More

    Selepas Membaca Puisi Karya Iswadi Pratama

    DOA MALAM KEPADA PAGI

    Karya Iswadi Pratama *)

    Jika kau sebuah sajak, aku kata tergelincir pada baris terakhir
    Kehilangan tak terbilang saat kau menggantiku dengan kata lain
    Yang sepadan atau lebih dari itu.

    - Advertisement -

    Bila kau terik gurun di mana kuda dan pengelana tak bisa terpisah
    Aku rasa haus yang segera berakhir di kendi minum para musafir
    Terusir saat matahari tergelincir dan malam membuka tabir

    Dalam kerajaan hatimu yang dipenuhi rahasia pada setiap kamar
    Umpama seorang kurir, aku telah gagal mengurai sebuah itibar
    Menjadi sekadar kabar yang tak ingin kau dengar

    Dan bila kau pinjamkan tanganmu demi merestui kehadiranku,
    Bahkan aku tak akan mampu berterimakasih pada satu jarimu
    Yang berkenan menyentuh keningku

    Engkau adalah lidah dari mulut keheningan yang tak berlisan
    Di sanalah setiap kata dalam sajakku menemukan arti dan bunyi
    Dendang musik yang diberikan malam kepada pagi.

    Oktober 2015

    ———————————————

    Dalam pembacaan saya, puisi ini sungguh bernilai sastra, sebuah komposisi teks puitik yang mampu menyeimbangkan antara aspek linguistik, gita-puitik, lukisan-puitik, dan pendalaman-tematik. Pula, tipografi itu hadir dengan tepat, simetri antara bait dan larik terasa tak dibuat-buat, tak menenggelamkan susunan sintaksisnya menjadi sekadar keliaran tanpa aturan. Bagi saya, ini adalah puisi yang indah, tenang, dan sekaligus mengandung pesan yang halus: sebuah gelora untuk tabah, tak hendak hingar menilai, tak ingin menghakimi atau berkhotbah, tentang proses penciptaan sebuah karya seni, sebuah puisi. Dan oleh karenanya puisi ini hidup, akan selalu hidup, setiap kali para pembaca mengulang membacanya: “Aku kata tergelincir pada baris terakhir… dendang musik yang diberikan malam kepada pagi.”

    Ya, kata yang tergelincir itu sedang menyusun komposisinya sendiri, sebuah dendang yang diberikan malam kepada pagi, dari kegelapan kepada terang. Begini adalah jiwa dari puisi-puisi seorang Iswadi Pratama, semacam haru yang lain, yang tak kuasa membuat rasa kita mengelak, haru yang membuat jiwa tandus kita menjemput basah, seperti hujan pagi yang lembut, seperti terang hari yang luput dari terik. Ini puisi yang tak merengek meminta perhatian lebih, tapi mengundang kita untuk merenung lewat musik dan lukisan puitiknya, lewat pendalaman tematiknya tentang proses kelahiran puisi. Seperti jiwa seorang ibu tatkala melahirkan putra pertamanya, jiwa lembut yang sanggup menahankan kepedihan hingga ke ubun kepala, namun jiwa itu juga selalu mampu menghadirkan senyum kecil setelahnya–setelah keindahan itu lahir.

    Apakah puisi begini akan menjadi candu yang lain? Semacam keindahan terlarang yang mesti disingkirkan tepat ketika Lenin berseru usai menonton pertunjukan musik klasik pada suatu malam dalam pelariannya di Perancis: “Begini terlalu indah, terlalu indah! Tak ada revolusi bila seni terlalu indah!” Tapi, apakah indah itu, Tuan Lenin? Juga, apakah revolusi itu? Apakah indah mesti selalu menjadi raung dari rasa marah yang terpendam–persis seperti sebuah ledakan di sebuah kuil atau gereja atau mesjid pada pagi yang lain, pagi yang dingin, di sebuah negeri yang miskin? Apakah indah tak layak menjadi sehembus angin di tepi hutan dengan sederet pohon-pohon brich, pohon-pohon dengan warna viola pada suatu senja seperti saat Milan Djordjevic, penyair Serbia itu, tergugah menatapnya? Apakah indah itu selalu berwarna garang, terang yang menyala, warna darah di jantung manusia? Apakah pedihnya penderitaan kaum jelata tak bisa disuarakan dengan lirih, Tuan Lenin? Mungkin engkau lupa, bahwa suatu hari dirimu pernah bersuara amat lirih, seperti sebuah melankolia, tatkala kau membisikkan sebait puisi ke telinga Nadya Krupskaya di tepi Sungai Lena (sebelum pembuanganmu ke Siberia), sungai yang menjadi muasal namamu itu: “Jika Sungai Lena adalah malam, biarkan aku kembali sebagai arusnya, mengalir ke hatimu yang jauh, pada suatu pagi yang teduh, Nadya.”

    Mungkin revolusi sekarang tinggal semacam kenang yang menyisakan haru, atau geram yang tak hendak menepi, tak hendak mengalah, namun juga tak memilih untuk terus murka. Lamat-lamat, dalam imajinasi yang dingin, saya bayangkan Lenin bersulih. Tidak sebagai sosok pejuang yang nyalang, melainkan sosok seorang perempuan revolusioner yang jerih, yang ditinggalkannya sendiri selepas bisikan di tepi Sungai Lena itu, sosok perempuan yang melirihkan bait terakhir sebuah sajak, begini:

    “Engkau adalah lidah dari mulut keheningan yang tak berlisan
    Di sanalah setiap kata dalam sajakku menemukan arti dan bunyi
    Dendang musik yang diberikan malam kepada pagi.”

    Ah, Lenin, Lenin yang jauh, yang berulang memimpikan sebuah revolusi, di tepi Sungai Lena…. atau mungkin hanya sepotong puisi, sepotong puisi yang hidup, lembut, dan tak lagi takut menjadi terlalu indah.

    ———————————————————————-
    Esai @ Ahmad Yulden Erwin, 16 Oktober 2015
    ———————————————————————-

    *) Iswadi Pratama (lahir 1971) adalah penyair, penulis drama, esais, dan sutradara Teater Satu dari Lampung.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here