ENCEP SUKONTRA
Untuk memajukan dunia olahraga, diperlukan kompetisi rutin tahunan, dua tahunan dan seterusnya Pekan Olahraga Nasional (PON). Nah, di dunia seni pun demikian, diperlukan pameran skala besar dan rutin yang melibatkan banyak seniman. Sehingga seni—khususnya seni rupa—dilirik dunia internasional.
Aminuddin TH Siregar, dosen seni rupa ITB mengatakan, Bandung, Jawa Barat, menjadi salah satu pusat seni rupa di Indonesia setelah Yogyakarta dan Jakarta. Sayangnya, kata kurator yang akrab disapa Ucok, Bandung masih belum memiliki event rutin seperti Yogyakarta yang punya “Art Jog” (event seni rupa tahunan) dan biennale (event seni rupa dua tahunan).
Event rutin seni rupa Yogyakarta tersebut berhasil mendatangkan publik pecinta seni dari dalam dan luar negeri. Dampaknya, ekonomi pun berdenyut.
Di Yogyakarta, kata Ucok, event seni Art Jog bahkan mendapat dukungan penuh dari Gubernur Sri Sultan HB X. Ucok berhadap Gubernur Jawa Barat juga mengelurkan “sabda” yang sama, mendukung kemajuan seni rupa Jawa Barat. Lantas bagaimana potensi dan denyut seni rupa di Jawa Barat saat ini?
Berikut petikan wawancara KabarKampus bersama Aminuddin TH Siregar :
Bisakah seni rupa di Bandung, Jawa Barat, sama semaraknya atau melebihi Yogyakarta?
Yogyakarta itu mainstream dalam sejarah kita. Dalam sejarah nasional seni rupa Indonesia Yogja itu mainstream. Republik pernah pindah ke sana. Yogya mewarnai perkembangan, dia dominan, semua seniman hebat dulu pernah di Yogja.
Nah, kalau kita lihat petanya, Yogja itu peta untuk menumbuhkan seniman-seniman sementara etalasenya di Jakarta. Pemetaan ini telah dilakukan pula oleh sarjana AS Claire Holt pada tahun 1967.
Bandung sebenarnya denyutnya kecil. (Institusinya besar hanya) seni rupa ITB, datanya sangat sedikit, tapi dalam beberapa hal kota Bandung penting dalam mainstream ini. Bandung merupakan satu alternatif yang berbeda dengan Yogja. Nah, barangkali bisa saja Bandung melebihi Yogya. Para pembeli itu langsung datangnya ke Yogja, nanti bonusnya ke Bandung sambil jalan-jalan.
Saat ini semua orang ke Yogja dulu, kurator juga nyari seniman ke Yogja. Sehingga dalam peta seni rupa Asia, Yogja menjadi cluster yang diperhitungkan. Bila kita bandingkan dengan sejumlah kota-kota dunia, maka kualitasnya sama dengan Kuala Lumpur, Hongkong, Beijing, serta Singapura. Dengan demikian Yogya telah menjadi destinasi sekaligus market seni rupa yang paling menjanjikan di Indonesia.
Ribuan seniman dan puluhan ruang seni rupa aktif memasarkan karya seni rupa lewat pameran dan diskusi. Geliat seni rupa Yogyakarta ini harus dibaca dengan cermat oleh pelaku seni rupa di kota Bandung.
Faktor produktivitas SDM/seniman Bandung, Jawa Barat, masih kurang dibandingkan Yogya?
Kalau digenjot produksinya, kalah kita, baik itu secara individu maupun kelompok. Seniman di Yogya banyak sekali. Secara institusi pula, kita tidak mumpuni. Daya serap ITB tiap tahun cuman 55 mahasiswa.
Berapa jumlah lulusan mahasiswa seni rupa ITB?
“(ITB) Paling 20-30 orang/lulusan (pertahun). Yogja 200-an dari 400-an yang bisa mereka tampung (per tahunnya). Kan beda, jumlah SDM juga sudah kalah tuh.”
Itu kelemahan Bandung. Bagaimana dari sisi peluang atau potensi yang ada di Bandung?
“Selalu ada celah di Bandung untuk mengembangkan seni rupa, masih ada potensinya. Cuman tinggal diperbanyak orang-orangnya.
Tapi sekarang saran saya, bagaimana kita bikin pameran-pameran yang bisa memancing perhatian dunia internasional untuk datang ke Bandung. Apalagi saya lihat peluangnya sudah gede banget. Bandara kita sudah internasional, dari Singapura, Malaysia, sudah gampang. Transit dari Australia mungkin ke Bali dulu, dari Bali ke Yogja (terus ke Bandung). Itu sudah terhubung oleh maskapai. Jadi secara kota sudah mumpuni.
Kalau diibaratkan dengan umat Islam, maka Yogya sudah ada lebaran Idul fitri, lebaran haji, masjidnya banyak, musholanya banyak, serta umatnya pun banyak sekali. Di Bandung pula kita tidak punya “lebaran”, tidak ada momen kapan kita bikin biennale yang mengundang seniman dan publik internasional. Jangankan biennale, event Art fair pun kita nggak punya.”
Jadi apa yang harus dilakukan untuk mengembangkan seni rupa di Bandung?
“Supaya umatnya senang, ya itu infrastrukturnya harus dikembangkan. Lihatlah Yogya, Sultan sebagai Gubernur/kepala daerah itu turun tangan kok. Bayangkan (Ar Jog) sampai jadi headline (media massa). Pernah tidak kita di sini (kepala daerah turun tangan mendukung seni rupa)? Saya kira melibatkan kepada daerah itu bukan mimpi, gampang sih, tinggal sadar saja, nggak cuman PON doang, gitu loh.”
Ucok mengacu pada perhelatan Pekan Olahraga Nasional dimana Jawa Barat menjadi tuan rumah. PON Jabar mendapat dukungan penuh Gubernur Jabar. Sayangnya pemerintah provinsi Jawa Barat tidak tahu bahwa dunia seni itu lebih canggih dari atlet.
“Gila kalau kita ke luar negeri, seni itu wah dan canggih, seniman sudah seperti selebriti.”
Dosen seni rupa ITB ini melihat bagaimana “kekuasaan” dan pandangan Sultan HB X telah turut memicu perkembangan seni rupa di Yogyakarta. Dalam sejarah seni rupa di Indonesia, Sultan HB X pernah bersabda, tolong bikin biennale, sampai ke dinas segala macam, serta merangkul media massa.
Menurut Ucok, seni rupa di Bandung sebenarnya bisa seperti Yogyakarta. Tinggal apakah pemerintah daerah Jabar mau berinvestasi membangun infrastruktur yang mendukung “masjid” dan “lebaran” seniman di Bandung atau tidak. Jika ini terjadi, maka ada medan yang sehat, ada kompetisi yang dinamis. []