More

    Bias Overconfidence Martin Suryajaya, Perihal “Menerjemahkan” Puisi ke dalam Kalkulus Predikat

    Oleh Ahmad Yulden Erwin

    Foto: “Bejana Bulan” karya Adam Buick, UK. (SUmber: dam Buick, UK.)

    Membaca satu artikel provokatif dari Martin Suryajaya (meski saya sudah agak terlambat membacanya, karena artikel ini ditulis pada Oktober 2013), yang berjudul “Empat Pertanyaan bagi Sastra” pada situs IndoProgress, membuat saya menyimpulkan bahwa penulis artikel tersebut tidak paham hakikat sebenarnya kalkulus predikat orde pertama atau yang biasa dikenal juga sebagai logika predikat. Cara Martin “menerjemahkan” satu puisi karya Goenawan Mohamad (GM) yang berjudul “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” ke dalam apa yang ia sebut sebagai bahasa “first-order predicate calculus” (padahal bukan), justru membuktikan bahwa ia memang tak paham soal tersebut dan terjebak bias overconfidence. Berikut pembuktian saya terkait hal itu dan cukup dengan satu sintaksis puitik saja:

    “Di beranda ini angin tak kedengaran lagi.”

    - Advertisement -

    Untuk mengubah sintaksis puitik dari larik pertama puisi Goenawan Mohamad itu menjadi proposisi berkuantor kalkulus predikat orde pertama, maka terlebih dahulu harus dilakukan analisis lingustik. Analisis linguistik dimulai dengan mencoba menafsirkan makna sintaksis puitik puisi GM tersebut secara semantik, barulah setelah itu membaginya ke dalam beberapa klausa. Selesai hal tersebut dilakukan dengan benar, maka upaya menerjemahkan sintaksis puitik ke dalam bahasa kalkulus predikat orde pertama barulah dapat dimungkinkan menjadi benar.

    I. Analisis Linguistik

    1. Analisis Semantik

    Dalam analisis linguistik, maksud sintaksis puitik puisi GM itu secara semantik adalah: “Karena angin sudah tak ada di beranda ini, maka suara angin sudah tak terdengar lagi”.

    1. Analisis Sintaksis

    Klausa 1: Angin sudah tak ada di beranda ini.

    Kluasa 2: Suara angin sudah tak terdengar lagi.

    II. Analisis Logika Predikat

    “Karena angin sudah tak ada di beranda ini, maka suara angin sudah tak terdengar lagi.”

    Bila:
    x = angin
    y = suara angin
    ∃ = kuantor eksistensial
    ∀ = kuantor universal
    ~ = negasi (ingkaran)
    ⇒ = implikasi (maka)

    Selanjutnya dua klausa dalam analisis linguistik di atas dapat “diterjemahkan” ke dalam dua proposisi atomik sebagai berikut:

    A(x) = x di beranda ini

    B(y) = y terdengar

    Jadi, proposisi logika predikatnya adalah:

    (∃x) (∀y) [~A(x) ⇒ ~B(y)]

    Atau bila hendak dinarasikan, maka akan ditulis sebagai berikut: “Ada paling sedikit satu x pada semua y, sedemikian sehingga negasi A(x) mengakibatkan negasi B(y) menjadi benar.”

    Tujuan dari logika matematika atau kalkulus predikat atau aljabar Boole adalah untuk membuktikan benar atau salahnya suatu pernyataan deklaratif (proposisi). Benar atau salahnya satu proposisi dalam logika predikat tak ada hubungannya dengan relasi semantik pada kalimat penyusunnya—seperti pada sintaksis bahasa sehari-hari (natural language)—atau sintaksis puitik dalam karya sastra, tetapi hanya bertolak dari struktur sintaksisnya berdasarkan prinsip koherensi yang diuji dengan “tabel kebenaran” atau hukum-hukum logika. Setelah dilakukan pengujian, maka satu proposisi hanya bisa terbukti salah atau benar (tautologi), tidak bisa keduanya benar dan sekaligus salah (kontradiksi).

    Untuk dapat diuji secara logika, maka satu sintaksis sehari-hari atau sintaksis puitik harus diubah terlebih dahulu menjadi sebuah proposisi. Namun, satu sintaksis tak bisa disebut proposisi (bisa dibuktikan benar atau salah), bila masih mengandung variabel. Salah satu cara untuk membuat kalimat yang masih mengandung variabel agar bisa dibuktikan benar atau salah adalah dengan menggunakan kuantor. Kuantor adalah kata-kata atau simbol yang menunjukkan berapa banyak elemen yang dibutuhkan agar satu predikat menjadi benar dalam sebuah proposisi. Kuantor terbagi menjadi dua (hal ini yang menjadi ciri utama dari logika predikat dibandingkan dengan logika proposisional biasa), yaitu: kuantor universal (∀) dan kuantor eksistensial (∃).

    Apakah puisi GM di atas bisa “diterjemahkan” ke dalam bahasa kalkulus predikat orde pertama? Tentu saja bisa, asal kita paham apa yang dimaksud dengan kalkulus predikat orde pertama itu sebagai bagian dari logika matematika—bukannya sekadar mengalihbahasakan unsur-unsur dari struktur sintaksis puitik menjadi bahasa simbolik seperti yang dilakukan oleh Martin Suryajaya di dalam artikelnya itu. Apakah terjemahan puisi ke dalam bahasa kalkulus predikat itu bisa disebut karya sastra? Tentu saja: TIDAK. Kenapa? Karena fungsi sintaksis dalam sastra (puisi) berbeda dengan fungsi sintaksis dalam kalkulus predikat. Sintaksis puitik berfungsi untuk menyampaikan makna dengan media bahasa secara komposisional, yaitu dengan mempertimbangkan aspek pendalaman tema, ketepatan linguistik, lukisan-puitik (stilistika), gita-puitik, dan inovasi. Sedangkan sintaksis dalam kalkulus predikat berfungsi untuk membuktikan benar atau salahnya satu proposisi berdasarkan prinsip koherensi dan terlepas dari relasi semantiknya. Sebuah puisi bila terlepas dari relasi semantiknya, maka tak akan bermakna lagi sebagai puisi, sebagai karya sastra.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here