More

    Melankoli Perselingkuhan, Melankoli Kematian

    A. Membaca Tema dalam Nokturnal Melankolia

    Selanjutnya, di dalam merumuskan tema cerpen, kita harus terlebih dahulu memerhatikan soal konflik yang berikutnya akan diurai pada plot. Sebuah cerita tanpa konflik, jelas bukan cerita, tetapi bisa jadi esai atau artikel ilmiah. Setelah melakukan penggalian masalah, selanjutnya hal-hal yang menjadi masalah utama dimasukkan ke dalam kategori topik pada kerangka karangan. Setelah topik dirumuskan, maka selanjutnya masalah-masalah utama itu mesti diturunkan menjadi “konflik-konflik” ke dalam tema pada kerangka karangan.

    Konflik adalah perjuangan antara protagonis melawan satu kekuatan tertentu—bisa personal ataupun nonpersonal atau alam. Ada beberapa jenis konflik di dalam prosa fiksi sastra, di antaranya:

    - Advertisement -

    1. Konflik internal adalah konflik di dalam diri protagonis. Protagonis ditarik oleh dua rencana tindakan atau dua emosi yang berbeda—dan ia harus memilih salah satunya. Hal ini sering di-anggap sebagai karakteristik sastra.

    2. Konflik interpersonal adalah konflik yang terjadi antara protagonis melawan orang lain secara pribadi.

    3. Konflik publik adalah konflik yang terjadi antara protagonis melawan masyarakat. Hal ini terjadi karena protagonis memiliki nilai-nilai atau keyakinan yang bertentangan dengan masyarakatnya.

    4. Konflik alam adalah konflik yang terjadi antara protagonis melawan alam. Hal ini terjadi ketika protagonis terancam oleh unsur alam seperti bencana alam, serangan hewan, dll.

    5. Konflik takdir adalah konflik yang terjadi antara protagonis melawan nasib yang tak dapat atau hanya sedikit bisa dikontrolnya, seperti cacat tubuh atau kematian, dll.

    Sekarang, mari kita tengok bagaimana Angelina Enny menggarap pendalaman tematik cerpen-cerpennya di dalam buku “Nokturnal Melankolia”. Judul buku ini, Nokturnal Melankolia, berarti kesedihan atau keadaan dipresi tanpa disertai keaktifan fisik dari hewan yang biasa hidup di malam hari. Judul ini saya pikir menjadi semacam tema pokok, semacam jantung dari enam belas cerpen yang dituliskan oleh pengarangnya. Tokoh-tokoh yang hadir adalah tokoh-tokoh yang mengalami semacam kesedihan, semacam dipresi, dan berusaha menghadapi masalah-masalahnya (meski tak selalu berhasil). Selain itu, karakter di dalam kumpulan cerpen ini hadir tak mesti sebagai manusia, bahkan seekor anjing betina (“Betina”, halaman 105 – 116), boneka seks (“Berbie”, halaman 117 – 129), angin (“Lelaki dan Kera Putih”, halaman 155 – 166), dan hantu bisa menjadi tokoh juga. Yang saya maksud sebagai tokoh dalam kumpulan cerpen ini, tidak selalu tokoh utama (protagonis atau antagonis), tetapi bisa juga hanya seorang narator atau pengisah cerita.

    Kumpulan cerpen ini dibuka dengan cerpen berlatar Kota Yerusalem, yang berjudul “Vero-nila Memutuskan untuk Mati”. Ini cerpen yang menarik, menurut saya, karena latar kisah dikaitkan saat Yesus yang sedang menuju perjalanan menuju Bukit Golgota, sebelum penyalibannya. Dikisahkan dalam cerpen ini, meski tidak dijelaskan latar waktunya secara detil, kehidupan orang gadis bernama Veronika. Ia adalah anak bungsu dari seorang petani miskin yang tinggal di desa kecil, tepatnya di sebelah barat Kota Yerusalem. Ia memiliki empat orang kakak perempuan yang meninggalkan bapaknya dan hidup di Kota Yerusalem untuk menjadi pelacur. Veronika diminta oleh para kakaknya untuk mengurus sang bapak, sebab ibu mereka sudah meninggal dunia.

