More

    Menanding Wabah, Menyanding Sejarah

    Oleh : Praja Firdaus Nuryananda

    Ilustrasi /freepik

    Sebagai produk dari gemblengan ilmu-ilmu sosial politik, khususnya dari disiplin Hubungan Internasional, tentu saya diajarkan tentang beberapa perspektif atau macro-theories sosial politik, seperti realisme, liberalisme, marxisme, dan konstruktivisme, serta perspektif reflektif lainnya. Singkatnya, perspektif-perspektif tersebut secara substansial berisi penjelasan-penjelasan yang mengasosiasikan negara (nation-states) sebagai cerminan dari manusia. Jika manusia berpikir dan bertindak secara rasional, maka hal itu pula yang dijelaskan oleh perspektif-perspektif tersebut. Begitu juga jika manusia berpikir dan bertindak secara emosional, maka negara pun ternyata bisa bertindak secara emosional.

    Dari perspektif realisme kita mengenal mekanisme pertahanan hidup yang sangat berorientasi kepada diri sendiri, yakni state – survival – self-help. Singkatnya, jika ingin mempertahankan kehidupan, maka harus mengamankan diri sendiri. Keselamatan diri adalah yang paling utama. Perspektif liberalisme, yang berkebalikan dengan sebelumnya, memiliki postulat yang lebih kooperatif. Alih-alih mengamankan diri sendiri dan bersikap ­self-centered, liberalisme percaya bahwa segala permasalahan bisa ditangani dengan kerjasama dan sikap kooperatif. Seperti pemahaman konvensional dari disiplin lain, Marxisme adalah paham yang selalu mengedepankan konflik antar kelas. Konflik adalah hal yang mustahil dihilangkan ketika kelas-kelas sosial ekonomi masih ada di masyarakat, baik kelas sosial ekonomi antar negara atau antar manusia. Perspektif terakhir di artikel ini, yakni konstruktivisme. Perspektif ini percaya bahwa banyak sebenarnya adalah “buatan” dari negara atau manusia itu sendiri berdasarkan kepentingan mereka, dan seringkali hal ini berujung pada bias sosial ekonomi dan politik. Mungkin saja masalah-masalah yang ada sebenarnya adalah hasil dari konstruksi politik sebuah golongan masyarakat, misalnya saja isu terorisme internasional yang memiliki pemahaman bersayap (memiliki dualitas pemahaman). Konstruktivisme adalah perspektif yang lebih menyediakan bahan diskusi mengenai epistemologi perspektif-perspektif sebelumnya. Nah, sampai di sini mari melompat untuk membahas virus SARS-CoV-2 atau penyakit COVID-19 yang sedang menyengsarakan dunia.

    - Advertisement -

    Wabah COVID-19 ini memang telah meluluhlantakkan peradaban manusia. Tidak ada sistem kesehatan nasional negara manapun yang siap dihantam oleh wabah ini sebagaimana ditunjukkan oleh gambar di bawah ini :

    Gambar 1. Data kasus COVID-19 di beberapa negara maju per 31 Maret 2020, 10:40 WIB. (sumber: https://www.worldometers.info/coronavirus

    Wabah ini tidak mengenal status ekonomi sosial sebuah negara, baik negara maju maupun berkembang. Negara seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, Italia dan Spanyol yang dipercaya memiliki kapasitas kesehatan lebih baik daripada Indonesia juga babak belur. Indonesia sendiri telah memiliki 1414 kasus dengan 122 kematian. Mulai menyeruak pula narasi akan kegagalan globalisasi dan kapitalisme yang lalu diiringi dengan munculnya eskapisme klasik sebagai contender kapitalisme, yakni sosialisme.

