More

    Ironi Pendidikan Inklusi di Perguruan Tinggi

    Penulis: Dadan Rizwan Fauzi*

    Ilustrasi / sumber : tolerance.org

    Akhir-akir ini kasus akibat kekerasan di sekolah makin sering ditemui baik melalui informasi di media cetak, media sosial, maupun layar televisi. Selain tawuran antar pelajar, sebenarnya ada bentuk-bentuk perilaku agresif atau kekerasan yang mungkin sudah lama terjadi di lingkungan pendidikan. Namun tidak mendapat perhatian, bahkan mungkin tidak dianggap sesuatu hal yang serius.

    Misalnya bentuk intimidasi, pemalakan, pengucilan diri dari temanya, sehingga anak jadi malas pergi ke sekolah karena merasa terancam dan takut, bahkan bisa menjadi depresi tahap ringan yang dapat mempengaruhi semangat belajar anak di ruang kelas

    - Advertisement -

    Sebagaimana diketahui, baru-baru ini dunia pendidikan kita digemparkan dengan dua video singkat yang viral di dunia maya. Salah satunya video aksi bullying di dalam kampus Universitas Gunadarma, Depok.

    Dalam video berdurasi 15 detik yang diunggah oleh akun instagram @thenewbikingregetan, terlihat seorang mahasiswa manarik-narik tas seorang mahasiswa yang sedang berjalan. Sementara mahasiswa lainnya mencoba mengganggu dari depan. Parahnya lagi mahasiswa lainnya, hanya bisa menonton dan tertawa. Padahal korban merupakan mahasiswa kebutuhan khusus.

    Adanya isu ini di dalam masyarakat, semakin membuka mata masyarakat betapa masih dianggap tabunya disabilitas itu sendiri. Disabilitas dianggap sebagai suatu bentuk ketidakmampuan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, karena keterbatasan fisik, mental maupun keduanya.

    Anggapan ini telah menimbulkan berbagai pemahaman yang tak lagi bisa disebut relevan. Bahwa setiap orang dengan suatu keadaan disabilitas hanya membutuhkan adanya sarana prasana guna menunjang kebutuhan fisik secara khusus. Padahal pemahaman itu juga seharusnya dibarengi dengan adanya pengertian bahwa justru yang dibutuhkan adalah penyetaraan sosial serta “perlakuan” yang sama.

    Penyandang Disabilitas Belum Mendapatkan Perlakukan Secara Layak

    Jika kita amati lebih lanjut, adanya isu mengenai keadilan bagi penyandang disabilitas di zaman kemajuan teknologi sekarang ini, telah memasuki suatu fase yang ironis. Justru yang terjadi semakin menggerus ke dalam suatu bentuk dimensi kedisabilitasan secara sosial. Kedisabilitasan sosial yang dimaksudkan di sini bukan menyorot mengenai semakin berkurangnya tingkat kepekaan masyarakat terhadap isu sosial di sekitar mereka, melainkan pemahaman terhadap kepedulian terhadap disabilitas mengarah kepada jurang pembeda yang nantinya muncul diantara kepedulian tersebut.

    Konsep serta pemahaman dasar inilah yang selayaknya perlu diubah untuk memperbarui sistem yang telah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat. Tujuannya tak lain adalah untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang berbasis keadilan, kesetaraan, dan tidak lagi memandang adanya pengucilan “perlakuan” dalam suatu taraf pengertian dan pemahaman sosial.

    Hal ini juga sepatutnya dilihat pada segi atau bagian mana seorang penyandang disabilitas memang perlu diberikan bantuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan penyataraan sebagai seorang warga negara dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kehidupan masyarakat luas, dunia pendidikan bagi masyarakat disabilitas baru sebatas SLB (Sekolah Luar Biasa) yang selama ini pun telah dikategorikan menurut kemampuan mereka.