    Namun, ketika sang bapak sakit parah, Veronika memutuskan untuk pergi ke Kota Yerusalem guna membantu biaya pengobatan bapaknya. Ia bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga pada seorang saudagar kaya bernama Tuan Harim. Setiap hari ia sibuk bekerja membersihkan lantai rumah dan mencuci pakaian. Ketika ia mencuci pakaian itulah ia mengetahui ada bekas gincu bibir atau lipstik pada pakaian (kemeja, sorban, dan sapu tangan) Tuan Harim. Perihal lipstik itu di akhir cerita menjadi satu “sebab kunci” kenapa Veronika memutuskan untuk mati gantung diri di dahan pohon ara.

    Sampai di sini, ada dua hal yang menarik saya untuk melontarkan pertanyaan lebih jauh: Pertama, apakah yang dimaksud gincu atau lipstik di dalam cerpen ini? Atau secara lebih jelas apakah lipstik sudah dipakai oleh perempuan di Kota Yerusalem ketika penyaliban Yesus? Lalu, pertanyaan berikutnya, apakah perayaan Paskah yang dimaksudkan dalam cerpen ini merupakan perayaan Paskah dalam tradisi Kristiani atau dalam tradisi Ibrani (dalam bahasa Ibrani disebut: Pesach, Pesah, Pesakh; bahasa Inggris: Passover)? Pertanyaan saya ini penting agar saya bisa membuktikan latar waktu cerpen ini memang terjadi pada masa penyaliban Yesus, hanya dengan mencari penanda-penanda yang terdapat di dalam teks cerpen. Jika saya bisa membuktikan bahwa penanda-penanda itu ada, maka berarti teks cerpen ini cukup cermat dalam menggunakan penanda, dan saya yakin kecermatan itu merupakan buah hasil riset pada saat cerpen dituliskan atau sebelumnya.

    Dari beberapa teks sejarah akhirnya saya memang menemukan bahwa lipstik merupakan satu kosmetik tertua yang telah ada sejak zaman Mesir Kuno, sekira 5000 tahun lalu. Awalnya lipstik mulai muncul dalam peradaban di Timur Tengah, Afrika Utara, dan India. Perempuan Mesopotamia yang pertama kali mulai memperkenalkan lipstik untuk menghias bibir mereka dengan glitter serbuk yang berasal dari hasil pengilingan batu permata. Tentu saja cara ini juga menunjukkan status sosial dan kekayaan perempuan. Sementara para perempuan di peradaban Lembah Sungai Indus juga telah menggunakan lipstik secara teratur dari bahan tanaman. Hal yang sama juga terjadi dalam masyarakat Mesir Kuno. Di wilayah ini pembuatan lipstik telah mengalami kemajuan dibandingkan peradaban kuno lainnya. Pengguna lipstik pada bangsa Mesir berasal dari berbagai kalangan. Bagi mereka yang berasal dari kalangan kelas tinggi seperti anggota kerajaan dan pendeta akan menggunakan beberapa jenis lipstik. Masyarakat Mesir kunolah yang mulai memperkenalkan warna carmine (warna cerah seperti merah) yang saat itu terbuat dari ekstrak tubuh serangga cochineal (bahkan teknik ini masih digunakan sampai sekarang). Sedangkan untuk mendapatkan warna ungu, lipstik pada masa lalu menggunakan rumput laut yang dicampur dengan berbagai minyak dan lilin. Sebagai bukti kemajuan bangsa Mesir kuno dalam bidang kosmetik, dapat melihat gambaran Neferititi dan Cleopatra.