    Kecepatan persebaran virus ternyata juga berhasil mengalahkan kesigapan WHO dalam penanggulangan wabah COVID-19 ini. Banyak sekali yang dihancurkan oleh wabah ini, terutama di negara berkembang, seperti Indonesia. Harga saham, perusahaan-perusahaaan, kepercayaan investor, kepercayaan politik, keseharian bisnis warga, interaksi fisik dan sosial sesama manusia, dan bahkan kemanusiaan itu sendiri mulai lemah menghadapi wabah ini. Kita juga menyaksikan bagaimana pemuda-pemuda di Italia dan Amerika Serikat bersikap tak acuh terhadap virus ini pada awalnya, hingga akhirnya berujung pada angka kematian yang melebini episentrum pandemi awal di Tiongkok. Banyak kalangan juga, bahkan di luar negeri, masih tetap melakukan pertemuan fisik dengan mengadakan perkumpulan berbanyak orang.

    Tapi, diantara kekalahan-kekalahan yang muncul, banyak juga manusia yang mampu memenangkan pertarungan ini dan memberikan respon positif, selayaknya pejuang yang mewarisi semangat perjuangan Indonesia. Kita bisa lihat bagaimana inisiatif-inisiatif untuk penggalangan dana dan alat kesehatan, kohesi sosial yang lebih menguat daripada sebelumnya, teriakan dan nyanyian yang saling menyemangati antar warga yang dikarantina wilayah, serta banyak kebaikan-kebaikan lainnya yang telah dimunculkan oleh manusia. Manusia di berbagai belahan dunia juga menyaksikan purifikasi alam yang terjadi di Italia dan beberapa negara maju. Common enemy, atau musuh bersama, seringkali dipercaya sebagai penguat solidaritas manusia. Mungkin nomenklatur ini tercermin pada masa sekarang ini.

    Izinkan saya untuk kembali ke perspektif-perspektif yang saya pelajari. Sesuai dengan perspektif realisme, negara-negara saat ini sedang membangun masing-masing bentengnya.

    Menyelamatkan diri sendiri adalah kunci untuk bisa menyelamatkan semuanya.

    Bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa mengunci diri adalah resep obat untuk segala macam penyakit, tapi dari wabah ini kita bisa belajar bahwa secara alami negara memang bersifat seperti itu, ­orientiasinya adalah diri sendiri. Ini yang kurang lebih dimaksud oleh Thomas Hobbes sebagai “Leviathan”. Sedangkan manusia, kita rasakan sekarang ini lebih mencerminkan perspektif liberalisme. Kooperasi dan kerjasama adalah bentuk mekanisme diri manusia untuk melindungi “manusia” dalam diri mereka. Walau terbatas ruang dan jarak, adanya teknologi lebih bisa membantu manusia untuk menjangkau “kemanusiaan” yang mereka perjuangkan. Fakta bahwa wabah ini menyerang tanpa mengenal stratifikasi sosial, seharusnya bisa menumbuhkan kesadaran bahwa usaha negara-negara mengentaskan kemiskinan atau menyejahterakan warganya terbukti masih rapuh. Hal yang paling menonjol saat ini adalah intervensi negara dalam menyediakan kebutuhan warganya pada masa karantina. Negara memang hadir, tapi ini sekaligus menjadi cerminan bahwa masyarakat masih belum memiliki ketahanan yang solid, belum bisa hidup dengan mandiri. Oleh karenanya, wacana yang muncul sekarang ini adalah “masyarakat yang disiplin”. Maka sebenarnya dari sudut yang lebih luas, kesalahan interpretasi akan “darurat sipil” dan “darurat militer” adalah hal yang lumrah, atau kesalahan yang termaklumkan. Kondisi muncul karena begitulah salah satu sifat alami “negara”, mendisiplinkan.

    Lalu, selanjutnya apa?

    Sejarah menyebutkan, manusia akan tetap pergi berkeliling dunia. Bahkan mungkin lebih sering ketimbang sekarang. Bagi mereka yang menjadi penyintas wabah ini mungkin akan menganggap bahwa dunia telah menemukan bentuk penanganan terbaiknya terhadap wabah yang menyengsarakan dunia. Jadi, mereka akan lebih siap dan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan jika suatu saat pandemi terjadi lagi. Mereka juga akan masih mempercayai negara. Sebenarnya mungkin bukan karena negara mampu memainkan perannya dengan sempurna, tapi karena manusia masih belum mampu mewujudkan manifestasi institusi politik lain selain negara. Masyarakat komunal yang mandiri akan semakin banyak, tapi masih belum cukup untuk menggantikan mayoritas populasi yang tidak berani untuk berubah secara radikal.

