More

    Mangli, Senja dan Obat Anti Depresan

    Oleh: Krisnaldo Triguswinri*

    Pada Sabtu yang biru, kecerahan di atas langit menjadi petunjuk agung seraya menyiratkan pesan kepadaku untuk keluar dari kegelisahan. Kendati sadar bahwa aktivisme sebagai seorang mahasiswa yang dipenuhi tingkat kecemasan berlebihan, karena menanggung beban moral dan tanggung jawab sosial yang belum tuntas terealisasi. Belum lagi tugas yang usang menumpuk diatas meja belajar, hingga draf skripsi yang tak kunjung usai dikerjakan. Tentunya, kepenatan semacam itu tidak bisa dibiarkan menjamur dalam kepala, jika tidak ingin mengidap penyakit dan depresi.

    Lalu, seorang teman, memberikan solusi atraktif, mengajak keluar kos mengunjungi keindahan-keindahan alami di Magelang. Sayangnya, sebagai seorang perantau dari Sumatra, aku tidak memiliki daftar khusus tempat-tempat wajib yang harus dikunjungi. Namun, teman tadi langsung bergegas memberikan satu nomor membanggakan yang menjadi lokasi pariwisata dan tempat alternatif yang dapat menjadi obat anti-depresan, sekadar menjadi tempat merenung atau menjadi tempat untuk meninggalkan kegelisahan yang bersarang dalam hati dan kepala. Tempat pariwisata itu bernama, Mangli.

    - Advertisement -
    Mangli.

    Mangli adalah ruang alternatif bagi mereka yang berkeinginan mencari ketenangan serta kesejukan jiwa, kata temanku. Terletak di Kabupaten Magelang, di bawah kaki Gunung Andong. Pun akses infrastruktur menuju lokasi sangat mendukung karena relatif bagus. Teman tadi lanjut memberikan informasi, bahwa aku akan mendapatkan keindahan-keindahan yang akan merangsang mata dan kepala, juga suasana hati, katanya.

    Lahan pertanian yang luas dan hijau, bentang horizon pegunungan, garis siluet yang menyambut di jalan jika berangkat pasca azan Ashar berkumandang. Hingga yang paling menarik adalah, para pengunjung akan disuguhi pasar tradisional yang berlokasi berdekatan dengan objek wisata Mangli. Para pedagang yang menawarkan aneka varian sayur-sayuran segar hasil pertanian warga setempat.

    Tanpa tendeng aling-aling, aku bergegas bersiap mengunjungi tempat wisata indah itu. Lagi pula, dari informasi yang aku dapat, registrasi pembayaran masuk ke sana sangatlah murah alias sesuai dengan kantong mahasiswa inde-kos sepertiku.

    Alih-alih ingin melihat siluet orange yang meliriskan, aku berangkat pukul 15.00 WIB. Dari pusat Kota Magelang, mengendarai motor melalui jalur utama kearah Semarang. Aku hanya perlu jalan lurus saja, hinga nanti, sesampainya pada lampu merah terminal angkutan di Secang, kembali jalan lurus, kira-kira 700-800 meter. Sesampainya pada simpang tiga, aku mengambil arah kanan, daerah itu bernama Krincing. Dari situ, aku hanya perlu mengikuti arus utama jalanan, hingga nanti bertemu Pasar Induk Grabag. Hingga sampai pada pasar tradisional yang mengintrupsi bahwa aku harus belok ke kiri masuk gang kecil yang telah berjejer ibu-ibu menawarkan kelembutan hingga sayur-sayuran segar hasil pegunungan. Setelah melewati pasar tradisional itu, aku harus belok kiri dan sampailah pada tujuan. Dari pasar tradisional, Mangli tidak terlalu jauh lokasinya.

    Demikianlah cerita temanku tadi, belum sampai di lokasi, aku telah mendapati pemandangan-pemandangan luar biasa yang disajikan dengan gratis oleh alam Magelang. Astaga, indah sekali. Jalan-jalan yang menanjak, udara sejuk menyelimuti hingga menggigilkan tubuh, para petani yang sibuk di ladang-ladangnya, siluet yang menghipnotis mata dan jiwa, hingga bentang horizon alam serupa lukisan.

    Meletakan motor pada lahan parkir yang telah tersedia, berjalan menuju loket untuk membayar uang masuk, dan setelahnya, aku bergegas memasuki lokasi indah nan hijau itu, menuruni tangga yang relatif banyak. Astaga, maafkan aku, aku tidak sempat menghitung berapa jumlah tangga disana, jadi, aku tidak dapat menjelaskanya kepada kelain berapa jumlah tangga yang ada di sana. Sebab, aku tidak lagi terfokus pada hal-hal yang sederhana. Sepertinya aku kehilangan tingkat kesadaran normal yang disebabkan oleh ribuan hutan pinus yang masuk dengan penuh kedalam mataku, mengacaukan konsesntrasi, sampai pada hilangnya hiruk-pikuk haru biru yang sedari kemarin aku rasakan.

