Tak banyak buku yang mengulas sejarah literasi di suatu kota, memotret gerakan anak-anak muda dengan komunitas bacaannya, dan mendokumentasikan pelbagai peristiwa penting yang bersinggungan langsung dengan buku. Namun kini buku tersebut terbit, judulnya “Pohon Buku di Bandung” yang berisi “Sejarah Kecil Komunitas Buku di Bandung 2000-2009”.
Buku yang diterbitkan MataApi dan Oleh-oleh Boekoe Bandung ini menarik karena ditulis seorang pedagang buku, Deni Rachman, yang juga aktivis literasi di Bandung. Butuh empat tahun bagi pemilik Lawang Buku tersebut untuk merampungkan buku yang diluncurkan bertepatan dengan penutupan Soemardja Book Fair 2018 di Galeri Soemardja Institut Teknologi Bandung (ITB), 4 Desember lalu.
Sebagaimana judulnya, buku “Pohon Buku di Bandung” mengulas sejarah literasi di Bandung yang akarnya ada sejak zaman kolonial, bahkan prakolonial Belanda. Satu bukti peninggalannya ialah sebuah Gang Affandi di Jalan Braga. Nama gang ini diambil dari Affandi, seorang pengusaha penerbitan pribumi pertama di Bandung. Masih di zaman kolonial, di Bandung berdiri toko buku Van Dorp yang kini bernama Landmark. Landmark kini menjadi diskotik dan sesekali jadi tempat pameran buku.
Selain memiliki kultur perbukuan sejak zaman kolonial, Deni mencatat kultur itu terus bertumbuh di masa kemerdekaan alias poskolonial. Sebelum Konferensi Asia Afrika pada 1954, ia mencatat di Bandung ada 60 toko buku. Di Jalan Aceh saja terdapat 20 sampai 30 toko buku. Namun sekarang toko-toko buku tersebut sudah pada gulung tikar. Yang masih bertahan tinggal penjual buku emperan di Jalan Dewi Sartika dan Jalan Cikapundung.
Deni sendiri mulai berjualan buku sejak tahun 2000 dengan ngampar di pasar tumpah Lapangan Gasibu, depan Gedung Sate. Ia mengidentifikasi setidaknya ada dua akar literasi di Bandung pra-reformasi, yakni seni budaya dan aktivisme prodemokrasi.
Kedua akar tersebut hampir selalu berkaitan dengan kampus. Misalnya, pasar buku turut meramaikan Pasar Seni ITB, hajatan seni fenomenal di Bandung. Selain itu, Deni juga menelusuri arsip atau catatan kegiatan di Café Terminus, sebuah kafe di pusat kebudayaan Prancis CCF Bandung yang kini berganti nama menjadi IFI Bandung, Jalan Purnawarman.
Café tersebut menjadi tempat seniman, jurnalis, aktivis mahasiswa berkumpul dan berkegiatan. CCF Bandung juga getol menggelar kegiatan seni dengan tema yang banyak ditabukan di masa rezim Orde Baru, misalnya pementasan teater Mangir dari naskah karya Pramoedya Ananta Toer. Padahal buku-buku Pramoedya dan buku yang dituding kiri di zaman Soeharto sangat dilarang.
Menurut Deni, di CCF terdapat komunitas Satu Jejak yang merekrut para pecinta buku atawa aktivis literasi. Para aktivis tersebut kemudian membentuk komunitas sendiri-sendiri. Salah satu aktivisnya ialah Tarlen Handayani yang membentuk komunitas Tobucil, toko buku yang produktif menggelar diskusi beragam tema mulai filsafat sampai kerajinan tangan.
Akar yang kedua ialah maraknya aktivis prodemokrasi yang bergerak dengan buku, salah satunya Indra Prayana lewat Lembaga Studi Analisa dan Informasi (Lestari). Kegiatan komunitas Lestari antara lain memfotokopi buku yang pada zaman Orba dilarang.
Uniknya, geliat literasi di Bandung tumbuh secara alami. “Tanpa bantuan dari pemerintah,” kata Deni. Gerakan literasi di Bandung pada masa itu seiring sejalan dengan fenomena booming buku di Yogyakarta. Bedanya, jika Yogyakarta booming dengan penerbitan buku, terutama buku-buku kiri, Bandung justru yang menjadi penampung buku terbitan Yogyakarta tersebut.
Para pegiat buku di Bandung menampung buku-buku terbitan Yogyakarta dengan mendirikan toko-toko buku alternatif. Deni memetakan waktu itu sedikitnya ada 30 toko buku alternatif di Bandung, salah satunya toko buku diskon Ultimus. Ciri khas toko buku alternatif di Bandung ialah selalu mendiskon bukunya.
Menurut Deni, kalau kini ada toko buku mainstream yang mengklaim sebagai toko buku diskon, dulu toko-toko buku alternatif sudah lebih dulu memberikan potongan harga untuk konsumennya. Selain diskon, toko buku alternatif di Bandung menjalankan konsep kegiatan literasi. Ini yang membedakan dengan toko buku konvensional. Setiap toko buku alternatif, memiliki kegiatan diskusi, temu penulis, bedah buku, pemutaran film, gelaran seni, dan lain-lain. Dengan kata lain, mereka tak jualan buku saja.
Namun masa keemasan gerakan toko buku alternatif Bandung ada masanya, seperti pohon yang suatu waktu bakal tumbang atau ditebang. Deni mencatan beberapa peristiwa literasi yang bikin tumbang itu. Pertama krisis ekonomi global yang bikin lesu penjualan buku, kemudian kasus kebakaran pasar buku Palasari sebanyak dua kali. Palasari merupakan pasar buku terbesar di Jawa Barat. Api berasal bukan dari kios buku, melainkan dari sebuah rumah makan.
Dan satu lagi peristiwa yang masa itu menggemparkan ialah pembubaran diskusi Marxisme oleh organisasi massa. Diskusi yang digelar salah satu toko buku alternatif di Bandung itu terjadi pasca-reformasi yang konon merupakan masa kebebasan berpikir dan berdiskusi. Pembubaran ini menandai masih adanya pelarangan buku ala zaman Orde Baru.
Padahal menurut Deni, pohon buku seharusnya dibiarkan tumbuh secara alami. “Kenapa dianalogikan sebagai pohon, karena pohon akan tumbuh subur kalau ada tanah atau kultur, biji persemayaman, akar dari mana, bertumbuh batang, ranting, dan seterusnya. Pohon buku ini jangan ditebang, biarkan tumbang dengan sendirinya,” kata Deni, berfilsafat.[]