More

    Di Era Digital, Radio Sebagai Penjaga Kebudayaan Lokal

    Sebelum televisi tercipta, radio lebih dulu unjuk gigi sebagai mesin informasi. Di Jerman, Adolf Hitler menjadikan radio sebagai alat propaganda yang efektif. Di Bandung, radio menjadi media pertama yang menyiarkan teks proklamasi kemerdekaan RI ke seantero dunia.

    Prof. Atie Rachmiatie, Ketua LPPM Unisba. FOTO : ENCEP SUKONTRA
    Prof. Atie Rachmiatie, Ketua LPPM Unisba. FOTO : ENCEP SUKONTRA

    Kini, radio harus bersaing ketat dengan televisi. Kemunculan internet membuat posisi radio makin tepojok. Masa kejayaan radio disebut-sebut sudah lama lewat. Tapi para peneliti melihat radio masih bisa eksis dan punya peluang. Bahkan radio memiliki peran penting terutama sebagai penjaga kebudayaaan di tengah derasnya arus globalisasi yang dibawa internet.

    Maka untuk melihat potensi-potensi radio di era digital, Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat menggelar Focus Group Discussion (FGD) bersama pemilik dan praktisi radio kota Bandung.

    - Advertisement -

    Berikut wawancara wartawan KabarKampus Encep Sukontra dengan Ketua LPPM yang juga guru besar Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba, Prof. Atie Rachmiatie.

    Dilihat dari temanya, FGD ini mengusung “Konstelasi radio siaran swasta mainstream di Jawa Barat sebagai penguatan kebudayaan lokal dalam perspektif UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.” Kenapa tema itu dipilih?
    Karena asumsi awal kita tentang radio itu pasti mengusung proximity (kedekatan). Di sisi lain di tengah era globalisasi kebudayaan lokal itu sekarang bergeser mendekati punah, hilang. Dalam diskusi muncul ternyata radio itu malu mengakui kebudayaannya sendiri, merasa kebudayaan sendiri kelas bawah. Ternyata ini sudah membuktikan bahwa tema ini tepat kita angkat.

    Kalau radio malu mengangkat budaya sendiri, bagaimana dong jati diri bangsa Indonesia? Kita itu siapa? Kalau kitanya merasa minder dan malu pada diri kita sendiri, kita dijajah dong.

    Dengan adanya globalisasi ini kita sedang mengalami penjajahan kebudayaan. Jadi ada perspektif makronya bahwa kita di tengah-tengah globalisasi harus eksis, lokalitas kita harus terjaga. Kita perlu mengglobalkan hal-hal kita yang lokal. Itu dalam perspektif makronya.

    Bagaimana kondisi mikronya?
    Dalam perspektif mikronya kita tidak harus kehilangan jati diri dong. Kehilangan jati diri itu terlihat dari kepunahan bahasa, agama, serta tradisi-tradisi kita. Padahal, itu sesuatu yang penting buat identitas bangsa.

    Bagaimana peran radio Bandung dalam menjaga budaya lokal tersebut?
    Peran radio harusnya tetap menjaga. Harapannya atau idealnya karena karakternya yang proximitas. Ya jangan dong bahasanya didominasi Inggris, terus pakai istilah elu gue padahal ada di sini (siaran di Bandung).

    Radio memberitakan hal-hal yang jauh sementara banyak hal yang lebih penting untuk diekspos di sini. Jadi ke depannya peran radio tetap seperti dalam Undang-undang penyiaran untuk menjaga kebudayaan nasional.

    Hasil FGD sendiri sudah ada gambaran?
    Minimal kita tahu petanya, misalnya profesionalisme SDM radionya bagaimana. Dalam FGD banyak masukan. Misalnya ada yang bilang bahwa penyiar radio itu semi profesional, ada yang bilang tidak ada standar atau bukan profesi, atau penyiar masih jauh dari profesional dan seterusnya.

    Kita juga mengetahui komitmen mereka pada kearifan lokal seperti apa, bagaimana menuangkan komitmen itu dalam siaran mereka.

    Dalam FGD yang dihadiri pemilik dan penyiar atau praktisi radio dari Bandung dan beberapa daerah di Jawa Barat tersebut mengemuka soal saling banting harga iklan, perebutan penyiar, honor penyiar yang rendah, hingga praktek jual beli ijin radio. Dengan kata lain, bisnis radio di Bandung sudah mencapai titik jenuh. Meski demikian, para praktisi belum pesimis, masih ada peluang di antaranya dengan memanfaatkan internet dalam memaksimalkan jangkauan radio.

    Bagaimana Prof Atie melihat strategi radio mengantisipasi “serangan” media di era digital?
    Kita juga mendiskusikan antisipasi mereka terhadap kedatangan teknologi dan informasi internet. Bagaimana kiat-kiat mereka mempersiapkan diri menghadapi perubahan secara teknis, bagaimana strategi menjaring pendengar di era global dan seterusnya.

    Yang menjadi latar belakang FGD apa?
    FGD ini kolaborasi antara akademisi, regulator dan juga kalangan bisnis industri radio. Jadi industri radio, regulatornya KPID Jabar, akademisinya tim peneliti LPPM Unisba, itu memang sengaja mau mengkaji tentang konstelasi radio yang maindstream seperti apa, masa depan radio itu seperti apa, lalu dipetakan. Penelitian ini didukung Kemenristek Dikti, jadi kita sampelnya di wilayah Jawa Barat.

    Bagaimana output yang ditargetkan FGD ini?
    Masukan atau hasil diskusi teman-teman ini akan dibuat model, rekomendasi yang hasilnya semacam naskah akademik. Hasilnya berupa riset, setelah selesai disusun lalu diseminarkan, lalu kemudian diserahkan ke Komisi Penyiaran Indonesia pusat, KPID, ke asosiasi seperti PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) atau eksekutifnya. Terus ke Kementerian Komunikasi dan Informatika agar mereka bisa membuat keputusan berdasarkan naskah akademik itu.

    Saat ini di Jawa Barat terdapat 150 radio swasta. Bandung menjadi kota yang memiliki radio terbanyak, yakni lebih dari 50 radio. Setelah FGD, sejumlah peneliti LPPM Unisba akan disibukan mengolah data.

    Menurut Atie Rachmiatie, riset ini akan menjadi masukan penting bagi pemerintah. Sehingga regulasi yang digodok pemerintah sejalan atau relevan dengan kondisi di lapangan. Jangan sampai pemerintah sibuk membuat A tetapi kebutuhan di lapangan adalah B. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here