More

    Melankoli Perselingkuhan, Melankoli Kematian

    B. Membaca Penokohan dalam Nokturnal Melankolia

    Ketika tema sudah dibuat, dalam arti satu konflik atau kombinasi dari beberapa konflik, maka seorang penulis cerpen baru dapat mulai mengembangkan karakterisasi (penokohan) yang terlibat dalam konflik tersebut. Penokohan dalam fiksi prosa, biasanya terdiri dari dua jenis, yaitu:

    1. Tokoh Mayor (Tokoh Utama) yang terdiri dari:

    - Advertisement -

    a. Protoganonis: tokoh sentral (orang, binatang, atau objek yang dipersonifikasikan) di dalam konflik pada suatu plot.

    b. Antagonis: merupakan kekuatan yang berkonflik dengan protagonis. Antagonis bisa berupa masyarakat, alam, atau takdir, serta orang lain. Antagonis juga dapat berupa diri protagonis sendiri, jika ia memiliki konflik internal.

    2. Tokoh Minor (Tokoh Pembantu) yang terdiri dari:

    a. Tokoh Figuran adalah tokoh kecil yang sifatnya bertentangan langsung dengan tokoh-tokoh utama (baik protagonis maupun antagonis). Fungsi dari karakter kecil ini adalah menyoroti langsung sifat-sifat dari karakter utama.

    b. Tokoh Stereotipe adalah tokoh kecil yang memiliki ciri-ciri yang diharapkan atau tak diharapkan oleh kelompok (keluarga/masyarakat/komunitas)—bukannya individu. Penggunaan tokoh stereotipe sering dianggap tidak baik dan dapat menyinggung kelompok tertentu, terutama dalam kasus-kasus seperti anggota kelompok minoritas, penyandang cacat, atau perempuan. Namun, stereotip dapat berguna dalam memajukan cerita dengan cepat dan dapat diterima dalam peran kecil jika mereka tidak memberikan potret yang menyakitkan bagi kelompok yang bersangkutan. Misalnya, tokoh dari etnis tertentu yang digambarkan sebagai pencuri, tokoh banci, perempuan cerewet, atau pendeta/ulama yang terlalu baik hati, dll.

    Selanjutnya, tokoh-tokoh itu dikembangkan karakternya (ciri fisik dan mentalnya). Setiap tokoh itu akan memiliki pengembangan karakter, sebagai berikut:

    1. Karakter yang bulat. Karakter jenis ini biasanya untuk tokoh utama. Satu karakter akan disebut bulat bila memiliki ciri-ciri karakter yang lengkap: baik-buruk, benar-salah, pintar-bodoh, cantik-jelek, dst. Kalau satu tokoh utama cuma digambarkan baik saja atau buruk saja, maka karakter tokoh itu bisa dianggap tidak bulat, tidak utuh, dan cenderung menjadi komikal. Karakter yang bulat pada tokoh-tokoh utama biasanya menjadi indikasi penokohan yang bernilai sastra.

    2. Karakter datar. Karakter yang hanya digambarkan satu sisi saja, misalnya baik saja, atau buruk saja. Tokoh-tokoh figuran biasanya digambarkan sebagai karakter yang datar.

    Setiap tokoh dalam prosa fiksi biasanya mengalami perubahan karakter. Ada dua jenis perubahan karakter:

    1. Karakter Statis. Karakter ini biasanya digambarkan dalam cerita tidak mengalami perubahan karakter yang berarti. Dari awal sampai akhir cerita, satu tokoh yang jahat terus digambarkan sebagai jahat. Tokoh-tokoh figuran atau stereotipe biasanya digambarkan memiliki krakter yang statis.

    2. Karakter Dinamis. Karakter yang dinamis terjadi ketika satu atau beberapa tokoh-tokoh utama mengalami perubahan mendasar dalam karakternya melalui peristiwa cerita. Perubahan ini bersifat internal dan mungkin tiba-tiba, tetapi peristiwa di dalam plot harus membuatnya tampak tak terelakkan.

    Perubahan dalam karakter terjadi pada suatu kontinum perubahan karakter dalam cerita. Misanya, dengan karakter yang sangat statis di awal cerita, dapat menjadi dinamis menjelang akhir cerita. Dinamisasi suatu karakter pada protagonis biasanya dianggap sebagai indikasi kualitas sastra pada suatu prosa.

    Tokoh-tokoh yang ada dalam kumpulan cerpen Nokturnal Melankolia ini cenderung dihadirkan sebagai korban-korban dari konflik di dalam plot yang ada. Sebagian besar tokoh utama muncul dengan karakterisasi hitam-putih atau karakter yang datar, baik tokoh protagonis maupun antagonisnya.