    Manusia harus mulai berpikir retrospektif. Pertama, setiap wabah yang menyengsarakan dunia, maka selalu akan ada kebangkitan-kebangkitan setelahnya. Indonesia dan banyak negara harus ingat bahwa sejarah setelah wabah adalah kisah-kisah tentang kebangkitan. Dulu ketika badai tsunami menerjang Aceh, muncul kebangkitan maskapai Susi Air yang kemudian menjadi alternatif penerbangan jalur ekstrem yang susah dijangkau pesawat terbang konvensional. Krisis 1998 adalah titik balik bisnis properti yang dipelopori oleh Ir. Ciputra. Berakhirnya wabah SARS juga memberi jalur pada bangkitnya JD.com dan Alibaba. Serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki bukan penghenti Jepang untuk terus berinovasi, yang pada periode 1970-an produk otomotif Jepang bangkit dan mengalahkan banyak produk otomotif Eropa dan Amerika. Maka, sektor jasa, nanoteknologi, sumber energy terbarukan, dan mungkin juga artificial intelligence (kecerdasan buatan) akan semakin cepat dipacu dan mungkin menjadi fitur utama dari kebangkitan manusia melawan pandemi.

    Kedua, kisah-kisah kebangkitan tersebut selalu berkaitan dengan inovasi dan teknologi yang lebih canggih. Setelah ini digital start-up akan semakin diminati dan akan semakin menggeser model-model bisnis konvensional lama. Bahkan, digitalisasi akan semakin masif tidak hanya dilakukan oleh sektor privat/swasta, tapi juga pemerintahan. Akan muncul semacam urgensi bahwa digitalisasi menjadi salah satu alternatif solusi komunikasi yang selama ini masih menjadi kendala di banyak negara berkembang. Maka, setelah penetrasi internet yang semakin meninggi, masyarakat perlu diedukasi dengan literasi digital. Mungkin kita perlu sedikit menengok ke Tiongkok untuk belajar bagaimana mereka menggunakan gawai dan teknologinya untuk mencegah persebaran virus SARS-CoV-2 yang menyengsarakan tersebut. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah akan semaking memacu integrasi sistem informasi dan teknologi mereka. Kondisi ini didukung dengan populasi yang setelah ini akan semakin didominasi oleh digital natives. Aplikasi digital kesehatan mungkin akan menjadi salah satu aset bagi yang sudah memilikinya sekarang. Begitu pula dengan aplikasi digital yang berkutat di dunia pendidikan dan sosial-telekomunikasi. Banyak orang akan menjadikan “karantina” sebagai default model kehidupan pribadi yang harus dimiliki jika ingin selamat.