    Mangli

    Astaga, aku lupa skripsi dan kegelisahan seketika lenyap bersama suara kicau burung-burung anggun yang entah dimana mengambil posisi. Jujur saja, aku akan jujur kepada kalian, aku kembali pada sifat alamiah sebagai seorang manusia, seperti dilahirkan kembali oleh alam. Tentunya, tidak lagi memikirkan hal-hal bingar yang menjamur dalam kerangka kepala. Aku kembali memiliki kehendak bebas, dan alam mengafirmasinya. Benar kata Soe Hok Gie, jika dunia terlalu fana untuk dihadapi, larilah ke alam, maka, kau akan bebes. Dan hutan pinus Mangli melakukannya kepadaku. Bebas, bebas,dan bebas.

    Mangli menjadi tempat yang benar-benar tenang untuk merenung dan mengintropeksi diri. Berpikir tentang hal-hal buruk dan merencanakan perbaikan sikap prilaku dan etika-moral secepat mungkin. Ketenangan, kesejukan, kenyamanan benar-benar aku dapatkan sesampainya di Mangli. Duduk di rerumputan dan menengada ke langit, menyaksikan daun-daun yang bergoyang mengikuti intonasi tiupan angin yang berhebus pelan hingga kencang. Keteduhan dan hal-hal yang sulit aku deskripsikan.

    Ada beberapa rumah-rumahan yang tingginya kurang lebih 2 meter. Aku menaiki tangga dan duduk di sana lalu menghadap senja yang sebentar lagi akan terbenam. Maksudku begini, selain keteduhan dan kelirisan yang dihasilkan oleh angin sejuk pegunungan, pohon-pohon pinus yang tinggi dan memiliki dedaunan yang indah dan hijau. Ada sesuatu yang tidak bisa aku lewatkan, walaupun hampir saja aku melewatkannya karena terlalu asik memandangi dedaunan yang bergoyong dan sayup mendengarkan suara angin yang berkolaborasi dengan siul burung. Aku hampir melewatkan senja. Senja akan terlihat lebih indah jika melihatnya dari Mangli. Jelas saja, Senja yang pelan-pelan akan undurdiri, terlihat lebih anggun dari sela-sela pepohonan pinus yang memberi kesan berbeda dari penglihatan biasanya. Desir daun yang bergesekan dengan daun lainnya menghadirkan bunyi yang indah, siyulan burung, hebusan angin kencang, dan hal-hal seperti itu persis serupa instrumen musik klasik a la Cole Porte. Ditambah, pemandangan warna senja yang berangsur-angsur akan menghilang serupa novel yang pernah aku baca, “Sepotong Senja Untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma”. Tentunya, aku tenggelam dalam romantisme musik dan novel tanpa harus mendengar Cole Porte atau membaca Seno Gumira Ajidarma. Aku hanya perlu datang ke Mangli.

    Magelang adalah atlantis, kataku. Tidak, atlantis adalah utopia dan tak akan pernah ditemukan, kata temanku. Lantas kami berdebad cukup panjang. Pasalnya, aku terbawa romantisme imajinatif dan ilutif dalam menggambarkan Magelang sebagai kota tua yang manis dan bersejarah. Sedang temanku, lebih realistis karena mengacu pada bukti-bukti di lapangan. Bahwa Magelang memang demikian adanya, wilayah yang memiliki ruang-ruang populer sebagai objek destinasi wisata para wisatawan lokal hingga mancanegara. Aku terdiam, dan mengamini apa yang temanku sampaikan. Bahwa memang demikian, Magelang minyampan kekayaan alam yang luar biasa indahnya dan menjadi lokasurgawi yang tak mungkin terlewatkan untuk dikunjungi.

    Kegelisahan tentunya benar-benar tertinggal di Mangli. Pun Mangli berhasil merangsang aku lebih semangat untuk menyelesaikan sampai tuntas tugas-tugas yang belum terselesaikan. Aku berjanji akan menjadikan Mangli sebagai rutinitas akhir pekan untuk memecahkan semua kebuntuhan dan pesimisme kehidupan yang kerap datang menerpa. Membawa buku puisi karangan Pablo Neruda tentang hutan dan membacanya, mendengar musik organik yang diciptakan oleh alam, dan tidak melewatkan senja dari sela-sela pepohonan pinus yang menjulang ke langit, hingga pada renungan-renungan kecil yang terbangun secara natural di sana. Hal-hal semacam itu aku fikir sangat membantu keberlangsungan hidup manusia. Aih, kegelisahan sebegitu instan hilang hanya karena adanya persentuhan antara jiwa manusia dan alam. Dan, aku punya rencana romantik, suatu saat nanti, mambawa calon istriku berlarian di bawah teduh pepohonan dan pada akhirnya beristirahat di batas ujung senja.

    Aku menyatakan bahwa Magelang tercipta kala Tuhang sedang meliris. Sebab, struktur wilayahnya yang, sekali lagi, benar-benar indah, unsur warganya yang ramah dan lembut, dan memiliki tata ruang wilayah yang rapi serta cendrung berwawasan ekologi. Tak ayal jika dikemudian hari Magelang menjadi tujuan pariwisata populer dengan berpuluh-puluh lokasi wisata menakjubkan, terlebih, Magelang sangat inovatif.

    Magelang. 10 Agustus 2017

    *Penulis adalah penikmat senja dan pelukan

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here