More

    Usia 23 Jadi Kandidat Phd di Universitas Monash, Kok bisa?

    ABC AUSTRALIA NETWORK
    Hany Koesumawardani

    Gracia di kampus Monash University. (Foto: Hany Koesumawardani)
    Gracia di kampus Monash University. (Foto: Hany Koesumawardani)

    Wajahnya imut, tingkah lakunya malu-malu. Namanya Gracia. Sekilas memang seperti anak baru gede (ABG) tapi gadis berusia 23 itu adalah kandidat PhD di Universitas Monash. Bagaimana bisa?

    “Sistem pendidikan di sini, S1 ditempuh 3 tahun, hanya course work, jadi nggak ada skripsi seperti di Indonesia. Jadi kalau mau tambah 1 tahun, namanya Honours, spesialisasi penelitian saja. Setelah menempuh program Honours itu, kalau cukup nilainya bisa ambil PhD,” tutur Gracia.

    - Advertisement -

    Gracia diwawancara detikcom dan RCTI di laboratorium Universitas Monash, Melbourne, Victoria, atas undangan Australia Plus ABC International, September 2015.

    Alumni SMAK 1 Penabur Tanjung Duren Jakarta ini mengatakan dia datang ke Australia selulus SMA dan mengambil pendidikan Strata 1 jurusan sains farmasi di Monash. Saat itu Gracia mulai akrab dengan penelitian di bidang obat-obatan.

    “Selama saya menempuh S1 ada program semacam penelitian selama musim panas, kita mahasiswa S1 dapat kesempatan ada tutor peneliti. Dapat tutor peneliti di sini, berpartisipasi melihat seperti apa rasanya penelitian di kampus ini. Saya sangat terinspirasi oleh penelitian itu, jadi saya putuskan untuk menempuh penelitian,” jelas Gracia.

    Selepas itu, Gracia langsung memutuskan untuk menambil jalur riset farmasi. Mengambil 1 tahun Honours yang ternyata nilainya memenuhi syarat untuk langsung mengambil jalur PhD.

    “GPA (Indeks Prestasi Kumulatif/IPK) mereka nggak lihat. Kayaknya bagi mereka (Monash) nilai Honours lebih penting,” tuturnya.

    Satu lagi, untuk mengambil PhD di Monash, haruslah mendapatkan beasiswa. Gracia mendapatkan beasiswa Victorian International Research Scholarship.

    “Kalau PhD harus ada beasiswanya. Aku dapat yang pemerintah Victoria, biaya hidup dan sebagainya, penuh. Melamarnya sebelum keterima (PhD). Syaratnya yang penting bisa menunjukkan kalau serius melakukan riset. Rekomendasinya dari supervisor kita. Kalau dari eksternal harus ada penelitian yang non-published biasanya sangat membantu,” ungkap dia.

    Gracia menjelaskan apa yang ditelitinya adalah mengembangkan obat yang menyasar sistem limfatik alias limpa. Gracia menjelaskan, ada 2 sirkulasi dalam tubuh ini yakni sirkulasi darah dan sirkulasi limfatik.

    “Sirkulasi limfatik ini tidak banyak dikenal, tapi fungsinya membantu menyerap lemak yang kita dapat dari makanan, meregulasi keseimbangan cairan dalam tubuh, terakhir tak kalah penting, untuk mengatur sistim kekebalan tubuh kita,” tuturnya.

    Dia melanjutkan, banyak masalah penyakit-penyakit berhubungan dengan sistem limfatik. Seperti kanker yang dapat menyebar dalam tubuh, juga dalam penyakit-penyakit yang berhubungan metabolisme seperti diabetes, ada peranan sistem limfatik dalam penyebarannya.

    “Kebanyakan dari obat-obat yang menyembuhkan penyakit ini tak spesifik ke sistem limfatik. Jadi masalahnya, kita butuh dosis yang sangat tinggi untuk obat itu dapat sembuhkan penyakit. Dengan menargetkan obat ini ke limfatik, kita bisa kurangi dosis yang kita butuhkan tapi dengan efek yang sama besarnya. Jadi ini bakal berperan dalam meningkatkan kualitas hidup pasien. Tak perlu dosis obat yang sangat banyak,” jelas Gracia.

    Nah obat yang diteliti Gracia, masih dalam tahap pengembangan. Dia membuat bermacam-macam sistem yang berbeda dan mencari tahu apakah reaksi obat yang dikembangkan bisa menyasar sistem limfatik dengan efisien.

    “Potensialnya ini untuk obat penyakit imun dan juga vaksin tumor yang saat ini dalam pengembangan,” tuturnya.

    Akhir dari penelitian Gracia, bukanlah produk jadi obat yang langsung bisa dipasarkan. Karena untuk menjadi obat yang siap dipakai itu butuh riset belasan bahkan puluhan tahun.

    “Penelitian nggak harus sampai selesai, yang penting kita menunjukkan bahwa kita serius, mengumpulkan data, ujung-ujungnya nggak harus menemukan kayak obat. Soalnya riset itu jangka panjang, ini kontribusi ke sebagiannya,” imbuh Gracia.

    Gracia menghabiskan 5 jam/hari untuk meneliti di laboratorium, dan dalam sepekan dia bisa 1 atau 2 hari dalam laboratorium. Sisanya, dia mencoba untuk menyeimbangkan kehidupan sosialnya.

    “Saya berusaha balance keduanya. Jadi PhD itu fleksibel ya, kita harus pintar-pintar bagi waktu. Kamu bisa datang kapan saja dan bisa menyeimbangkan waktu. Pergi makan dengan teman, belajar biola buat balance nggak stres karena belajar terus,” kata gadis yang ingin berkarier di industri farmasi ini sambil tersenyum.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here