21/
Bisakah Anda menulis sebuah teks puisi tanpa tema dan masih berkukuh menganggapnya sebagai teks sastra? Jawab: tidak bisa. Kenapa? Karena tema adalah unsur utama dalam struktur sebuah teks sastra, termasuk puisi. Tanpa tema, maka sebuah teks tak dapat menjadi teks, tapi racauan. Di dalam puisi modern, tema bisa berstruktur “memusat” seperti puisi imajisme atau gerakan puisi objektivis di AS pada tahun 30-an. Di sisi lain, tema bisa juga berstruktur “mengurai” seperti dalam banyak puisi surealisme pada abad ke-20 atau “puisi linguistik” pada abad ke-21. Dari pengalaman saya membaca teks puisi “kelas dunia”, saya selalu menemukan kedua jenis struktur tematik itu, betapa pun kompleks ekspresi estetiknya. Dengan kata lain, jangan menulis puisi jika Anda tidak tahu apa yang hendak dikatakan.
22/
Sekarang, kajian sastra kita lebih cenderung ke arah kajian “cultural studies”. Kajian ini sebenarnya kajian pascastruktural. Namun, yang menjadi soal, teks sastra kita kebanyakan belum selesai sebagai teks, belum selesai secara struktur, tapi sudah mau lompat ke pascastruktural. Teks yang seperti itu, sebenarnya, belum bisa dikaji sebagai sebuah teks sastra–bahkan oleh pendekatan pascastruktural sendiri–karena syarat-syarat sebagai sebuah teks sastra pun tidak terpenuhi. Cerpen-cerpen dalam buku “The Library of Babel” karya Jorge Luis Borges, sastrawan kelas dunia dari Argentina itu, dapat dikaji secara struktural maupun pascastruktural. Kenapa? Karena, sebagai sebuah teks, cerpen-cerpen Borges telah selesai dituliskan.
23/
Di negeri para budak, orang tak terbiasa menunjukkan kualitas baik. Menampilkan kualitas baik akan langsung dianggap sombong. Tidak heran, di sebuah lingkungkan yang buruk, keindahan berarti setara dengan keburukan, kebenaran mesti identik dengan kesalahan, kebaikan sama dengan kejahatan. Maka, kemunafikan, korupsi, dan kebodohan pun tampil ke muka. Jadilah cerdas, baik, benar, dan indah. Sastra adalah VIRTUE.
24/
Puisi lebih dulu ada ketimbang aksara. Misalnya puisi lisan pada berbagai suku yang belum mengenal aksara, puisi telah ada jauh sebelum aksara dan tanda baca diperkenalkan ke dalam kebudayaan suku itu. Jadi, bukanlah aksara yang memunculkan kebudayaan, tetapi puisi–tepatnya puisi lisan. Maka, mulai saat ini, jangan meremehkan puisi. Karena tanpa puisi tak bakal ada kebudayaan di muka bumi.
25/
Di dalam sains, sebuah teori akan bisa diujikan oleh siapa pun yang berkompeten untuk mengujinya. Bila-bila saja ditemukan kekeliruan dalam sebuah teori sains, berdasarkan metode dan teori tertentu, maka kekeliruan itu akan dibeberkan secara terbuka. Tak ada soal personal dalam pengujian itu. Seorang ilmuwan dinilai dari teks karyanya. Jika teks karyanya terbukti keliru, maka kekeliruan itu akan dibeberkan, tidak peduli apakah sang ilmuwan telah bergulat sekian puluh tahun dalam sains, sudah mendapat penghargaan sekian banyak, sudah dipuja-puji di dalam banyak majalah atau televisi. Itu disebut prinsip falsifikasi dalam epistemologi ilmu pengetahuan, satu prinsip yang membuat ilmu pengetahun menjadi dinamis, menjadi terus berkembang. Di dalam sains, teks saja sudah cukup untuk menilai kualitas karya intelektualnya. Sebuah trik pemasaran atau pencitraan personal tertentu tak akan menguatkan atau menggugurkan kualitas dari sebuah teks sains. Bagaimana dengan sastra? Sama saja.
26/
Kebanyakan penulis sastra di negeri ini cuma mengandalkan “bakat alam” dalam menulis, yang berarti menafikan studi. Itu sungguh aneh atau, mungkin, naif. Jika kau berlatih kendo, kau mesti memulainya dari latihan dasar, baru masuk ke ‘kata’ (jurus), lalu latihan tarung berpasangan, dan terakhir meditasi. Setelah sepuluh tahun barulah kau akan terbebas dari jurus, dari teknik–setelah berlatih setiap hari tentu saja. Dengan kata lain, teknik telah menjadi dirimu sendiri, pedang telah menjadi tanganmu sendiri, itulah yang disebut “bakat alam”. Di dalam kendo, kesombongan dan kebodohan tak cukup untuk menyelamatkan dirimu dari ayunan pedang lawan.
