Adanya kepastian regulasi menjadi penting. Apapun bentuknya, Keputusan Bersama antar Kementerian, Instruksi Presiden, Keputusan Presiden atau UU, sebagai dasar jadi penting untuk terlebih dahulu dibuat. Karena, adanya kepastian payung hukum akan memberikan jaminan pada semua pihak.
HETEROGENITAS, KLASTER DAN SUPER HOLDING KOPERASI
Hadirnya, program koperasi desa yang digagas oleh Presiden Prabowo, bukan tanpa pertanyaan dari masyarakat, akibat masih adanya tafsir dan persepsi berbeda. Tafsir dan persepsi, sebenarnya akibat belum adanya proses sosialisasi kepada masyarakat desa. Sehingga, menimbulkan kekhawatiran akan keberlangsungan usaha kelompok, badan hukum atau lembaga ekonomi masyarakat yang telah berjalan baik, sesuai dengan kaidah ekonomi solidaritas dan kolektifitas, yang selama ini telah berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat perdesaan.
Di antara lembaga ekonomi desa, yang mengkhawatirkan itu adalah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), koperasi (non dan KUD) atau kelompok usaha kolektif lainnya, seperti Gapoktan, Gapokdarwisdes, Gapoknakan, atau Gabungan Kelompok Usaha Mikro Kecil Menengah (GapokUMKM). Mereka, mengkhawatiran, badan/lembaga usaha desa itu, akan berakibat merusak keberlangsungan tata kelola manajemen usaha yang telah ada.
Kita, tahu ada lebih dari 50.000 BUMDes aktif (laporan KemenDes PDTT, 2023). Sedangkan, dari kemenkop ada 27.531 (koperasi di desa), 4088 (KUD), dan 16.080 (koperasi simpan pinjam) yang selama ini telah berkontribusi pada peningkatan pendapatan masyarakat desa dan menciptakan lapangan kerja melalui aneka pengelolaan usaha produktif seperti pertanian dan UMKM.
Target pembentukan koperasi “desa” merah putih, dengan adanya 50.000 BUMDes, 27.531 (koperasi di desa), 4088 (KUD), dan 16.080 (koperasi simpan pinjam), tentu tidaklah sulit mencapainya secara kuantitas. Tapi, kualitas dan penyebarannya tidak ada jaminan. Masalahnya, sebaran BUMDes, Koperasi Non KUD dan KUD dapat dipastikan masih terpusat di Pulau Jawa. Bank Desa jika kita konversi dari koperasi simpan pinjam menjadi bank, telah ada 16.080 bank desa. Belum lagi bila dikaitkan tata kelola manajerial? Faktor ini pula yang masih menimbulkan kekhawatiran dari pengelola BUMDes dan koperasi telah ada dan secara manajerial telah berjalan baik (profesionalisme usaha) selama ini.
Pilihan melakukan penyeragaman dalam bentuk badan hukum (BH) Koperasi Desa Merah Putih, juga solusi. Kita tahu, kekhawatiran pelaku usaha itu, akan terkait pada ketiadaan jaminan keberlanjutan dan perubahan manajemen pengelolaan baik SDM, Jenis Usaha, dan Manajerialnya. Untuk itu, sosialisasi dan kebijaksanaan negara mutlak diperlukan, agar tidak terjadi gejolak akibat program yang belum tentu sesuai untuk semua desa. Andai, penyeragaman itu sebatas identitas (nama) tentu tidak begitu bermasalah, selama itu bisa membentuk semacam role model koperasi badan hukum di perdesaan se-Indonesia.
Hal lain, bila penerapan dilakukan pada seluruh aspek tata kelola mulai pada jenis usaha, manajemen dan SDM. Kondisi, ini adalah lumrah ada kekhawatiran dari pelaku koperasi (KUD/non KUD), kelompok usaha, dan BUMDes. Akan ditempatkan di mana usaha-usaha tersebut. Apakah, BUMDes akan ditempatkan sebagai mitra utama program Koperasi Merah Putih, yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan, pemasaran, pendidikan anggota, dan inovasi pendanaan koperasi, atau bagaimana? Atau, dilebur secara menyeluruh dalam koperasi MP?
Kesimpang-siuran informasi, akan menghambat implementasi visi besar program koperasi MP. Sosialisasi dan penyeragaman informasi/pemahaman secara menyeluruh-komprehensif, akhirnya menjadi suatu kemutlakan. Untuk, memastikan setiap elemen dalam ekosistem ekonomi desa berjalan selaras, mandiri dan dapat memakmurkan masyarakat desa. Adanya kepastian regulasi menjadi penting. Apapun bentuknya, Keputusan Bersama antar Kementerian, Instruksi Presiden, Keputusan Presiden atau UU, sebagai dasar jadi penting untuk terlebih dahulu dibuat. Karena, adanya kepastian payung hukum akan memberikan jaminan pada semua pihak.
Keputusan Bersama, dimaksudkan untuk memberikan jaminan bahwa pemerintah akan tetap mempertahankan adanya: hetergonitas jenis dan bentuk usaha, tanpa harus membentuk badan usaha baru. Negara, perlu menjaga derajat kemandirian pelaku usaha kolektif (gotong royong) di perdesaan. Sekaligus, mengurangi adanya intervensi kepala desa (pemilik modal mayoritas) dan menempatkan prinsip koperasi yang independen sebagai tawaran alternatif solusi.
Program perekonomian desa berbasis “semangat” koperasi dengan kolaborasi jadi penting. Kolaborasi dan kemitraan usaha di perdesaan akan relevan. Salah satu metode teknis, dapat dilakukan dengan membagi jenis usaha secara klasterisasi geografis. Klasterisasi berdasarkan tingkat terendah, yakni mulai dari skala lokal (desa), kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional). Pilihan berdasarkan klasterisasi, dimaksudkan pada klaster lokal pemerintah harus menjamin ada keanekaragaman (heterogenitas) jenis dan bentuk usaha di tingkat perdesaan. Artinya, jenis/bentuk usaha di perdesaan, tidak harus ditiadakan, dibubarkan atau digabungkan dalam satu badan hukum koperasi desa merah putih.
Pemerintah, jangan memberikan kesan adanya pemaksaan/penyeragaman. Pengalaman masa lalu yang membentuk badan usaha (koperasi) secara “top—down”, tidak memberikan penyelesaian pelembagaan ekonomi desa akan terjalin keberlangsungan secara Panjang. Sejarah membuktikan banyak program yang dibentuk secara “top—down”, akan sangat tergantung pada kepemimpinan dan insentif yang diberikan. Akibatnya, bila ada pergantian kepemipinan dan hilangnya insentif, koperasi akan ikut tenggelam pula.
BELAJAR DARI KUD DAN SOLUSI KOPDES MERAH PUTIH
Bersambung ke halaman selanjutnya –>