5/
Sulap dan hoax itu sama sebenarnya, yaitu sama-sama bertolak dari kebohongan atau ketidakbenaran. Bedanya, hoax disebarkan sebagai kebohongan dengan tanpa disadari oleh targetnya sebagai kebohongan; sedangkan sulap dihadirkan sebagai kebohongan dengan disadari oleh targetnya sebagai kebohongan, sebagai semacam trik, dan kebohongan itu justru diharapkan oleh targetnya sebagai hiburan.
Sejak berabad lalu di Eropa hoax telah jadi semacam kritik yang keras, ketika berbagai saluran kritik yang efektif sudah macet atau mendekati macet, dengan menggunakan semacam permainan humor intelektual. Jadi, syarat orang yang bisa membuat hoax adalah memang orang yang benar-benar mumpuni menguasai bahan yang akan dibuat menjadi hoax, sehingga targetnya tak akan menyadari bahwa itu hanya semacam hoax belaka
Hoax berbeda dari ujaran kebencian, fitnah, berita bohong, atau yang sejenisnya. Kenapa? Karena tujuan hoax sebenarnya adalah sebagai sebuah kritik yang konstruktif menurut keyakinan si pembuat hoax dengan menggunakan medium satire atau parodi atau humor atau, bahkan, menggunakan terminologi religiusitas dan sains. Dengan kata lain, hoax sama sekali bukan sebuah propaganda atau agitasi atau provokasi yang destruktif.
Pada tahun 1996 di Amerika Serikat, Prof. Alan A. Sokal, seorang profesor fisika dari Universitas New York, hendak menguji (mengkritik) pendekatan studi budaya (cultural studies) postmodernisme yang dianggapnya mengabaikan dasar-dasar objektif sains dan cenderung sembarangan dalam menilai satu studi ilmiah. Untuk membuktikan hal itu Sokal kemudian membuat satu makalah “hoax ilmiah” yang berjudul “Melampaui Pembatasan: Menuju Hermeneutika Transformatif dari Gravitasi Kuantum”–teks aslinya saya lampirkan pada kolom komentar yang pertama pada status ini. Setelah makalah hoax itu selesai dibuat, selanjutnya Sokal menyerahkan makalah itu pada editor jurnal “Social Text” (dipublikasikan oleh Duke University Press), sebuah jurnal studi budaya postmodernisme yang cukup terkenal di AS saat itu.
Makalah hoax yang memang tak masuk akal itu (bila Anda memang memahami teori fisika kuantum), setelah mengalami beberapa kali revisi, akhirnya diterbitkan juga oleh jurnal “Social Text”. Tak berapa lama setelah penerbitan makalah hoax tersebut, Sokal mengungkapkan dalam jurnal Lingua Franca bahwa makalahnya tersebut adalah sebuah hoax. Skandal hoax ini menjadi berita halaman depan di The New York Times pada tanggal 18 Mei 1996. Sokal menanggapi kritik dari para pendukung pemikiran kiri dan postmodernis tentang makalah hoax-nya itu dengan menyatakan bahwa motivasinya menulis makalah hoax itu demi “mempertahankan pemikiran kiri dari segmen yang sedang trendi (postmodernisme)”. Sokal juga mengkritik bahwa beberapa ilmuwan dari ilmu sosial menggunakan istilah-istilah ilmiah dan matematika secara tidak benar dan mengkritik mereka karena menolak nilai kebenaran. Ia juga menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sosial dalam perspektif kiri akan lebih baik dilayani oleh dasar-dasar intelektual berdasarkan logika.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>