Penulis : Muhamad Seftia Permana (Vjay)*
Menelusuri Sumber Informasi Gunung Lumbung dan Gunung Bandung Secara Umum
Salah satu sumber tentang Gunung Lumbung selain dari Buku (disertasi) Edy S Ekadjati yang berjudul Cerita Dipati Ukur adalah serial laporan eksploitasi (penelitian) yang dilakukan oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Perhimpunan Masyarakat Seni dan Sains Batavia) yang telah berdiri sejak 1778 dan bertempat di Jalan Kalibesar, Jakarta. Dalam perkembangannya, perhimpunan ini mendapat dukungan dari Genootschaps en Natuurkundige Komissie in Nederlands Indie (Komisi Masyarakat dan Fisikawan/Ilmuwan untuk Belanda di Hindia Belanda) Komisi ini hadir di tahun 1820-1850.
Di era inilah, naturalis yang terdiri dari para ahli zoologi, botani, dan sebagainya melakukan banyak perjalanan dalam rangka penelitian kekayaan alam di Indonesia, termasuk mengunjungi gunung-gunung. Setidaknya, ada 25 orang yang tergabung dari Ilmuwan, Perancang sampai Dewan Editor untuk memahami kondisi alam di Indonesia, termasuk Junghuhn dan Salomon Muller ada di dalamnya. Juga, di era ini banyak sekali hasil dan temuan berharga yang sebagian sampai hari ini masih bisa kita telaah hasilnya.
Bagi yang belum tahu, hasilnya membuat kita tercengang. Sekurang-kurangnya terdapat 62 seri bundel (buku) yang dikemas melalui seri-seri “Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen” dan diikuti oleh tahun seri penerbitannya. Hasilnya? komprehensif!
Atas dasar itu, selain dari untuk ‘mengamankan’ hasil observasi, salah seorang Dewan Editor di Komisi Ilmuwan tsb (Coenraad Jacob Temminck), juga mendirikan Rijksmuseum of Natural History di Leiden guna menjadi tempat kajian penelitian. Dan ini juga yang menjadi salah satu sebab ada kaitannya dengan Universitas Leiden dan kaitannya juga mengapa data tentang Bangsa kita banyak tersimpan di sana (Leiden).
Monumen Nasional RI dan Perpusnas
Dalam perkembangannya, sebagian (selain dari yang dibawa ke Belanda) hasil temuan Lembaga itu, disimpan di gedung yang ada. Pada masa pemerintahan Inggris, Sir Thomas Stamford Bingley Raffles (Gubernur Letnan Hindia Belanda ke-39) yang juga menjadi direktur Bataviaach Genootschap membuat gedung baru di Jalan Majapahit (sekarang menjadi gedung Sekretariat Negara).
Pada 1862, setelah gedung di Jl Majapahit penuh, pemerintah Hindia Belanda mendirikan gedung yang hingga kini ditempati. Gedung ini dibuka untuk umum baru sejak 1868.
Dulu, gedung ini sempat terkenal dengan sebutan Museum Gajah. Hal ini dikarenakan Raja Chulalongkorn dari Thailand pada tahun 1871 memberi hadiah Patung tersebut yang kemudian dipasang di halaman depan museum.
Pasca kemerdekaan, gedung ini menjadi Museum Nasional Republik Indonesia di bawah Dirjen Kebudayaan. Semakin hari, koleksi museum ini semakin bertambah, termasuk Naskah atau Manuskrip Kuno sebelum akhirnya benda tersebut dipisah ke Perpusnas di Jalan Salemba, Jakarta.
*Penulis adalah Ketua Komunitas Jelajah Gunung Bandung