More

    Belum Terlambat Untuk Desa Lembang

    “Meski berada di kawasan Sesar Lembang, masyarakat masih awam terhadap bencana”

    Santi Muji Astuti (27), ibu rumah tangga di RT 01, RW 10, Desa Lembang, merasa kaget saat puluhan anak muda berkunjung ke desanya, Sabtu, (19/08/2017). Para pemuda itu datang untuk memberitahukan bahwa daerahnya adalah wilayah rawan gempa bumi yang harus diwaspadai.

    Ibu dua anak ini terkejut, karena selama tinggal di lokasi tersebut, ia belum pernah mendapat informasi demikian. Begitu juga dengan keluarga serta tetangganya yang berada di RW 10. Sehingga ia menganggap, para pemuda tersebut hanya mencoba menakut-nakuti.

    “Waktu itu saya kaget dan takut. Sebelumnya ngga kepikiran ke sana. Aduh, jangan sampai ada bencana gempa,” kata Santi menceritakan perasaannya ketika desanya disebut patahan lembang yang rawan gempa,” Kamis, (21/09/2017).

    - Advertisement -

    Santi mengaku, ia juga diberitahu, kalau sewaktu-waktu desanya juga bisa terjadi longsor. Namun soal longsor itu, Santi tidak begitu khawatir, karena masih banyak pohon yang mengitari desanya.

    Daerah tempat tinggal Santi memang berada di puncak bukit yang dikelilingi oleh perkebunan. Jumlah warganya pun tak banyak. Dari tiga Rukun Tetangga, hanya ada sekitar 100 Kepala Keluarga yang menepati kawasan tersebut.

    Namun meski mengaku tak tahu soal patahan lembang, Santi yang tinggal di RT 01 pernah merasakan gempa 3,3 skala richter pada tahun 2011 silam. Ketika itu ia melihat orang-orang panik berteriak dan keluar rumah. Termasuk dirinya dan keluarga.

    “Sekarang saya mengerti apa yang harus dilakukan saat gempa. Saya tidak boleh panik, harus cari tempat yang aman, dan jangan diam di dekat lemari. Saya juga harus lari ke tempat atau lapangan yang paling atas,” ungkapnya.

    Anak-anak RW 10 Desa Lembang bermain sepak bola di depan halaman rumah. Foto : Ahmad Fauzan

    Para pemuda yang datang ke desa Santi adalah para peserta kegiatan ASEAN Youth Volunter Program (AYVP). Mereka datang untuk kampanye pengurangan resiko bencana, agar warga di sekitar kawasan Sesar Lembang lebih siap menghadapi bencana.

    Para volunter muda ini sengaja memilih RW 10, karena letaknya persis berada di Sesar Lembang. Mereka juga menggandeng dua RW lainnya yang berdekatan dengan Sesar Lembang yaitu RW 07 dan 09.

    Fibrianis Puspita Anhar, salah satu fasilitator AYVP di Desa Lembang menjelaskan, isu Sesar Lembang saat ini sedang berkembang. Penelitian tentang Sesar Lembang juga sudah banyak. Namun masyarakatnya masih awam alias belum pernah tersentuh oleh penyuluhan tentang mitigasi bencana.

    “Ketika pertama kali datang ke sana, isunya adalah akan terjadi gempa. Jadi mereka sangat takut, dikiranya kami menyebarkan informasi yang tidak baik, meyebarkan isu bencana di lingkungan mereka,” kata Fibri yang saat ini tercatat sebagai mahasiswa di Insititut Pertanian Bogor (IPB).

    Jadi kata Fibri, agar mereka bisa diterima warga, ketika itu ia dan kawan-kawan mengaku sebagai mahasiswa KKN. Setelah diterima baru mereka bisa melakukan pemetaan dan assesment kepada warga.

    “Kegiatan pertama yang kami lakukan adalah assesment atau penilaian. Dari hasil assesment itu, masyarakat belum tersentuh informasi mitigasi bencana,” ungkapnya.