    Namun, kekurangan pada karakter yang datar ini mampu ditutupi dengan dinamika karakter dari tokoh-tokohnya. Misalnya, pada karakter protagonis Madame Jeannette-Ludy pada cerpen “La Jolie Chat”. Pada awal cerpen digambarkan bahwa karakter Madame Jeannette-Ludy adalah seorang janda pemalu yang sopan. Namun, perlahan karakter ini mulai berusaha melepas-kan karakter pemalunya saat ia jatuh cinta kepada seorang pelukis muda, Remy. Hingga akhirnya ia memberanikan diri meminta sang pelukis muda itu melukiskan kucing lelakinya, Coco. Selesai melukis Coco, mereka berdua pun berjalan-jalan dan berbagi cerita di Plaza du Tertre. Lalu, mereka pulang. Hanya itu. Esok paginya, Coco (kucing lelaki yang dilukis menjadi kucing betina oleh Remy) dan Laila—pembantu kesayangan Madame Jeannette-Ludy—mendadak hilang. Di meja hanya ada selembar catatan, dengan uang lima puluh Euro, dari Laila. Di dalam catatan yang bertulis huruf acak-acakan itu ternyata baru diketahui bahwa Remy, lelaki yang dicintai secara diam-diam oleh Madame Jeannette-Ludy, merupakan suami dari Laila.

    Pada cerpen berjudul “Cupcake untuk Kaka”, tokoh Mama (karakter protagonisnya) juga mengalami dinamika karakter yang menyentuh. Digambarkan pada hampir sebagian besar cer-pen ini, sang Mama sibuk membuatkan kue ulang tahun jenis red velvet kesukaan putranya, Kaka, yang berumur tujuh tahun. Putranya ini diceritakan amat menyukai sepak bola, khususnya Tim Merah Putih, atau tim sepak bola Indonesia. Kesukaan Kaka terhadap sepak bola ditularkan dari suaminya yang juga amat mencintai sepak bola. Ketika kue ulang tahun red velvet sudah matang, dan saat suaminya sudah pulang kerja, barulah kemudian diketahui bahwa Kaka sudah meninggal dunia setahun lalu akibat tertabrak mobil. Transisi karakter sang Mama digambarkan dengan mengharukan dalam dialog dan narasi berikut ini:

    “Pa, ke mana Kaka ya? Kok jam segini belum pulang. Biasanya paling lama juga setengah enam dia pulang. Tadi Papa lewat lapangan bola depan perumahan nggak? Apa masih banyak anak-anak yang main di sana jam segini?” suaraku mu-lai panik. Kebiasaanku jika panik selalu mencerocos dengan suara tinggi.

    “Ma, sudahlah. Sadarlah.”

    “Sadar apa, Pa. Sudah apa?” Aku benar-benar bingung dibuatnya. Kepanikan dan kebingungan melanda pikiranku. Jemariku mulai basah oleh keringat dan me-nandakan tubuhku mulai menyadari sesuatu yang salah. Perlahan potongan-po-tongan peristiwa merembesi otakku.

    “…tertabrak… Kaka… tahun lalu… sore ini… psikoterapi…” Aku tak dapat menangkap kalimat-kalimat yang dilontarkan suamiku. Suaranya semakin menjauh sementara dentaman-dentaman di kepalaku semakin hebat. Lalu semuanya gelap. Merah, lalu putih. (Cupcake untuk Kaka, halaman 73 – 74)

    Sementara di dalam cerpen “Veronika Memutuskan untuk Mati”, karakter protagonisnya mengalami dinamika karakter, dari seorang yang pasrah menjalani kehidupan pahit sebagai anak petani miskin hingga pelayan rumah tangga seorang saudagar kaya di Kota Yerusalem, menjadi seorang “pemberontak kehidupan” yang menggantung dirinya pada sebatang pohon ara. Demikian juga pada cerpen terakhir yang berjudul “Obituarium Seorang Kekasih”, digambarkan bah-wa karakter sang tokoh utama (seorang lelaki tua berusia 60 tahun, seorang kolektor lukisan ternama) yang diceritakan oleh narator orang pertama tunggal (seorang perempuan muda yang menjadi kekasih gelap sang kolektor lukisan), juga mengalami dinamika karakter. Sang kolektor lukisan itu menjalin hubungan cinta terlarang dengan sang narator. Kisah cinta mereka digam-barkan cukup bahagia, meski tentu saja dilakukan secara diam-diam, hingga akhirnya sang narator mengetahui bahwa kekasihnya itu telah mengambil keputusan untuk bunuh diri. Tidak dijelaskan apa yang menjadi motif sang kolektor lukisan itu mengambil keputusan itu. Akhir cerpen ini hanya ditutup dengan narasi berikut:

    Kekasihku dihargai oleh banyak kalangan, meski jika kuperhatikan satu-satu, wajah-wajah muram itu tidak semuanya tulus. Begitulah manusia, hidup dalam panggung sandiwaranya masing-masing.

    Jenazah diturunkan dan jeritan histeris sang istri memenuhi udara, membuatku sesak dan pengang. Sekilas gelap memerangkapku, tubuhku terhuyung dan menabrak pohon kamboja di sampingku. Pohon itu bergoyang sesaat, menjatuhkan bunganya yang putih di sebelah sepatuku.

    Aku memungutnya dengan tatapan gemetar, menyelipkannya di telingaku dan melangkah perlahan ke arah parkiran. Aku tak menangis. (Obituarium Seorang Kekasih, halaman 174)

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here