    Ketiga, warga dunia akan mulai mengubah pola hidup dan mungkin pola interaksi mereka. Definisi “jarak” akan menjadi semakin luwes. Jarak sekarang bisa dimaknai sebagai langkah preventif dari kekacauan atau langkah kuratif untuk menjaga kewarasan. Dunia nantinya akan semakin memiliki jurang jarak yang lebih jauh. Tapi bukan antara si kaya dan si miskin atau antara si punya dan si tidak punya, melainkan antara yang beradab dan tidak beradap. Lebih parahnya, mungkin klaim keberadaban akan dibentuk melalui kapitalisasi material dan kekuasaan, yang tak lain adalah gaungan klasik pertentangan antara si kaya dan si miskin. Arah ini, mungkin adalah sebuah prediksi manis sekaligus pahit untuk manusia, menegaskan bahwa kapitalisme tidak akan terkubur begitu saja setelah wabah. Wabah memang menjadi semacam alarm bagi kehidupan manusia, tapi manusia akan merespon dengan cara melakukan inovasi dalam sistem kesehatan global atau nasional. Sistem ini tidak akan lepas dari kapasitas negara atau masyarakat internasional dalam memberikan terobosan-terobosan mutakhir, yang dipandang lebih canggih daripada sekarang. Tapi jangan lupa, jika kita memilih solusi dengan cara peningkatan sistem kesehatan global dan nasional, maka itu semua butuh modal. Modal tentu akan dicari dari pergerakan ekonomi. Kapitalisme tetap akan menjadi rekan paling setia jika dunia sudah bergerak menuju 1) pertumbuhan, 2) teknologi, 3) inovasi, dan 4) kapasitas. Maka mungkin dunia akan semakin meninggalkan “kearifan lokal” dan keilmuan yang tak kasat sains. Jika sains adalah kesepakatan manusia, maka ketakutan bahwa sains hanyalah kesepakatan manusia yang beradab saja, mungkin masih tetap akan ada. Maka besok, setelah wabah, manusia yang didengar adalah manusia beradab dengan afeksi global (ketimbang afeksi lokal/nasional).

    Keempat, mungkin kesadaran global akan perubahan iklim semakin meningkat. Tapi, kemampuan untuk menuju ke kesadaran ini yang masih akan sulit dilakukan oleh semua negara. Negara dengan kapasitas besar tentu tidak akan kesulitan melakukan perubahan yang linier dengan kesadaran global akan perubahan iklim. Namun, negara-negara berkembang masih akan kesulitan meningkatkan kapabilitas mereka, walau sebenarnya memiliki kapasitas. Maka, keberpihakan akan menjadi penting ke depan. Manusia dengan keberpihakan akan lebih dianggap waras ketimbang mereka mereka yang hanya melakukan rutinitas dan tidak tahu harus berpihak pada siapa. Ketidaktahuan akan pihak ini yang sebenarnya membuat manusia sekarang ini juga enggan berpihak pada alam. Negara berkembang bisa melakukan alternatif keberpihakan pada alam untuk menjaga linieritas kesadaran global akan perubahan iklim. Hanya saja, negara berkembang perlu melepaskan diri dari belenggu standardisasi keberadaban seperti negara-negara maju lainnya. Atau memang, maju dan berkembang merupakan konsep yang perlu diredefinisikan lagi.

    Kelima dan terakhir, permainan populasi masih akan menjadi kunci dalam pergerakan peradaban ke depan. Amerika Serikat, India, Tiongkok, Indonesia, dan Brazil masih akan terus berlari dengan kecepatannya sendiri-sendiri. Masing-masing negara ini masih akan menikmati kemajuan negara mereka karena surplus populasi yang mereka miliki. Namun jika manajemen yang mereka jalankan gagal, maka tidak mungkin negara dengan populasi besar lainnya berjalan mendahului, seperti Jepang, Pakistan, Rusia, dan Nigeria. Setelah Amerika Serikat melaju kencang dengan perusahaan multinasional mereka, India dan Tiongkok dengan diaspora mereka, maka Indonesia dan Brazil harus menemukan “pedal gas” mereka untuk melaju lebih kencang. Tiongkok adalah aktor yang menarik untuk diamati. Saat ini dia dikenal dengan titik awal penyebaran wabah COVID-19, tapi berhasil keluar dari pandemi, bahkan mengirim tenaga medisnya ke negara lain, dan mungkin akan menjadi negara pertama yang berhasil menemukan serta menguji vaksin dari virus tersebut, maka Tiongkok akan menyedot perhatian dunia. Google pun sudah mulai mengalihkan perhatian ke Tiongkok bahkan sebelum pandemi menyerang.

    COVID-19 jelas merupakan sebuah katastropi. Tapi manusia dan dunia tidak akan berhenti.

    Penulis adalah anggota GSC Surabaya dan peneliti di Center for Glocalization Studies (CGaS)

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here