Ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda, sekira 300 orang berkumpul di gedung Societeit Concordia, Bandung. Mereka mengusung pembentukan milisi untuk melawan penjajah.
Mereka adalah orang-orang Budi Utomo (Boedi Oetomo/BU) yang menggelar sidang umum di Bandung. Kini Societeit Concordia masih berdiri megah di Jalan Asia-Afrika, namanya berubah menjadi Gedung Merdeka.
Ahli sejarah Bandung, M Rizky Wiryawan mengatakan, gerakan BU berkembang cukup pesat di Bandung sebagaimana organisasi pergerakan lain: Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Indische Partij (Partai Hindia), Paguyuban Pasundan, Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dan lain-lain.
Cabang BU Bandung dibentuk pada tahun yang sama dengan berdirinya organisasi yang didirikan Dr.Soetomo dan mahasiswa STOVIA pada 20 Mei 1908. Sedangkan sidang umum atau kongres BU di Societeit Concordia, kata Rizky Wiryawan, tepatnya berlangsung dua hari, 5-6 Agustus 1915.
“Pesertanya 300 orang termasuk 50 utusan dari 39 cabang,” kata pegiat komunitas pecinta sejarah Aleut yang juga menulis buku “Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Freemasonry di Bandung”.
Kongres BU yang melibatkan ratusan peserta kala itu, masuk akal jika digelar di Societeit Concordia yang merupakan satu-satunya convention center terbesar zaman Bandoeng tempoe doeloe. Meskipun gedung tersebut pada masa pra-kemerdekaan dikenal sebagai tempat elit Belanda yang tak bisa sembarangan dimasuki pribumi.
“Budi Utomo pasti punya akses, karena Budi Utomo dianggap organisasi kooperatif, beda dengan kelompok radikal lain yang dicap non-kooperatif,” ujar Rizky Wiryawan, saat berbincang dengan KabarKampus.
Analisa lain, Rizky Wiryawan menduga Societeit Concordia masa pra-kemerdekaan kemungkinan besar dikelola swasta. Sehingga siapa pun bisa memakainya, dengan catatan harus punya duit sewa.
“Kalau punya uang besar bisa sewa Societeit Concordia, jadi tergantung dana saja. Kalau dananya kurang, bisa pilih gedung yang kelas dua atau tiga,” ujarnya.
Gedung pertemuan di Bandung masa itu setidaknya ada tiga, selain Societeit Concordia yang merupakan kelas satu, ada Ons Genoegen alias gedong tonil (kini Yayasan Pusat Kebudayaan/YPK, Jalan Naripan-Braga), dan gedung kelas tiganya bernama Gedung Mardi Hardjo di Jalan Otista, Bandung. Sayang, yang terakhir jejaknya tak berbekas.
Tokoh BU yang hadir dalam kongres BU Bandung adalah Dr. Radjiman Wedyodiningrat yang juga salah satu pendiri Boedi Oetomo. Waktu itu, Radjiman sebagai ketua BU (1914-1915).
Hal yang sangat menarik dan mengesankan saat kongres BU Bandung ialah pembentukan milisi pribumi atau Indiandsche Militie (Milisi untuk Bumiputera). Saat itu menurut pandangan Rizky Wiryawan kongres sudah melihat adanya potensi perang kemerdekaan. Bumiputera sudah saatnya membangun kekuatan rakyat.
Hanya saja ide progresif pada zamannya itu menuai kecurigaan dari organisasi pergerakan lain. Ada yang khawatir pembentukan milisi bakal muncul adu domba antar pergerakan. Bagi pihak kolonial, ide itu tentulah berbahaya.
“BU mendukung dibentuknya milisi rakyat, tapi akhirnya tidak sempat terbentuk karena banyak penentang,” kata dosen AMIK & STIBANKS Al Ma’soem yang juga lulusan Administrasi Negara Unpad (S1) dan Studi Pembangunan ITB (S2).
Dukungan muncul dari Sarekat Islam Cabang Bandung yang dipimpin Abdul Muis. Dalam perjalanan sejarah, ide pembentukan milisi baru bisa terbentuk zaman Jepang lewat Pembela Tanah Air (Peta) yang menjadi cikal bakal militer Indonesia.
Tetapi hal penting lainnya dari kongres BU Bandung, kata Rizky Wiryawan, dibentuknya Dewan Rakyat (Volksraad).
Menurut laman belajar.kemdikbud.go.id, usulan pembentukan Milisi Bumiputera dan Dewan Rakyat menandai BU berubah haluan. Pada awal berdirinya, organisasi ini bergerak di ranah pendidikan atau budaya, sehingga Belanda mencapnya sebagai organisasi yang “tidak berbahaya”.
Dengan munculnya gagasan milisi dan Dewan Rakyat, BU bergerak di ranah politik.
Laman tersebut mencatat, Milisi Bumiputera diusulkan dibentuk untuk mempertahankan Hindia Belanda dari serangan. Pembentukan milisi harus diawali dengan membentuk Dewan Rakyat.
Pada akhir Perang Dunia 1 Volksraad dibentuk, wakil-wakil BU banyak duduk di dalamnya. Lalu pada 1935, BU berfusi atau bergabung dengan Partai Indonesia Raya (Parindra).
Rizky Wiryawan menambahkan, sejak BU menjadi Parindra, keanggotaannya semakin luas, tidak hanya bersifat elitis. BU yang sebelumnya dicap organisasi kaum priyayi alias menak, menjadi partai massa seperti PNI. Ia menyebutkan, tokoh Parindra yang tinggal di Bandung ialah Gondokusumo, mertuanya AH Nasution.
“Sesudah jadi Parindra, BU menjadi lebih terbuka sama golongan masyarakat, lebih populer,” ucapnya.
Jejak lain dari BU di Bandung, sambung dia, terkait dengan Otto Iskandardinata, pahlawan nasional berjuluk si Jalak Harupat. Otto tercatat pernah menjabat Wakil Ketua BU Cabang Bandung (1921-1924) sebelum akhirnya hengkang dan bergabung dengan Paguyuban Pasundan.
Parindra Bandung pernah menempati sekretariat di sejumlah tempat, antara lain di Jalan Dalem Kaum. Diduga, sekretariat tersebut sempat menyatu dengan rumah Otto. Namun nomor rumah Otto di Delem Kaum tidak terlacak. Selain itu, Otto sering berpindah-pindah.
BU juga pernah satu kantor dengan redaksi surat kabar Medan Prijaji yang didirikan Tirto Adhi Soerjo. Tirto sendiri tercatat anggota BU. Hal itu sempat disinggung Pramoedya Ananta Toer dalam buku “Sang Pemula” (Lentera Dipantara, 2003).
Pram mencatatat, kantor perwakilan Medan Prijaji di Bandung menempati bekas kantor kadaster yang terletak di kawasan alun-alun. Penelusuran KabarKampus.com, diduga kuat kantor kadaster tersebut tidak lain Ons Genoegen alias gedong tonil yang kini berubah nama menjadi Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK). []