11/
Fase pertama bentuk puisi dunia adalah puisi-puisi epik seperti pada puisi Gilgamesh di Babilonia dan puisi Homer di Yunani kuno. Fase kedua adalah bentuk puisi lirik seperti pada lagu-lagu rakyat Yunani, juga pada puisi-puisi China dan Arab klasik, yang kemudian berkembang di Eropa pada abad pertengahan serta memuncak pada puisi era romantik. Fase ketiga adalah bentuk puisi naratif modern atau kontemporer, yang berada di antara bentuk puisi epik atau lirik. Puisi-puisi imajis atau surealis pada awal abad ke-20 di AS atau Eropa adalah bentuk awal dari puisi naratif ini. Namun, puisi-puisi naratif sekarang sudah sangat jauh meninggalkan bentuk awalnya tersebut. Sayangnya, bentuk puisi kontemporer kita sebagian besar masih berkutat pada bentuk “puisi lirik”, masih sangat romantik dan atau ekspresionis, meski dibaluri teknik imajisme dan surealisme. Semangat lirik adalah semangat individualistis, melankoli, dan pencarian identitas diri.
12/
Kreativitas dalam sastra tidaklah lahir dari ketidakpahaman–apalagi kengawuran. Kreativitas atau inovasi lahir dari pemahaman yang mendalam akan teori dan sejarah sastra yang ada. Pemahaman itu kemudian dikembangkan lebih jauh lagi atau ditentang untuk menemukan “jalan baru”. Namun, jalan baru tersebut dalam sejarah sastra modern dunia–begitu pun dalam sains–selalu lahir dari landasan teoritik yang kukuh; tidak pernah lahir dari kengawuran dan, apalagi, kegilaan. Bahkan seorang penganut “Dionysian” yang lunatik seperti Nietzsche, juga bertolak dari pemahaman yang mendalam akan teori-teori filsafat dan seni yang ada sebelumnya, barulah mampu melahirkan filsafat uniknya sendiri. Ilmu hanya ditakuti oleh para “dewa-dewi palsu” yang bodoh–oleh sebab takut kebodohan dan prabawa palsu mereka, topeng-topeng kharismatik yang dibuat-buat untuk menipu itu, terbongkar. Kebodohan adalah salah satu syarat terpenting untuk menjual “kebohongan” dengan mudah kepada massa.
13/
Di sini, mungkin tidak semua pembaca sastra modern atau kontemporer adalah pembaca yang terlatih atau terampil. Malangnya, sekarang, tak banyak pula kritikus sastra yang mampu menjembatani antara teks sastra modern atau kontemporer dengan pembacanya. Pelajaran sastra kita di sekolah menengah atau universitas sekalipun kurang mampu membangun apresiasi terhadap teks sastra modern dan kontempoer. Lantas, apa solusinya? Pembaca sastra harus mulai dididik.
Teks sastra modern atau kontemporer tak bisa terus dibiarkan kesepian tanpa pembaca. Kita harus meninggalkan jargon lama bahwa tabu bagi para penulis sastra untuk mendidik pembacanya. Pembaca sastra tidak lahir begitu saja, seolah bakat alam, tetapi mesti diberi pemahanan yang tepat dan benar “bagaimana” membaca karya sastra–bukan menjelas-jelaskan isi teksnya atau menjelaskan “apa”-nya, melainkan memberi pemahaman tentang “bagaimana”-nya. Ketika buku sastra selesai dicetak, khusus untuk kasus Indonesia, maka persoalannya adalah bagaimana agar karya sastra itu dibaca.
Di AS dan Kanada misalnya, murid-murid SMP sudah diajari prinsip-prinsip retorika Aristoteles (di sini yang mengklaim dirinya sastrawan “lama” mungkin belum pernah membaca buku ini–padahal ini buku yang paling dasar tentang bagaimana membuat teks menjadi “tulisan”). Mereka juga telah mempelajari bagaimana dasar-dasar sastra, mulai dari linguistik hingga stilistika. Jadi, pembaca sastra kita tidak bisa disamakan dengan pembaca sastra di AS dan Kanada atau Eropa. Para pembaca sastra kita perlu diberikan apresiasi yang cukup agar dapat “menikmati” karya sastra. Karena itu sastrawan mesti turun gelanggang mendidik pembacanya.
14/
Setelah 27 tahun menulis puisi, saya mulai merenungkan bahwa puisi sebagai karya sastra memang “berbahaya”. Puisi dapat menjadi “inang” dari virus pikiran. Sebagai inang, maka puisi bisa menembus langsung ke bawah sadar Anda. Apa pun pesan dari virus pikiran itu, baik atau buruk, yang dibawa oleh inang tersebut, akan masuk ke dalam batin Anda dan berbiak di sana. Tak peduli seberapa tinggi intelegensia Anda, seberapa jenius pun Anda, puisi tetap mampu menembus bawah sadar Anda.
