More

    The Museum Of Innocence : Surga Bagi Stilistika Prosa

    Photo: Orhan Pamuk (Sumber: Eurasia via beritasatu.com)

    “The Museum of Innocence” (2008, Faber & Faber) karya Orhan Pamuk, sastrawan Turki, adalah novel pertama yang terbit setelah ia dianugerahi penghargaan Nobel Sastra tahun 2006. Novel ini seperti sebuah melankoli yang lembut, sebuah memoar tentang cinta, tentang benda-benda yang terhubung dengan kenangan seorang lelaki, atau seperti sebuah senja yang kita tahu pasti akan datang setelah siang dan kenangan akan daun-daun hijau cerah tertimpa cahaya matahari pada sebatang pohon palma terus bertahan hingga terbawa ke dalam tidur malam kita. Begitu juga rindu dan perasaan bersalah yang terus bertahan sepanjang waktu dalam diri narator dari novel kompleks ini, Kemal Basmaci, hingga akhirnya ia hanya mampu merekatkan kesepiannya pada benda-benda yang ia asosiasikan sebagai jembatan kenangan akan kekasihnya. Saya menduga tujuan novel ini, mungkin juga yang diam-diam Orhan Pamuk harapkan dari kita, dari para pembaca anonimnya, adalah untuk membangun sebuah museum imajiner di dalam pikiran kita, sebuah meseum bagi cinta dan seluruh rasa sepinya.

    Saya membaca novel ini tahun 2012 lalu dan langsung menyukainya. Sama seperti saat saya menyukai memoar Orhan Pamuk yang berjudul “Istanbul”. Kedua prosa genial Pamuk itu, bagi saya, adalah senarai keindahan sekaligus keajaiban narasi yang terbentuk dari sulur-sulur kenangan tentang lanskap suatu kota, pula melankoli yang melapisinya, lapisan yang bening dan basah, seperti setetes air mata yang mengalir perlahan pada pipi seorang bocah saat menyaksikan jasad ayahnya diturunkan perlahan ke liang kubur dan, sepuluh tahun kemudian, ia pun menyadari bahwa dunia tak selalu sepahit imajinasi masa kecilnya. Gaya narasi memoar dalam The Museum of Innocence setara dengan Istanbul, begitu kompleks dan indah, membuat saya terus-menerus terpesona setiap kali membaca untaian kalimat luas dalam paragraf-paragrafnya, berulang kali, dan tak kunjung melemparkan saya pada kata bosan.

    Di dalam foto tentang promosi buku ini saya melihat sosok Orhan Pamuk tengah berdiri di dalam museumnya yang unik, yang juga diberi nama “The Museum of Innocence”, di Cukurcuma, sebuah distrik kecil di Kota Istanbul. Ini adalah sebuah museum bagi benda-benda kecil yang ia kumpulkan selama lima belas tahun proses penulisan novelnya. Sebuah museum yang mencoba menciptakan ambang antara fakta dan fiksi perihal tokoh-tokoh dalam novel The Museum of Innocence. Mulai dari 4.213 puntung rokok, aneka anak kunci, gelas-gelas keramik, pas foto, jam weker tua, baju, botol-botol minuman, kaleng makanan, teko antik, foto-foto lanskap satu kota dalam bingkai tua, hingga bungkus-bungkus rokok–sekumpulan artefak kecil yang aneh bagi kenangan tentang cinta–yang disusun dengan amat rapi laiknya benda-benda bersejarah pada museum-museum besar di Eropa.

    - Advertisement -

    Pesan apa sebenarnya yang hendak disampaikan Pamuk dengan menghadirkan museum kecilnya yang aneh itu? Saya kembali hanya bisa menduga bahwa The Museum of Innocence adalah sebuah museum bagi senarai kenangan individu–mungkin kenangan Orhan Pamuk sendiri–dan relasi asimetrinya dengan sekumpulan benda-benda remeh yang tak akan mungkin masuk hitungan sebagai benda-benda bersejarah bagi museum lainnya. Begini saja, rasa saya, Pamuk seakan hendak menyampaikan protes halus kepada para penyusun dan penentu narasi-narasi besar sejarah itu, lewat sebuah novel naratif yang kompleks setebal 536 halaman dan sebuah museum bagi benda-benda tak berharga: “Apakah sebenarnya sejarah itu?”

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here