    Selanjutnya, saya juga menemukan bahwa istilah Paskah berasal dari tradisi Ibrani, yang pertama kali disebutkan dalam Kitab Keluaran dalam Perjanjian Lama. Dalam bahasa Inggris, istilahnya diterjemahkan menjadi Passover, yang berarti melewatkan. Perayaan ini diduga sebenarnya berasal dari perayaan Keni yang diberi makna baru oleh bangsa Israel. Bagi bangsa Israel, perayaan ini adalah hari peringatan akan terlepasnya mereka dari perbudakan bangsa Mesir. Kata kerja asli Paskah dalam kitab Taurat adalah posach. Bentuk kata bendanya, pesach, juga muncul pada ayat yang sama, dalam acuan kepada anak domba itu (kadang-kadang juga diacu sebagai “anak domba Paskah”) yang dikurbankan sebelum Paskah dan kemudian dimakan pada malam itu: “Buru-burulah kamu memakannya; itulah Paskah bagi Tuhan.” (Keluaran 12:11).

    Hal ini menunjukkan bahwa Angelina Enny, sebagai sang pengarang cerpen “Veronika Memutuskan untuk Mati”, memang cukup cermat dalam menggunakan penanda-penanda yang menunjukkan latar waktu dari cerita, tanpa mesti menyebutkannya.

    Mari kita kembali kepada soal tema dalam cerpen ini. Tema yang hendak diangkat sebenarnya adalah perihal situasi batas yang paling dramatis dalam hidup manusia, yaitu soal kematian. Apakah kematian itu satu pilihan yang bisa dilakukan manusia atau itu adalah soal takdir? Nampaknya, Veronika, sang tokoh dalam cerpen ini menganggap kematian ada dalam wilayah pilihan bebas manusia. Manusia bisa mencabut nyawanya sendiri kapan pun ia mau. Kematian bukan masuk wilayah takdir, tapi wilayah pilihan “etis” manusia. Pertanyaannya, apakah bunuh diri sudah ada pada masa ketika penyaliban Yesus di Yerusalem? Jawabnya: ada. Mari kita merujuk pada Injil Matius (27:3-8), berikut ini:

    “Pada waktu Yudas, yang menyerahkan Dia, melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia. Lalu ia mengembalikan uang yang tiga puluh perak itu kepada imam-imam kepala dan tua-tua, dan berkata: “Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah.” Tetapi, jawab mereka: “Apa urusan kami dengan itu? Itu urusanmu sendiri!” Maka ia pun melemparkan uang perak itu ke dalam Bait Suci, lalu pergi dari situ dan menggantung diri. Imam-imam kepala mengambil uang perak itu dan berkata: “Tidak diperbolehkan memasukkan uang ini ke dalam peti persembahan, sebab ini uang darah.” Sesudah berunding mereka membeli dengan uang itu tanah yang disebut Tanah Tukang Periuk untuk dijadikan tempat pekuburan orang asing. Itulah sebabnya tanah itu sampai pada hari ini di-sebut Tanah Darah.”

    Jadi, berdasarkan rujukan dari Injil Matius, soal bunuh diri itu memang sudah ada sejak masa penyaliban Yesus di Yerusalem.

    Persoalan bunuh diri ini kemudian mendapat pembenaran filosofis di dalam filsafat modern, misalnya di dalam filsafat eksistensialisme Prancis, khususnya pada filsafat eksistensialisme Albert Camus. Di dalam bukunya “Le Mythe de Sisyphe (1942)”, Camus—sastrawan dan filsuf Prancis kelahiran Alzajair—menyatakan hanya ada satu masalah filosofis yang layak untuk dipikirkan, yakni tentang bunuh diri. Apakah hidup kita ini layak untuk dijalani, atau tidak? Sementara, sebelumnya, Arthur Schopenhauer, filsuf Jerman, juga berbicara soal bunuh diri di dalam bukunya yang berjudul “Parerga und Paralipomena (1851)”. Bunuh diri, bagi Schopenhauer, diperbolehkan, ketika rasa sakit kehidupan dianggap lebih tinggi dari rasa sakit kematian itu sendiri. Tindak bunuh diri, pada keadaan-keadaan tertentu, adalah tindakan yang masuk akal, dan harus dilihat sebagai tanda kebebasan manusia atas dirinya sendiri.