27/
Rahasia dari seluruh “Seni” ada dalam Kitab Vigyan Bhairav Tantra, sebuah kitab yang ditulis 5000 tahun lalu di Kashmir. Sungguh, saya belajar tentang hakikat seni, termasuk puisi, jauh lebih banyak justru dari Kitab ini. Seni, sama seperti jalan spiritual, adalah perluasan dari fungsi-fungsi inderawi kita. Seluruh indera kita (termasuk pikiran) sesungguhnya bersifat Kosmik, tak terpisahkan dari Alam Semesta. Setiap indera kita adalah Jalan menuju Jatidiri kita sendiri, Keesaan, Kehadiran Serentak dari Segala Sesuatu yang Ada–Presensi! Semua pemusik, pelukis, pematung, penari, dan sastrawan kelas dunia saya yakin menyadari “Rahasia Agung” ini.
28/
Rumus ‘Seni’ kelas dunia itu adalah ‘Berpikir Paradoks’ terkait pendalaman tematiknya. Keajaiban Seni itu muncul dari “lompatan”. Di Timur lazimnya menggunakan rumus: kecil ke besar, setetes embun dalam samudera. Di Barat, tetapi di Timur juga pernah diungkapkan oleh Kabir, penyiar sufi dari India, adalah kebalikannya: besar ke kecil, samudera dalam setetes embun. Keduanya sama menggetarkan oleh sebab sama menghasilkan keindahan dari yang “Tak Terkatakan”.
29/
Otak manusia, atau lebih tepat pikiran manusia itu, bersifat “klasik” atau “kuantum”? Kalau ada yang percaya begitu saja ketika seorang profesor neurosains bilang bahwa otak manusia itu “klasik”, maka ia telah mengalami sesat pikir karena otoritas. Sayangnya, ada seorang teman yang bersikap demikian. Kalau teman saya itu cukup cerdas, maka mestinya ia bertanya kepada sang profesor neurosains itu: “Kalau otak manusia memang ‘klasik’, maka bagaimana para ilmuwan bisa menciptakan dan memahami teori kuantum?” Pikiran manusia yang kompleks dan khaotik kerjanya itu terlalu gampangan dan simplistis kalau mau disamakan dengan kerja kausalitas urut-urutan ala “google translate” yang masih idiot itu. Selama problem P=NP dari Kurt Godel belum bisa terpecahkan, maka sebuah super komputer yang menggunakan teknologi AI tercanggih sekali pun tak bakalan mampu membuat sebait puisi surealis seperti puisi karya Pablo Neruda atau Octavio Paz atau Tomas Transtromer. Jika sebuah komputer belum mampu menciptakan sebait puisi surealis yang berkualitas, maka neurosains masih tetap sebuah “ilmu idiot” dibandingkan pikiran manusia modern. Para juru dakwah sains populer tak bakalan percaya ketika saya bilang bahwa puncak dari pikiran manusia itu bukan rumus Teori Relativitas Umum Einstein atau Teori Gelombang Schrodinger atau Teori Ketidakpastian Werner Heisenberg atau Teori Ketidaklengkapan Kurt Godel atau Teori Permainan John Nash, melainkan sebuah drama karya Shakespeare atau sebuah puisi karya Octavio Paz atau sebuah lukisan karya Vincent van Gogh atau sebuah komposisi musik karya Beethoven.
30/
Ketika epistemologimu keliru, kau akan membuat bencana. Tak pernah ada epistemologi di dalam kata. Segala sesuatu bukan bermula dari kata, tetapi sintaksis. Kata tak membentuk pemahaman dan epistemologi tanpa kata lainnya, sebab kata yang berhubungan dengan kata lainnya adalah sebuah sintaksis. Sebuah pemahaman, seperti juga sebuah makna dalam satu kata, selalu mengambil bentuk sebuah sintaksis. ISIS adalah sebuah sintaksis, bukan kata. Islam adalah kata, bukan sintaksis, tetapi makna kata Islam tergantung pada sintaksis, seperti tasrih makna kata di dalam sebuah kamus misalnya.
“No-mind” atau “sunyata” di dalam konsep Zen, bukan berarti kau berhenti berpikir, tetapi melampaui pikiran dan tak terikat pada pikiran, dan itu berarti kau menyadari bahwa pikiran memang tak punya substansi, tak punya “diri” yang solid, tak punya “cogito”, tetapi terus-menerus bergerak, bersiklus, mengalir, kreatif, bermain.
Pikiran hanya sebuah gerak yang mengalir tanpa henti, yang muncul dalam aneka bentuk kata, bahkan juga di dalam konsep dari morfem “penuh” atau “kosong” itu sendiri. Setiap konsep adalah sebuah sintaksis, bukan kata. Konsep angka “satu” sebagai angka “satu” jelas tak ada maknanya, kecuali angka satu itu ditasrih ke dalam satu sintaksis. Jadi, segala sesuatu tak bermula dari kata, melainkan sintaksis.
Ketika epistemologimu keliru, kau akan menjadi budak dari “virus pikiran”. ISIS adalah contohnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>