IMAN HERDIANA
Institut Teknologi Bandung (ITB) berhasil melewati tahun 2016 dengan catatan manis. Kampus Ganesha masuk 500 besar kampus terbaik dunia versi Quacquarelli Symonds (QS) World University Ranking. Lembaga survei internasional ini menempatkan ITB pada rangking ke-431, naik dari posisi sebelumnya ke-461 di tingkat dunia.
Di level Asia, posisi ITB naik menjadi 122 dari rangking sebelumnya 125. Posisi tersebut otomatis membuat kampus teknik pertama di Indonesia ini mencorong di tingkat nasional. Berturut-turut sejak 2015, ITB menyandang predikat kampus terbaik se-Indonesia.
Rektor ITB Prof.Dr.Ir. Kadarsah Suryadi DEA mengatakan, prestasi tersebut buah dari tradisi panjang yang dijalani ITB. Menurutnya, tidak ada cara instan untuk mencapai prestasi. Membangun kampus berbeda dengan menyeduh kopi yang bisa langsung terasa pahit manisnya.
Bagaimana proses panjang menuju kampus terbaik di Indonesia dan dunia, berikut petikan wawancara wartawan KabarKampus Iman Herdiana dengan Rektor ITB Prof.Dr.Ir. Kadarsah Suryadi DEA, Kamis (02/02/2017):
Bisa diceritakan bagaimana proses yang dijalankan ITB sehingga bisa meraih predikat kampus terbaik nasional maupun internasional?
Ini hasil dari perjalanan panjang, jadi bukan zaman saya saja. Ini hasil investasi sejak 80-an, bahkan 70-an, 60-an, berkat peran para rektor terdahulu, para dosen terdahulu, yang membuat atmosfer akademik yang nyaman untuk penelitian.
Jadi ini bukanlah instan zaman saya saja. Nggak bisa meraih suatu prestasi kayak bikin kopi yang bisa langsung terasa. Dari pemimpin terdahulu yang membangun atmosfir akademik di ITB. Hal itu memotivasi kawan-kawan dosen yang tak henti melakukan penelitian dan kerja sama dengan berbagai lembaga di dalam dan luar negeri.
Embrio Kampus ITB saat ini bermula sejak awal abad ke-20. Kala itu negeri ini dijajah Belanda. Kala itu Belanda amat membutuhkan ahli-ahli teknik untuk membangun daerah jajahannya. Namun untuk mendatangkan ahli teknik dari Eropa, Belanda kesulitan akibat pecahnya Perang Dunia I.
Maka tanggal 3 Juli 1920, Belanda mendirikan De Techniche Hoogeschool te Bandung di Bandung. Sekolah teknik ini hanya memiliki satu fakultas de Faculteit van Technische Wetenschap yang mempunyai satu jurusan de afdeeling der Weg en Waterbouw. Pasca-kemerdekaan, De Techniche Hoogeschool te Bandung dinasionalisasi menjadi sekolah tinggi teknik pertama di Indonesia bernama ITB.
Dari proses panjang itu, faktor-faktor apa saja yang bisa digarisbawahi yang menjadi tradisi positif di ITB?
Faktor yang mendukung adalah konsistensi tiap dosen untuk melakukan penelitian, kemitraan dengan berbagai pihak, dengan perguruang tinggi lain, dengan pemerintah, lembaga riset, industrui, mitra di luar negeri. Kemudian terkait juga dengan aktivitas kemahasiswaan dari dalam negeri dan juga mahasiswa asing. Ada dosen di luar negeri yang memberi inspirasi pada forum seminar dan penelitin.
Kemudian juga dalam setiap program kerja kita mengedepankan tiga hal.
Satu, excellence dalam pendidikan dan pengajaran. Dua, excellence dalam bidang penelitian. Tiga, excellence dalam bidang inovasi. Selain itu, adanya komitmen semua pihak baik dosen, MWA (Majelis Wali Amanat) juga memiliki komitmen tinggi, dan juga dukungan dari kementrian atau pemerintah. Kan kita punya tiga organ, MWA, Senat Akademik dan Rektor yang semuanya sama-sama komitmen. Semuanya alhamdulillah kompak, solid.
Bagaimana dengan faktor publikasi ilmiah yang harus dikejakan para dosen?
Alhamdulillah teman-teman dosen selalu semangat melakukan riset dan publikasi ilmiah. Itu pun sudah dirintis sejak zaman dulu. Tahun lalu (2015), ada 900 publikasi ilmiah, tahun 2016 ada 1.150 publikasi internasional.
Tahun 2017 ini, ada target meningkatkan capaian ITB?
Tetap kita motivasi para dosen melakukan untuk penelitian dengan memperluas cakupan penelitian mereka dengani ikut partisipasi dengan berbagai proposal riset pemerintah, proposal riset industri, proposal riset luar negeri. Itu akan terus kita dorong.
Dari publikasi ilmiah, targetnya melebihi tahun lalu. Kan dosen kita sekarang 1.300-an, kalau setahun satu orang satu publikasi ilmiah, sudah menghasilkan 1.300-an publikasi ilmiah. Itu target kita.
Apa dampak prestasi ITB terhadap mahasiswa?
Tentu ada dampaknya. Waktu dosen masuk ke kelas, sepulangnya dari penelitian, mahasiswa bukan hanya dapat ilmu dari buku, tapi dari pengalaman dosennya langsung yang telah melakukan penelitian di dunia nyata. Sehingga mahasiswa ikut terupdate. Penelitian sendiri mengupdate ilmu dosen.
Masalah dasar riset atau penelitian adalah anggaran. Tahun lalu pemerintah banyak memangkas anggaran untuk riset perguruan tinggi.
Bagaimana ITB mengatasinya?
Kita upayakan sumber-sumber tambahan dari lembaga yang punya dana penelitian di dalam maupun di luar negeri. Kita memanfaatkan network kita. Kita juga mengatur dana internal untuk penelitian. Memang untuk penelitian diperlukan dana, untuk membeli bahan-bahan penelitian, membeli peralatan, biaya perjalanan penelitian atau seminar, apalagi ke luar negeri.
Apakah cara tersebut cukup?
Filosofinya begini, perguruan tinggi maju bukan karena banyak uang, dosen dan mahasiswanya hebat-hebat, bukan karena punya alat-alat penelitian yang bagus-bagus. Tapi semua itu kembali lagi pada ada tidakanya motivasi untuk maju. Semua pihak harus punya motivasi untuk maju. Modal kita adalah motivasi untuk maju itu. []