
Potret Realitas di Gaza: Luka yang Dijaga Dunia
Gaza adalah tanah yang dipaksa untuk terus berdarah puluhan tahun. Data dari 7 Oktober 2023 hingga Mei 2025; tercatat 61,312 terbunuh, 90% Rumah Sakit rusak, 90% sekolahan hancur. Setiap ledakan bukan hanya menghancurkan bangunan, tapi juga masa depan. Di balik angka-angka yang terus diperbarui, banyak anak dan bayi yang belum mengenal dunia harus turut berpulang lebih cepat. Bantuan kemanusiaan tertahan di perbatasan, sistem air bersih, listrik, dan infrastruktur lainnya dirusak penjajah.
Lebih dari sekadar krisis kemanusiaan, Gaza adalah contoh ekstrem dari bagaimana ketidakadilan bisa dilegalkan. Ketika rakyat sipil dijadikan tameng oleh narasi propaganda, dan kekerasan dibungkus dengan kata “defensif”, maka hukum internasional hanya menjadi bunyi-bunyian formal. Amerika Serikat berbicara soal “hak untuk membela diri”, sementara veto di Dewan Keamanan PBB menjadi alat untuk membungkam desakan keadilan.
Dunia hanya sesekali terguncang, lalu cepat melupakan. Pemberitaan melimpah, kecaman berhamburan, resolusi internasional bergulir, tetapi blokade tetap berlangsung. Dunia melihat, tapi tak bertindak. Dalam sudut pandang geopolitik, Gaza bukan hanya wilayah konflik. Ia adalah titik sandera—antara kepentingan keamanan Israel, kebuntuan politik Palestina, dan tarik-menarik kepentingan regional serta global.
Namun di sisi lain, Gaza adalah simbol keteguhan. Di sana, hidup tetap berjalan—dengan segala keterbatasan. Anak-anak tetap bersekolah meski atapnya berlubang, keluarga tetap berkumpul di bawah tenda sambil membaca ayat-ayat perlindungan. Ini bukan sekadar kisah penderitaan. Ini adalah bentuk perlawanan paling sunyi: bertahan hidup.
Peta Kepentingan Global: Siapa Bermain di Balik Layar?
Bersambung ke halaman selanjutnya –>
Terus bergerak adalah solusi …
Karena diam atas kezholiman adalah adalah mati_
Sepakat… kita bergerak bikin kekuatan.