3/
Logika itu bukan ilmu yang mengawang-ngawang, tetapi justru ilmu “alat” yang bisa dipakai untuk dapat berpikir benar, ilmu yang praktis sekali, dan bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.
Ilmu logika sudah ada sejak 2500 – 2300 tahun lalu, ilmu yang sudah kuno sekali, dan tetap dipakai hingga kini baik dalam bidang agama, sains, filsafat, teknologi, hingga seni. Namun, sayangnya, bahkan buku klasik tentang logika seperti “Organon” karya Aristoteles dan “Stoicheia (The Elements)” karya Euclid belum diterjemahkan hingga kini ke dalam bahasa Indonesia.
Berulang saya sudah mengatakan hal tersebut di Facebook dan tulisan-tulisan saya. Berulang pula saya sudah menyatakan bahwa kebudayaan bukan semata soal “artefak”, tetapi sejak Epik Gilgamesh dituliskan pada 12 tabula di Babilonia (sekira 3200 tahun lalu), orang sudah menyadari bahwa kebudayaan pada intinya adalah perihal kemampuan berpikir dengan benar dan itu bisa tercermin dalam kemampuan menulis dengan benar.
Yang paling bikin jengkel di media sosial, seperti di Facebook saat ini, adalah munculnya golongan “megalomania oon”–yaitu golongan yang merasa sok tahu satu hal, tanpa benar-benar memahami soalnya. Kenapa itu bisa terjadi? Saya menduga karena mereka memang tidak mampu membaca teks filosofis atau sains dengan logis (atau bahkan memang tidak berminat membacanya), kecuali hanya curi-curi baca dari status orang lain di Facebook, dan tak mau berdiskusi perihal itu dengan sungguh-sungguh. Mereka cenderung mencomot-comot istilah sains atau filsafat, tanpa benar-benar memahami bagaimana konteks istilah itu secara teoritik dan pragmatik, pula bagaimana sejarah epistemologinya.
Plato (428 – 348 SM), satu tokoh terpenting filsuf Yunani pada masa lalu, pernah menulis buku dalam bentuk dialog tentang kaum sofis, berjudul “Sophist” (bahasa Yunani: Σοφιστής; Latin: Sophista; Indonesia: Sofis). Buku ini kemungkinan besar ditulis oleh Plato pada tahun 360 SM. Tema utamanya adalah mengidentifikasi perihal “sofisme” dan bagaimana seorang sofis berbeda dari seorang filsuf atau negarawan. Buku ini, termasuk juga buku lain dari Plato yang berjudul “Protagoras”, telah mengungkap perihal kerapuhan argumen kaum sofis tentang relativisme kebenaran–sebuah prinsip berpikir yang dipegang oleh kaum sofis waktu itu. Plato mengatakan di dalam Protagoras bahwa para Sofis merupakan “pemilik kedai yang menjual barang rohani”. Selain Plato, Aristoteles juga pernah menulis buku yang berjudul “Sophistikoi Elenchoi” (Sanggahan bagi Kaum Sofis). Buku tersebut dengan gamblang membuktikan kesalahan kaum sofis dalam berargumen.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>