Bentuk puisi sebagai karya sastra, sebagai karya seni kelas dunia, bukanlah hal yang mudah disusun atau sembarang saja. Puisi yang bernilai sastra sangat terstruktur, matematis, dan canggih–meski sepintas terlihat kompleks atau sederhana–sehingga dapat dengan mudah menembus bawah sadar manusia. Bila tak percaya, coba jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Mengapa puisi menjadi “bentuk ekspresi” yang dipilih dalam sekian kitab suci? Mengapa kitab suci mampu membuat pengaruh yang begitu kuat dan dalam pada diri sekian milyar manusia dari jaman ke jaman? Mengapa karya-karya spiritual dan mistik tertinggi selalu nyaris mengambil bentuk puisi? Mengapa pidato-pidato para pemimpin politik seperti Hitler atau Soekarno terdengar begitu memukau dan mensugesti? Itu jelas bukan tanpa alasan. Jika Anda benar-benar studi bentuk atau struktur puisi dunia dari berbagai masa dan belahan dunia, maka “rahasianya” akan tersingkap. Bentuk puisi adalah teknologi “brainwash” pertama yang digunakan oleh manusia dan masih tetap efektif sampai saat ini.
15/
Tidak peduli “kiri” atau “kanan”, ketika ada ketidakadilan, sastrawan harus berada di sisi yang terzalimi, bukan sebaliknya. Itulah artinya tanggung jawab berkesenian.
16/
Sastra itu punya kaidah, punya aturan-aturan dasar, sehingga sebuah teks bisa disebut sebagai teks sastra. Inovasi teknik dalam sastra, tidak pernah bertolak dari ruang hampa, tetapi bertolak dari kaidah-kaidah dasar itu: apatah mengembangkannya atau menolaknya dengan cara membuat aturan dasar yang baru. Para penulis, apalagi yang mengklaim dirinya sastrawan atau kritikus sastra, tentulah paham aturan-aturan dasar membuat teks sastra. Jika aturan-aturan dasar saja tidak tahu, lalu bagaimana bisa mereka mengklaim dirinya sastrawan, kritikus, atau pembaca sastra yang kritis?
Dunia sastra kita selama ini lebih banyak dibentuk oleh jaringan perkoncoan, legitimasi dewa-dewi sastra yang tolol, lomba-lombaan sastra yang membodohi, ketimbang kekuatan teks sastra itu sendiri. Tak aneh, yang timbul dalam ribut-ribut sastra di sini adalah masalah personal penulis atau sastrawan–ketimbang mengkritisi kekuatan dan kelemahan teks itu sendiri berdasarkan metodologi, konsepsi sastra, dan atau teori sastra yang jelas. Semua dibuat “kabur”, dialihkan dari persoalan teks sastra (seolah teks sastra itu identik dengan sastrawannya), agar para penulis bisa terus membodoh-bodohi para pembaca yang tak paham soal sastra. Tak heran, teks sastra Indonesia masih begitu terkebelakang dibandingkan dengan teks sastra kelas dunia.
17/
Sains dan filsafat tidak punya klaim kemutlakan. Estetika juga tidak. Kenapa? Karena estetika adalah bagian dari filsafat aksiologi. Sebuah puisi juga tidak bisa mutlak. Karena kemutlakan dalam puisi akan meniadakan interpretasi. Interpretasi masuk ke dalam wilayah duga-duga, bukan kepastian rigorus seperti yang menjadi obsesi Rene Descartes itu. Hal yang “ditunjuk” dalam firman pada sebuah kitab suci mungkin saja Esa, tapi sintaksis dalam firman itu selalu memungkinkan tafsir yang berbeda. Begitu juga puisi, hal yang “ditunjuk” oleh suatu sintaksis puitik itu bisa jadi Esa, tapi tidak sintaksisnya, tidak untuk teks puitiknya. Berhentilah menipu para pemula dengan berkata puisi seolah wujud dari yang mutlak. Jika kau sendiri tidak bisa menjadi mutlak, maka begitu pula teks puitik yang kautuliskan–juga tafsir atas sebuah teks puitik yang kaulakukan. Misteri, keajaiban itu, juga ada dalam yang sehari-hari, sesuatu yang mati-matian kautolak, ialah fakta apa adanya dirimu.
18/
Kau selalu berusaha mengelak untuk melihat apa adanya dirimu. Kau beralih pada teks-teks yang dianggap suci, pada puisi, kepada sosok yang agung ciptaan pikiranmu sendiri, semata agar kau tak mesti melihat apa adanya dirimu–fakta yang menyaktikan itu, masa lalumu yang cacat dan tak sempurna, yang menjijikkan juga. Tetapi, seperti maut, kau tak bisa menolak fakta itu. Ia–fakta apa adanya dirimu–akan terus menguntit di belakangmu, sebagai bayang-bayang dirimu, hingga kau menyadarinya.
19/
Seorang master tidak menyelubungi, tidak memanipulasi pikiran orang dengan kabut misteri. Ia tidak hendak menjadi penguasa pikiran orang lain dengan menciptakan misteri yang ilusif itu. Sebaliknya, ia membuka misteri itu, ia menyingkap hijab itu, agar kau mampu langsung menatap misteri itu–sesuatu yang selama ribuan tahun tak berani kau “tatap” dengan “kedua matamu”.
20/
Di dalam seni menulis puisi, soal teknik, pada akhirnya memang harus dilampaui. Tapi, jangan coba melampaui teknik sebelum menekuninya. Itu gila. Semua penyair kelas dunia itu belajar soal teknik menulis puisi dengan tepat, benar, dan indah selama bertahun-tahun. Bohong besar kalau ada penyair kelas dunia yang bisa menulis dengan indah tanpa mati-matian mempelajari teknik penulisan puisi dengan benar selama bertahun-tahun. Jika ada orang sedemikian, tunjukkan kepada saya di mana orangnya, saya akan membongkar kebohongannya atau saya akan berguru kepadanya.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>