More

    Yogyakarta Deposit Pohon Beton

    Ilustrasi / UGM
    Ilustrasi / UGM

    YOGYAKARTA, Kabarkampus – Peralihan Yogyakarta sebagai kota urban ditandai dengan berdirinya bangunan gedung-gedung dan padatnya permukiman penduduk. Hal tersebut berpotensi melahirkan masalah lingkungan seperti banjir, tercemarnya air tanah, menyempitnya badan sungai, dan polusi udara. Oleh karena itu, Yogyakarta, perlu desain tata kelola ruang publik yang menyediakan hutan kota atau ruang terbuka hijau agar mengurai masalah lingkungan hidup.

    Tata ruang publik yang menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) di Yogyakarta ini menjadi benang merah dalam diskusi bertajuk “Jogja Deposit Pohon Beton”, di Fakultas Kehutanan UGM, Jumat lalu, Jumat, (27/11/2015). Pembicara dalam diskusi ini adalah Cafid Fandeli, Dosen Fakultas Kehutanan UGM.

    Ia mengatakan tumbuhnya Yogyakarta sebagai kota urban berkonskuwensi pada pembangunan berbagai infrastruktur. Pembangunan infrastruktur tersebut meliputi rumah sakit, jalan raya, hotel, dan Gedung sekolah. Bangunan-bangunan tersebut mengancam ketersediaan air tanah karena meneutupi permukaan.

    - Advertisement -

    “Jogja sebagai kota pelajar saja menghasilkan 119 gedung Perguruan Tinggi Suwasta dan 4 Perguruan Tinggi Negeri yang dihuni 25.000 mahasiswa hingga ruang terbuka hijau sempit,” ujar Fandeli.

    Fandeli mengatakan, ikon Yogyakarta sebagai kota wisata juga mensyaratkan pembangunan infrastruktur seperti penginapan dan hotel-hotel. Namun pembangunan hotel dan penginapan tersebut menjadi masalah ketika mengambil air tanah dalam dalam sekala besar.

    “Akibatnya warga disekitarnya berebut air tanah dangkal (Sumur non bor),” ungkap Fadeli.

    Lebih lanjut, Ia menjelaskan, padatnya pemukiman penduduk juga mengakibatkan munculnya titik lokasi dengan suhu udara panas. Di saat pergantian musim, titik lokasi dengan suhu udara panas tersebut dapat berpotensi menimbulkan musibah.

    “Titik lokasi dengan suhu udara panas sangat berpotensi terjadinya angin putting beiung,” ujar Fandeli.

    Kemudian menurut Fandeli, berkembangnya Jogja sebagai kota urban tersebut mensyaratkan desain tata ruang publik yang menyediakan ruang terbuka hijau. “RTH itu sudah diatur dalam UU No 26 Tahun 2007 yang menyebutkan setidaknya ada 30% ruang terbuka hijau dari luas suatu kota,” ujar Fandeli.

    Sementara itu, Totok Pratopo, aktivis penggiat sungai code mengatakan desain RTH itu juga bisa diterapkan di sepanjang bantaran sungai. Bantaran sungai semestinya dijadikan hutan kota yang dapat mencegah banjir.

    “Sungai code yang membelah jantung pusat Jogja saat kini area bantaranya semakin menyempit akibat berbagai pembangunan,” ujar totok.

    Pria yang tergabung dalam komunitas Pemerti Sungai Code tersebut telah berulang kali melakukan advokasi lingkungan dengan memasang patok di bantaran sungai code. Patok tersebut berisi himbauan agar tidak melakukan pembangunan di bantaran karena melanggar undang-undang. “Seharusnya tidak boleh membangun radius 10 Meter di bantaran sungai,” ujarnya.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here