Penulis : Syarif Maulana
Dengan soft opening yang begitu menjanjikan, saya yakin banyak orang tidak sabar untuk menantikan bagaimana gerangan pembukaan akbar (grand opening) yang dilakukan malam harinya di Benteng Vastenburg. Gembar-gembornya, ada permainan gamelan yang dikomposisi oleh para maestro.
Setelah makan malam di sebuah food court bernama Galabo, saya, bersama peliput lainnya, berjalan kaki memasuki Benteng Vastenburg yang dibangun pada tahun 1745 tersebut. Panitia International Gamelan Festival (IGF) 2018 sungguh punya perhatian khusus terhadap edukasi. Di pintu masuk, kami sudah disambut oleh infografis yang berisi tentang tokoh-tokoh gamelan seperti Ki Nartasabda, Ki Sunardi, Lili Suparli, Mang Koko, hingga Rahayu Supanggah beserta lukisan wajah dan profil singkatnya.
Di balik infografis yang berukuran cukup besar itu, terbujur panggung megah yang digunakan untuk pembukaan akbar dan sejumlah penampilan di hari-hari berikutnya. Kursi-kursi yang berjumlah mungkin sekitar seribu, disiapkan bagi para audiens yang ingin menyaksikan grand opening.
Pembukaan, ya, sesuai ekspektasi, berjalan dengan epik. Setelah sambutan dari Direktur Festival, Rahayu Supanggah dan pembukaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, karya-karya gamelan bernuansa kontemporer pun ditampilkan. Komposisi-komposisi dari Rahayu Supanggah, I Wayan Gde Yudane, dan Taufik Adam, tampil mengalir dengan matang sekaligus berani, memaksa para penonton untuk tetap bertahan menikmati suasana yang intens.
Namun nyaris sepanjang acara pembukaan, saya tidak duduk di kursi yang disediakan panitia di area depan panggung. Saya memilih untuk duduk di area lain bersama Kang Ismet Ruchimat, musisi sekaligus pendiri kelompok fusion – etnik Sambasunda. Di mana saya duduk? Tentu saja, di tempat yang masih bisa mendengarkan musik sekaligus melihat jalannya acara, meski dari kejauhan. Ternyata, panitia menyediakan stand makanan, lengkap beserta kursi dan meja untuk bersantai. Kita bisa sambil merokok, minum kopi, makan malam, yang mana beberapa stand diantaranya menyediakan lesehan.
Pembagian area ini agak sedikit berbeda dengan kegiatan bazaar, misalnya. Di bazaar, biasanya memang ada unsur musik dan stand makanan, tapi para pengunjung biasanya menganggap musik sebagai periuh suasana saja untuk menemani kerumunan. Di grand opening kemarin sedikit berbeda. Suasana panggung dan sekitarnya tampak begitu sakral, sementara stand makanan di sekeliling tampak seperti acara yang begitu “duniawi”, profan, dan terpisah dari kekhusyuan di area stage.
Namun saya menduga, penempatan ini bukannya tanpa pertimbangan. Panitia ingin menjadikan suasana pagelaran lebih seperti menonton wayang, yang mana penonton tidak harus secara fokus berada di area panggung. Sarah Andrieu, antropolog Prancis yang meneliti wayang golek selama belasan tahun mengatakan, “Wayang bukanlah semata-mata boneka yang dimainkan oleh dalang, melainkan seluruh kegiatan berkumpulnya. Menonton wayang tidak harus fokus pada apa yang ada di panggung, melainkan bisa juga sambil mengobrol dan bercanda, sambil sesekali menoleh untuk menyaksikan adegan yang penting.”
Pertimbangan ini sungguh menarik. Sungguh sudah biasa, jika ada gerai makanan di dekat panggung, namun yang disuguhkannya notabene adalah musik hiburan. Namun pada grand opening IGF kemarin, di atas panggung adalah “seni tinggi” dengan segala keseriusan apresiasinya. Seolah paradoks, di sekeliling terdapat gerai jajanan yang membuat orang berkumpul membicarakan hal yang mungkin remeh temeh.
Kita bisa katakan bahwa secara umum, beginilah kita (harusnya) memperlakukan kesenian: Seharusnya tidak ada beda, antara seni yang bernilai tinggi, dengan derap ekonomi kerakyatan yang bertalian dengan kegiatan sosial yang teramat mundan. Pada jalinan kehidupan, semuanya saling terikat dan tak bisa dipisahkan.
Lalu saya pulang, dengan memori akan bebunyian yang muncul dari karya Rahayu Supanggah, yang begitu mistis, yang siap terus bergaung hingga saya ke peraduan.
Bersambung..