    Yang cukup menarik, bagi saya, adalah saat tokoh Veronika dalam cerpen ini bertemu Yesus yang tengah memanggul kayu salib di Jalan Dolorosa. Yesus pada saat itu terjatuh dan wajahnya bercucuran darah, lalu seorang wanita gemuk menyambar sapu tangan linen milik Tuan Harim dari tangan Veronika dan mengusapnya ke wajah Yesus. Veronika kemudian merasa kasihan dengan Yesus dan berkata (di dalam pikirannya?):

    “Kasihan penjahat itu,” kata Veronika sambil memandang langit yang mulai berkabung. Ia pasti tidak menginginkan kematian. (Veronika Memutuskan untuk Mati, halaman 17)

    Lalu,

    Ia ingin memikirkan mata si penjahat tadi siang, dengan sapu tangan lukisan darah. Kematian adalah kuasa atas diriku sendiri, pikirnya. Tidak ada yang bisa memintaku untuk mati seperti dirimu, katanya lagi. Ia menitikkan air mata, bukan untuk dirinya atau kesialan-kesialan hidupnya, tapi untuk si penjahat itu, yang tak mampu menentukan kematiannya sendiri. Lalu Veronika mulai memanjat pohon ara di hadapannya. (Veronika Memutuskan untuk Mati, halaman 18)

    Persoalannya, apakah keputusan Veronica untuk bunuh diri tersebut didasari oleh “sebab” yang sangat kuat? Kenapa ia tak memutuskan untuk lari saja dari rumah tuannya atau kembali ke rumah ayahnya di desa? Apakah hanya oleh sebab takut dipukuli atau takut kembali diperkosa oleh tuannya, maka itu sudah menjadi sebab yang cukup atau perlu untuk memutuskan bunuh diri? Atau ada sebab lainnya, misalnya satu cara untuk menegaskan bahwa dirinya berkuasa atas hidup dan matinya sendiri? Jika yang terakhir itu menjadi alasan terkuatnya, maka pikiran Veronika sangatlah filosofis. Apakah mungkin buat seorang anak petani miskin pada masa Yesus bisa berpikir sangat filosofis tentang bunuh diri? Apakah hal itu bukan pikiran atau renungan filsafat eksistensialis dari pengarangnya sendiri yang menyusup menjadi pikiran tokoh utama dalam cerpennya, terlepas dari konteks karakterisasi sang tokoh?

    Tema soal kematian dalam kumpulan cerpen ini terus dieksplorasi oleh pengarangnya dalam cerpen-cerpen lainnya, seperti “Matinya Seekor Kucing Hitam”, “Cemani yang Tak Mau Pergi”, “Nocturne”, “Cupcake untuk Kaka”, “Malam Kelima Belas”, “Betina”, “Dewi”, “Lelaki dan Kera Putih”, “Rezeki Cuanki”, dan “Obituarium Seorang Kekasih”. Nyaris semua cerpen dalam kumpulan ini mengangkat tema tentang kematian dengan segala variasinya dalam nuansa melankoli. Dan oleh karenanya judul kumpulan cerpen ini, “Nokturnal Melankolia”, memang pas sebagai frasa kunci untuk memahami tema-tema “kelam” pada kumpulan cerpen ini.

    Selain tema soal kematian, cerpen-cerpen di dalam kumpulan ini juga mengangkat tema soal posisi perempuan sebagai “korban” perselingkuhan, atau ringkasnya sebagai korban pelampiasan nafsu seksual lelaki. Ini pandangan khas para feminis. Misalnya di dalam cerpen yang berjudul “Gloomy Sunday”, “Barbie”, “Dewi”, “La Jolie Chat”, “Perempuan Penari”, hingga “Obituarium Seorang Kekasih”.

    Cerpen berjudul “Berbie” merupakan contoh yang pas untuk menjadi wakil dari tema perempuan sebagai korban perselingkuhan. Di awal cerita, dengan menggunakan teknik sudut pandang pengisahan orang pertama tunggal, sang narator yang mengaku bernama Berbie mengungkapkan dirinya sebagai kekasih gelap dari seorang direktur BUMN ternama. Direktur ini digambarkan sudah berusia sepuh, menjelang usia 60 tahun, tetapi masih nampak tampan dan bergairah secara seksual. Pertemuan pertama mereka terjadi melalui situs perjodohan di internet. Singkat cerita terjadilah “affair” antara Barbie dan sang direktur BUMN. Perselingkuhan itu terjadi justru di rumah mewah berlantai dua milik sang direktur, ketika istrinya sedang tidak di rumah.