    Selanjutnya, ia bersama 50 pemuda ASEAN lainnya membuat road map jalur evakuasi serta simulasi bencana. Dalam simulasi, masyarakat benar-benar dilatih seolah terjadi gempa. Mulai dari berlatih di sektor kesehatan, volunter lokal, dan koordinasi dengan pemerintah setempat.

    “Simulasi adalah tujuan akhir dari program ini. Dari hasil evaluasi, yang masih masih dibutuhkan adalah koordinasi dari berbagai pihak. Saya berharap ini bisa ditindaklanjuti oleh pemerintah setempat,” tambah Fibri.

    Apa yang dirasakan Fibri, diakui oleh Muhammad Taufik, Sekretaris Desa Lembang. Ia mengaku, masyarakat RW 10, 09 dan 07 memang belum tersentuh informasi bencana. Termasuk belum pernah mengikuti kegiatan simulasi bencana.

    Sehingga kata Taufik, untuk mengadakan kegiatan seperti kemarin, butuh tantangan yang besar. Seperti saat mereka memasang pengumuman bakal ada simulasi bencana lewat spanduk. Masyarakat yang membacanya mengira bakal ada di gempa bumi di desa mereka.

    “Bahkan warga Cikole ada yang bertanya, emang betul tanggal 19 Agustus bakal ada gempa di Desa Lembang. Selain itu ada warga juga banyak yang tidak mau terlibat dalam simulasi. Mereka beranggapan para voluntir ini cuma mau nakutin,” ungkap Taufik yang juga tinggal di RW 09 Desa Lembang.

    Respon warga yang kurang tersebut, membuat para voluntir khawatir. Sebelum jadwal simulasi dimulai, mereka pun berusaha melakukan pendekatan kepada warga. Sehingga akhirnya, mereka berhasil membujuk warga untuk ikut dalam simulasi bencana yang digelar.

    Suasana pemukiman warga di RW.10 Desa Lembang. Foto : Ahmad Fauzan

    Dari sanalah, Taufik sebagai Sekretaris Desa, menyadari pentingnya mempersiapkan sejak dini dalam menghadapi bencana. Setelah itu, mereka dari pihak desa langsung menggelar rapat. Mereka merencanakan hal-hal yang berkaitan dengan kebencanaan menjadi prioritas.

    “Kalau melihat acara kemarin kami sempet kaget juga, dalam artian kenapa ngga dari dulu. Kami baru kepikiran,” ungkapnya.

    Meski merasa terlambat, Taufik mengaku, selama ini mereka dari Desa Lembang selalu bergerak dalam penanganan bencana. Hanya saja hal tersebut, belum tersusun dan terlembagakan.

    “Kalau ada kebakaran, biasanya kami mendapat informasi dari RW setempat. Kemudian baru turun langsung ke lapangan. Kalau bisa ditangani, kami tangani. Tapi bila tidak bisa, kami akan mengomunikasikannya dengan dengan kecamatan,” jelas Taufik.

    Namun menurutnya, tantangan yang mereka hadapi tak hanya sampai di sana. Ketika bicara dari desa ke level atas, ternyata masih banyak pekerjaan. Contohnya waktu kegiatan kemarin, bagaimana peliknya koordinasi antar penyelenggara dengan pihak kabupaten.

    “Ketika kegiatan simulasi tidak semuanya hadir. Dari kabupaten seperti kurang merespon,” kata Taufik.

    Taufik mengharapkan, pemerintah dari level atas dapat mendukung kegiatan mitigasi bencana di desa Lembang. Termasuk dukungan dari Polsek dan Danramil. Karena, bila dikaitkan dengan desa tangguh bencana, desa tidak bisa bergerak sendiri, namun perlu dampingan dari semua pihak.

    “Makanya kami selama ini inisiatif saja, bila ada persoalan, kami konsultasi ke ITB dan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat. Namun untuk koordinasi ke atas kami bingung ke siapa,” tambahnya.

    Sementara itu, Slamet Nugraha, Kepala Kecamatan Lembang mengaku, mendukung program mitigasi bencana di desa-desa Kecamatan Lembang. Usaha yang akan mereka gelar dalam waktu dekat adalah melatih para Linmas atau Pelindung Masyarakat dari seluruh desa di Kecamatan Lembang agar terampil menghadapi bencana.

