya merekam genteng produksi Jatiwangi, melainkan berbagai permainan dari tanah. Jika masyarakat modern memiliki mainan waterboom, Jatiwangi punya “tanahboom”, yakni permainan berseluncur di atas tumpukan tanah licin.
Tidak hanya itu, seniman dari Jatiwangi Art Factory (JAF), komunitas seni yang sohor itu, membuat alat musik dari tanah seperti gitar, bass, serta alat musik pukul dan tiup. Bahkan Jatiwangi punya festival musik keramik, foto model di pabrik-pabrik genteng, hingga kontes binaraga yang pesertanya pembuat genteng.
“Pembuat genteng tiap harinya membawa genteng 10-20 kilogram. Kontes binaraga ini sebagai bentuk penghargaan kepada mereka,” tutur Yopie Nugraha yang juga alumnus Jurnalistik Fikom Unisba.
Lewat kontes binaraga, para pembuat genteng memperlihatkan tubuh kekar mereka. Namun perlu dicatat, bentuk tubuh yang berotot itu bukan karena obat atau pasokan gizi yang biasa dikonsumsi binaragawan profesional, melainkan terbentuk alami berkat tempaan mengangkat genteng.
Yopi Nugraha menjelaskan, memasyarakatkan pembuatan video bagi masyarakat Jatiwangi tidak lain upaya menyaring derasnya perubahan. Sejak Majalengka dibangun bandara dan bendungan raksasa, di kawasan pantura makin banyak pabrik berdiri.
Warga Majalengka, termasuk Jatiwangi, tidak sedikit yang tergiur kerja di pabrik. Mereka meninggalkan pabrik genteng dan lahan pertanian. Video-video tersebut kemudian diputar di JAF TV. Kadang digelar pula layar tancap.
Video hasil buatan warga kemudian ramai-ramai ditonton warga. Lewat dokumentasi kebudayaan Jatiwangi, masyarakat diharapkan punya kebanggaan budaya sendiri. Sehingga mereka bisa menyesuaikan dalam menghadapi perubahan.
“Jangan sampai warga desa dibanjiri informasi dari kota yang sama sekali tidak mewakili kepentingan desa,” terang Yopie Nugraha kepada KabarKampus. []