    Affair panas itu terus berlanjut hingga suatu ketika sang direktur BUMN menolak untuk menemuinya lagi. Hal itu terjadi setelah affair terakhir mereka, sebuah affair sangat panas karena sang direktur melakukan seksual sadisme. Ini adalah jenis perilaku seksual yang menyimpang di mana pengidap biasanya memperoleh kepuasan seksual apabila ia berfantasi atau menyakiti atau mempermalukan orang lain yang menjadi objek seks mereka.

    Aku dilanda kebingungan dan ketakutan, tak sanggup bersuara dan bertanya, sementara kekasihku seakan bukan dirinya lagi. Perlakuannya menjadi kasar, seolah ada monster yang mengambil alih tubuhnya. Monster itu berbisik dengan suara pa-rau di telingaku. Barbie. Lalu ia mengambil kedua tanganku dan mengikatnya dengan tali yang sama. Dengan nafsu dan napas liarnya, ia menguasaiku. Ia mulai mengumpat dan memukul tubuhku. Mula-mula pelan, makin lama semakin keras. Leherku semakin keras dicekiknya, seiring dengan geraman dan teriakannya sampai ia mengisi penuh liangku dengan cairannya, lalu ia mendadak lunglai dan jatuh dalam kekecewaan. Kekasihku pergi begitu saja. Monster itu ikut bersamanya. (Berbie, halaman 126 – 127)

    Sejak itu affair mereka pun terputus. Berbie tak mengerti apa alasan pemutusan hubungan cinta mereka. Kekasihnya tak mau lagi menemuinya. Hingga akhirnya ia tahu bahwa sang kekasih telah memiliki kekasih baru lainnya. Bahkan ia sempat memergoki mereka berhubungan seks di kamar kekasihnya itu. Rupanya perempuan selingkuhan baru direktur BUMN itu menyukai seksual masokisme, jenis perilaku seksual yang menjadi “lawan” dari perilaku seksual sadisme. Pasangan yang klop. Dan, Berbie, selingkuhan yang malang itu mengetahui affair baru kekasihnya itu dari kolong ranjang. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa, karena Barbie sebenarnya hanyalah sebuah boneka seksual dari plastik.

    Secara keseluruhan tema cerpen “Barbie” itu mengungkap perspektif feminisme radikal terhadap kaum perempuan sebagai sekadar objek seksual lelaki. Simbolisme bahwa korban perilaku sekual sadisme dari direktur BUMN itu tak lain hanyalah boneka seksual bisa ditafsirkan bahwa lelaki cenderung menganggap perempuan tak lebih sebagai “alat” pemuas seksual. Namun, konflik yang muncul dalam cerpen ini hanya satu konflik saja, yaitu konflik interpersonal antara protagonis (Berbie) dan antagonis (direktur BUMN). Konflik ini juga menciptakan karakterisasi hitam-putih. Meski terjadi dinamika karakter di dalam plot, yaitu pada tokoh direktur BUMN: dari seorang kekasih yang manis, berubah menjadi seorang pengidap seksual sadisme pada akhir cerita. Namun, sesungguhnya, perubahan karakter itu bukan disebabkan oleh situasi yang tak terelakkan, melainkan hanya disebabkan oleh ketaktahuan sang protagonis akan watak sesungguhnya dari antagonis.

    Meski begitu di akhir cerita, kemunculan tokoh Siska, selingkuhan baru sang direktur BUMN mampu mengungkapkan bahwa problem perselingkuhan itu tidak hanya berasal dari keisengan lelaki untuk mencari pemuasan fantasi seksual, tetapi juga bisa disebabkan oleh keinginan yang sama dari pihak perempuan.

    “Istriku di rumah seminggu tiga hari. Jumat, Sabtu dan Minggu. Kau bisa datang di hari-hari lainnya, Siska Sayang.”