    “Apalagi menjelang musim hujan, wilayah Kecamatan Lembang sering mengalami longsor,” kata Slamet.

    Menurutnya, dalam pelatihan tersebut, mereka akan mendatangkan ahli dari provinsi. Pelatihan yang diberikan adalah mengenai penanganan bencana alam, ketertiban dan keamanan, kebersihan lingkungan, termasuk mengatasi macet.

    “Jadi kami mengambil peran menguatkan Linmasnya,” terang, Slamet.

    Bagi Slamet, Linmas adalah ujung tombak desa. Karena selama ini mereka yang di lapangan. Bila tidak melibatkan Linmas, nantinya desa-desa bakal kerepotan dalam menghadapi bencana.

    Slamet berharap pelatihan tersebut, dapat membuat desa-desa di Kecamatan Lembang lebih siap dalam menghadapi bencana. Apalagi anggaran desa cukup cukup besar. Desa dapat menyiapkan alat-alat untuk menghadapi bencananya sendiri.

    Suasana kawasan Sesar Lembang diambil dari RW 10, Desa Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Foto : Ahmad Fauzan

    Penelitian Sesar Lembang

    Sesar Lembang santer menjadi pembicaraan di kalangan peneliti, baru dalam beberapa tahun terakhir. Sehingga awamnya informasi mengenai potensi bencana di kawasan tersebut, ada kontibusi dari para peneliti.

    Hal ini diakui Irwan Meilano peneliti Pusat Penelitian Mitigasi Bencana ITB. Menurutnya lambatnya informasi mengenai bencana di kalangan masyarakat sekitar lembang, karena para peneliti lebih fokus terhadap riset tektonik di Sumatera, Sulawesi dan Papua.

    Para peneliti baru melakukan penelitian kembali mengenai Sesar Lembang setelah gempa Yogyakarta pada tahun 2006 silam. Sebelumnya riset terakhir mengenai Sesar Lembang pernah dilakukan pada tahun 1960.

    Irwan menjelaskan, tidak adanya riset terhadap Sesar Lembang dalam waktu yang cukup lama, karena periode gempa di Pulau Jawa jaraknya mencapai 200 hingga 500 tahun sekali. Sehingga kewaspadaan dan urgensi riset terhadap gempa di Pulau Jawa Kurang.

    Bahkan, menurut lulusan program Doktor Earthquake process, Nagoya University, Japan ini, para peneliti juga lupa mengenai tsunami di Pacitan pada tahun 1994. Ketika itu korban tsunami hanya sedikit. Padahal gempa di pacitan merupakan peringatan awal, sebelum gempa bergeser ke Jawa Tengah dan Jawa Barat.

    “Kami baru menyadari pengulangan itu lama. Pengulangannya itu di atas 200 tahun. Sekarang adalah saatnya, karena sudah 200 lebih tidak ada gempa,” terang Irwan yang pernah menyelesaikan S1 di Geodetic Engineering, ITB ini.

    Jadi tambah Irwan, bila generasi sebelumnya tidak menganggap Sasar Lembang penting, sekarang sudah seharusnya menjadi penting. Apalagi populasi masyarakat di Lembang dan sekitarnya semakin bertambah.

    “Jadi tidak perlu gempa besar skala 200 tahun. Gempa tiga tahunan dengan skala 3,3 yang berpusat di Lembang pada tahun 2011 sudah merusak 100 rumah warga,” terang Irwan..

    Namun Irwan juga tidak mau menyelahkan pertambahan penduduk ke daerah yang rawan bencana atau mendekati sekitar Sesar Lembang. Karena memang kewaspadaan terhadap bencana tidak disiapkan sejak lama.

    Setipe dengan Gempa Yogyakarta

    Irwan dan tim mempublikasikan hasil penelitian Sesar Lembang dalam Journal Disaster Research tahun 2010. Dari hasil penelitian tersebut, mereka memperkirakan kekuatan gempa Sesar Lembang mencapai 6,8 skala richter.

    Karakteristik gempa Sesar Lembang ini, kata Irwan banyak kesamaan dengan gempa Yogyakarta. Hanya saja dalam konteks wilayah Sesar Lembang lebih banyak penduduk.

