Saya sudah cukup panjang lebar menjelaskan kaitan antara prosa fiksi nonrealis dengan realis. Intinya, prosa fiksi nonrealis itu merupakan antitesis atau penekanan secara berlebihan dari aspek-aspek prosa fiksi realis. Artinya, kita boleh saja memberontak terhadap konvensi atau tradisi sastra realis, asal kita memang sudah tahu dengan baik apa itu konvensi atau tradisi sastra realis. Bukan asal ngawur mau memberontak saja dan berlagak jadi pembaharu sastra, sebab setiap bentuk seni—baik realis maupun nonrealis—selalu memiliki landasan epistemologinya sendiri. Namun, bukankah seni tak perlu didasarkan pada epistemologi? Jika ada yang berpikir bahwa seni tak ada hubungannya dengan epistemologi atau dengan logika, maka hal itu menun-jukkan ia tak paham filsafat estetika sebagai bagian dari filsafat aksiologi. Dasar dari filsafat aksiologi (etika dan estetika) selalu bertolak dari epistemologi tertentu. Dengan kata lain, jika tak ada landasan epistemologis untuk estetika, untuk seni, untuk sastra—maka tak ada alasan untuk mencipta karya seni, tak ada landasan bagi semua teori estetika, dan karya seni juga tak memiliki makna. Karya seni dan estetika akan menjadi misteri yang tak terjelaskan, tak bisa dipahami, dan sekaligus tak bermakna.
Namun, benarkah seni memang tak memiliki landasan episteme dan atau epistemologi? Apakah episteme sama dengan epistemologi? Ketika episteme dijelaskan, diuraikan, diwacanakan, dan digunakan, maka episteme pun menjadi epistemologi. Namun, ada banyak lagi jenis epistemologi yang belum diketahui saat ini. Meski begitu, pengertian belum diketahui bukan berarti setara dengan tidak diketahui. Kebeluman bukanlah ketiadaan, sebab kedua hal itu berada dalam kategori yang berbeda.
Benarkah karya seni adalah semata soal “misteri”, sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sesuatu yang harus dikeluarkan dari wilayah epistemologi? Apakah misteri itu—jika dirumuskan dengan bahasa formal logika—merupakan sebuah bentuk pernyataan kontradiksi ataukah hal itu justru sebuah pernyataan khaotik karena relasinya dibangun oleh tiga variabel atau lebih? Selama ini misteri selalu dikeluarkan dari wilayah epistemologi karena dianggap sebagai pernyataan kontradiksi atau paradoks. Dalam bahasa mudahnya, kira-kira begini: “Karya seni tak bisa dilogikakan.” Pernyataan di atas jelas menunjukkan dan, sadar atau tak sadar, mendukung pandangan epistemologi modern tentang kontradiksi sebagai bukan bagian dari epistemologi dengan menganggap karya seni hanya semacam misteri yang tak bisa dijelaskan, tak bisa diuraikan, dan tak bisa dipahami—sebuah misteri yang bertentangan dengan epistemologi manusia. Benarkah demikian?
Seni realisme, contohnya, bertolak dari teori korespondensi dalam epistemologi klasik, yang dalam istilah estetika dikenal sebagai mimetik (tiruan dari alam)—suatu konsep estetika yang dicetuskan oleh Aristoteles. Estetika seni realisme percaya bahwa seni yang indah haruslah meniru alam. Prinsip memetik ini bertolak dari prinsip identitas di dalam epistemologi (A = A, atau idealitas sama dengan realitas).
Sedangkan seni nonrealis (utamanya seni modern) bertolak dari prinsip koherensi di dalam epistemologi. Prinsip koherensi menyatakan bahwa dasar dari seni bukanlah meniru alam, tetapi bertolak dari konvensi yang dibuat oleh manusia berdasarkan satu teori atau beberapa teori tertentu (bisa sains atau spiritualitas). Misalnya, simbolisme bertolak dari spiritualitas yang berlandaskan pada prinsip kontradiksi atau paradoks. Surealisme bertolak dari teori psikoanalisa dan Marxisme. Impresionisme dalam seni rupa bertolak dari teori optik. Lukisan ekspresionisme dan fauvisme bertolak dari teori psikologi warna dan spontanitas emosi pada seni lukis pasca-impresionisme. Jadi, prinsip seni nonrealisme bukanlah mimetik tetapi berlandaskan kepada teori sains atau spiritualitas yang telah disepakati sebelumnya. Inovasi dalam konteks seni merupakan bantahan atau mengembangkan teori yang ada sebelumnya dengan membuat teori seni baru, misalnya kubisme dari Pablo Picasso merupakan bantahan terhadap teori satu perspektif dari seni impresionisme.
Karya seni, secara analogi, seperti sebuah sistem terbuka yang kompleks dan berada di tepi khaos. Hal itu mirip dengan epistemogi dari sistem kompleks yang khaotik yang tak lain sebuah gerak umpan balik yang berada dalam pemusatan oleh atraktor asing. Ia bukanlah potret, tetapi ia lebih mirip sebuah film. Epistemologi dan karya seni terus bergerak, terus melampaui gambaran sederhana tentang kriteria korespondensi atau koherensi atau pragmatisme dari kebenaran.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>