    “Besok-besok aku akan bawa alat lain. Atau kita bisa coba main di dapur? Dengan tetesan lilin barangkali.” Perempuan itu cekikikan lagi.

    “Atur saja, Say. Kita janjian di tempat biasa, aku suka jemput kamu di sana.”

    “Kamu bermain lebih pandai dari suamiku.” Suara cekikikan lagi.

    “Kamunya yang jarang minta kali?”

    “iya juga sih, habisnya dia lebih suka jadi slave. Sementara sama kamu…

    ”Siska tidak melanjutkan perkataannya, ia tertawa manja.

    (Berbie, halaman 128)

    Pada awal abad ke-20 gerakan feminisme bertumbuh semakin luas dan menjadi sumber inspirasi baru bagi para sastrawan atau seniman perempuan, maka ekspresi dan persoalan seni dalam dunia perempuan pun mulai bergeser dengan jelas. Kebudayaan patriarkhi, yang mendominasi kebudayaan dunia selama berabad-abad, mulai digugat. Para sastrawan perempuan yang terinspirasi oleh gerakan feminis mulai melihat dengan perspektif yang berbeda. Mereka mulai melihat “persoalan tubuh” kaum perempuan dengan cara yang lebih intens dan berani. Tabu tubuh perempuan adalah semacam represi oleh sebab agresi kebudayaan patriarkhi. Tubuh perempuan yang dalam kebudayaan patriarkhi cenderung dianggap sebagai muasal dosa, atau, minimal, sebagai penggoda “kesucian” kaum lelaki, mulai menjadi persoalan yang genting tetapi juga membawa terang yang baru—kilau cahaya matahari di ujung lorong gelap itu. “Penistaan” tubuh perempuan sebagai sisi gelap, sebagai tulang rusuk lelaki (tulang yang berada dalam ruang gelap pada tubuh lelaki), mulai dipertanyakan.

    Secara fisiologis, dalam konteks seksual, tubuh perempuan memang berbeda daripada tubuh lelaki. Fungsi seksual pada tubuh perempuan tak hanya berada seputar alat kelaminnya, tetapi mekar pada seluruh tubuhnya. Dan para sastrawan perempuan penganut feminisme pada awal abad ke-20 menyadari dengan jelas hal ini. Namun, bersamaan dengan itu, ada kesadaran baru yang tumbuh oleh karenanya. Ada perbedaan yang nyata antara keindahan erotik dalam ekspresi seni perempuan dengan ekspresi seni lelaki. Erotisme tubuh bagi kaum perempuan tidak hanya menyodorkan semacam sensualisme, tetapi juga rasa sakit. Erotisme, sebagai salah satu ekspresi seni, bagi sastrawan feminis tidak hanya menghadirkan keindahan, tetapi juga menghadirkan lebam dan luka akibat budaya patriarkhi.

    Rasa sakit yang akrab saat perempuan menemukan kembali tubuhnya, menemukan kembali keindahan erotismenya, bisa jadi tumbuh dalam fakta fisiologis akan alat reproduksi kaum perempuan itu sendiri. Namun, rasa sakit alami seperti itu, tidaklah akan sampai membuat kaum perempuan dalam pandangan feminis menjadi subordinat dari kaum lelaki. Rasa sakit alami seperti itu adalah kodrat, bukan hasil dari ketimpangan struktural atau kultural yang terjadi akibat dominasi dan hagemoni budaya patriarkhi. Rasa sakit alami seperti itu tidak menciptakan lebam dan luka “biografis” pada tubuh perempuan, pula, lebih lagi, pada hatinya:

    Kau tidak adil. Aku berjalan terus mendekatimu sementara kau tidak mau bersusah payah menyadari kehadiranku. Hatiku teriris ketika melihat perempuan yang berada di pelukanmu. Ia mengenakan gaun terusan merah selutut. Kepalanya tak berbentuk lagi, merah berserakan di atas tegel abu-abu. Sekuntum kamboja putih yang sudah melayu menjadi kontras di antara semuanya. Sekarang aku tidak memiliki kenangan lagi tentangmu. Semut-semut api itu telah memakan semuanya. (Gloomy Sunday, halaman 63)

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here