    “Ada dua hal yang membuat Gempa Sesar Lembang mirip atau magnitutenya sama dengan Yogyakarta yaitu, sama-sama maksimal 6,8 skala richter dan sama-sama dekat dengan kota,” ungkap Irwan.

    Selain itu adalah, gelombang yang dihasilkan akan lebih kuat dari yang dibayangkan. Mereka menyebutnya dengan dengan gelombang yang terkuatkan. Gelombang seperti ini adalah ciri khas kota-kota yang dibangun dari sendimen atau kota yang dibangun dari vukanik seperti Yogyakarta dan Bandung.

    “Kalau Kota Bandung dibentuk dari proses danau purba,” terangnya.

    Bila belajar dari Gempa Yogayakarta, kata Irwan, ketika gempa terjadi pemerintah dan masyarakat selalu tidak siap. Situasi keostik terjadi di mana-mana. Kerusakan tetap banyak.

    Begitu juga pada gempa di Pidie, Aceh, mereka mendapatkan banyak sekolah yang rusak. Padahal bangunan seperti sekolah merupakan benteng terakhir sebagai tempat evakuasi. Bangunan ini seharusnya aman.

    Oleh karena itu, kata Irwan, dalam menghadapi gempa, seharusnya ada tempat teraman yang dapat digunakan untuk tempat evakuasi. Namun, dalam banyak kasus, ia melihat masih banyak kerusakan di bangunan strategis. Termasuk sekolah dan jembatan.

    “Sehingga persoalan yang harus kita bahas secara serius adalah perbaikan infrastruktur. Karena tujuan menginformasikan gempa  adalah munculnya kesadaran untuk membangun infrastruktur yang lebih baik,” jelas Irwan.

    Irwan berharap sosialisasi mengenai bencana di Sesar lembang sudah dilakukan. Mulai dari gencar membangun kesadaran masyarakat mengenai bencana hingga membangun bangunan dengan kualitas baik.

    Namun menurut Irwan, di Desa Lembang sendiri, bangunan dengan kualitas yang baik hanya dimiliki masyarakat yang berduit. Sementara bangunan yang dimiliki masyarakat kebanyakan tidak.  Rumah yang dimiliki kebanyakan masyarakat ini lah yang mereka khawatirkan.

    Bagi Irwan kesadaran masyarakat mengenai bencana alam adalah penting dan harus dibangun sejak dini. Namun yang lebih penting lagi adalah persiapan dari pemerintah. Karena mereka memiliki power atau kekuatan.

    “Namun kesiapsiagaan dalam konteks pemerintah belum maksimal,” ungkap Irwan.

    Desa Tangguh Bencana

    Meski dianggap terlambat, bukan justru membuat Desa Lembang berdiam diri. Mereka justru langsung berbenah dan menyiapkan desa mereka sebagai desa tangguh bencana.

    Taufik mengaku, rencana membangun desa tangguh bencana, bakal mereka siapkan secara bertahap pada 2018 mendatang. Dimulai dari membuat payung hukum atau peraturan desa mengenai kebencanaan. Sehingga pihak desa bisa bergerak lebih leluasa lagi.

    Menurutnya, bila kelembagaan sudah terbentuk, mereka akan membuat forum kesiap-siagaan di tingkat desa. Sementara untuk actionnya, Desa Lembang sudah memiliki relawan penanggulangan bencana.

    “Alhamdulillah sudah 50 lebih terdaftar. Kemarin sudah dua kali pelatihan. Kedepan akan dipetajam lagi,” tambah Taufik.

    Taufik berharap penyusunan rencana desa tangguh bencana bisa selesai tahun ini. Namun nantinya tak sekedar label saja, namun masyarakatnya memang betul betul-betul tangguh.

    “Kami sudah merencanakan lima kegiatan mitigasi bencana di kampungnya. Diantaranya penyuluhan masyarakat dan simulasi. Tahun depan kita membuat simulasi lagi untuk satu RW saja di wilayah lain,” ungkap Taufik.[]

    - Advertisement -

    1 COMMENT

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here