    Tiap-tiap dari mereka pada tahap itu sebenarnya menempuh pendidikan tersebut sebagaimana orang-orang non-difabel pada umunya. Namun untuk para penyandang disabilitas masih kesulitan apabila mereka ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi lagi.

    Hal ini dikarenakan, masih banyaknya perguruan tinggi meskipun tidak semua selalu berpikir ulang untuk mengambil tanggung jawab sebagai institusi pendidikan yang bersedia menyediakan tempat bagi para difabel. Mereka berdalih tidak memiliki sarana prasana yang mampu untuk menunjang kebutuhan para difabel. Padahal kalau kita melihat undang-undang Republik Indonesia no 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (bab 3 pasal 10 bagian a) dijelaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan disemua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus. Bahkan lebih luas lagi dalam pasal 17 ditegaskan bahwa setiap penyelenggara pendidikan tinggi wajib memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas.

    Pendidikan Inklusif harus di Laksanakan

    Fenomena perilaku bullying (perundungan) yang banyak terjadi dalam lingkungan pendidikan ibarat gunung es yang tampak kecil di permukaan, namun menyimpan banyak masalah. Bahkan hal ini tidak mudah untuk diketahui atau disadari oleh pendidik, orang tua, masyarakat, ataupun pemerintah. Padahal dampak dari perilaku bullying baik sebagai korban maupun pelaku dapat mempengaruhi perkembangan anak ataupun remaja dalam jangka pendek dan jangka panjang, bahkan bisa berlanjut sampai dewasa.

    Namun faktanya, untuk mengubah suatu pemahaman yang sudah mendarah daging di dalam kehidupan masyarakat tidaklah mudah. Seperti yang telah kita ketahui bersama, sebenarnya sudah lama pemerintah mengupayakan dan membantu penyandang disabilitas dalam kaitannya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka seperti halnya yang diatur dalam UU No 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

    Dalam undang-undang tersebut, diatur secara terperinci mengenai hak-hak apa saja yang seharusnya penyandang disabilitas terima, kebijakan serta usaha apa saja yang harus dilakukan oleh pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup mereka hingga menyangkut tindak pidana apa saja yang akan dijatuhkan bagi mereka yang melanggar dan tidak memperlakukan penyandang disabilitas dengan layak. Bahkan dalam undang-undang tersebut juga telah diatur bagaimana semua instansi atau lembaga-lembaga harus mempekerjakan para penyandang disabilitas secara adil dan setara dengan pekerja non-difabel lainnya.

    Itu artinya dalam undang-undang sebenarnya aturan mengenai “Penghormatan, pemajuan, Perlindungan, dan Pemenuhan hak asasi manusia serta kebebasan dasar Penyandang Disabilitas secara penuh dan setara” sudah diatur secara terperinci dan lengkap. Namun permasalahannya adalah pasal-pasal dalam undang-undang ini belum dilaksanakan secara benar dan tegas oleh seluruh elemen masyarakat khususnya lembaga pemerintah dan lembaga pendidikan.

    Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat luas khususnya orang tua seyogyanya haruslah mampu bergotong royong membentuk suatu sinergitas untuk merubah secara perlahan-lahan paradigma negatif mengenai penyandang disabilitas yang selama ini telah tercipta. Pendekatan tidak lagi dilakukan hanya satu arah yakni hanya dengan mengarahkan, melatih seta memberi semangat kepada para penyandang disabilitas semata yang bersifat teoritis dan hanya menjadi peraturan yang tercantum dalam undang-undang. Namun lebih dari pada itu, pemerintah dan lembaga pendidikan harus mampu memaksimalkan perannya untuk menciptakan kesetaraan dan kesejahteraan nyata melalui pembentukan unit layanan disabilitas serta melaksanaan kurikulum pendidikan inklusif disemua tingkat pendidikan.[]

    *Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan UPI / Ketua BEM Himpunan Mahasiswa Civics Hukum 2015/2016

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here