More

    Apakah Sebuah Puisi yang Indah Selalu Mudah “Dipahami”?

    Roberto Bolano, poet from Chile. (Foto: https://shortstorymagictricks.com/2017/09/11/phone-calls-by-roberto-bolano/)

    Apa yang dimaksud puisi kompleks, puisi sederhana, dan puisi gelap? Di Indonesia, puisi sering dimaknai kompleks atau sederhana terkait soal ekspresi bahasanya. Puisi sederhana cenderung menggunakan kalimat sederhana, parole, diksi sehari-hari atau diksi yang umum digunakan, serta metafora atau simbol sederhana. Sedangkan puisi kompleks cenderung menggunakan kalimat luas atau permainan sintaksis, abstraksi atau pemadatan makna, diksi-diksi khusus, serta metafora dan atau simbol yang kompleks. Sebenarnya, kedua ekspresi bahasa itu bukanlah ukuran dari estetik atau tidak estetiknya satu puisi yang bernilai sastra, tetapi tergantung pada kemampuan penyair untuk membangun komposisi puitik (ketepatan linguistik, kedalaman tematik, gita-puitik, lukisan-puitik, serta inovasi puitik) secara tepat, sehingga puisi itu menjadi indah secara estetika dan bermakna.

    Puisi dengan ekspresi bahasa yang sederhana, seperti pada sebagian besar puisi karya Matsuo Basho, Walt Whitman, Carl Sandburg, Du Fu, Kotaro Takamura, Jalaluddin Rumi, Sa’di, Kabir, Robert Frost, Wislawa Szymborksa, Mahmod Darwis, Vasko Popa, Milan Djordjevic, Allen Ginsberg, Gary Snyder, Sitor Situmorang, Rendra, hingga Joko Pinurbo. Puisi-puisi mereka mampu membangun komposisi puitik, sehingga bisa disebut sebagai puisi-puisi sederhana yang indah secara estetika dan bermakna.

    Sebaliknya, puisi dengan ekspresi bahasa yang kompleks, seperti pada sebagian besar puisi karya Pablo Neruda, Ezra Pound, T. S Eliot, Wallace Stevens, Sinkichi Takahashi, Bei Dao, Omar Khayam, Hafiz, Jami, Octavio Paz, Derek Walcott, Mario Santiago Papasquiaro, William Shakespeare, Arthur Rimbaud, Baudelaire, Apollinaire, Stephane Mallarme, E. E. Cummings, Tomas Transtromer, Hamzah Fanzuri, Chairil Anwar, hingga Goenawan Mohamad. Puisi-puisi kompleks mereka mampu membangun komposisi puitik, sehingga bisa disebut sebagai puisi-puisi kompleks yang indah secara estetika dan bermakna.

    - Advertisement -

    Sedangkan “puisi gelap”, bagi saya, adalah puisi yang tak mampu membangun komposisi puitik–baik menggunakan ekspresi bahasa sederhana maupun kompleks–dengan tepat, sehingga gagal secara estetika dan pembaca teks puisi itu (diasumsikan sebagai pembaca puisi yang terlatih) tak mampu “menduga” makna puisinya. Kenapa saya katakan “menduga makna”, bukan “memahami makna”? Karena makna di dalam puisi bukanlah sebuah hipotesis yang bisa dibuktikan benar atau salahnya, sedemikan sehingga hanya bisa dipahami dalam konteks logika tautologis monistik. Kebermaknaan sebuah puisi adalah kebermaknaan yang plural, seperti sebuah logika fuzzy. Subjek pemberi makna bisa berputar di sebuah “nilai” aksiologis atau epistemologis atau antologis tertentu dengan menggunakan pendekatan logika fuzzy, namun pemahaman kita, interpretasi kita, tidak bisa identik dengan “nilai” itu secara rigorus.

    Hans-Georg Gadamer, filsuf hermeneutika dari Jerman menolak pandangan bahwa tujuan dari kerja menafsir suatu teks–apalagi teks humaniora–adalah untuk meraih kebenaran objektif dari teks itu. Sebaliknya ia hendak menunjukkan bahwa makna suatu teks diciptakan melalui “komunikasi intersubjektif” antara teks, pengarang, dan pembaca.Jadi, interpretasi sebuah teks sastra bukanlah sebuah interpretasi proposisi logika monistik, di mana sebuah proposisi hanya bisa dimaknai secara tunggal (p v -p, hanya salah satu yang benar, tautologis), dan tak membuka ruang bagi penafsiran yang berbeda (p Λ -p, keduanya benar, kontradiksi).

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here