More

    Feminisme: Rekonstruksi Peran Gender dari Tradisional ke Modern

    Oleh: Andrezal*

    Gerakan Feminisme sebagai kesadaran baru atas pentingnya dialog gender di era saat ini. (Ilustrasi: ist)

    Di zaman yang sangat jauh ke belakang, saat manusia masih belum mengenal rumah minimalis, lengkap dengan toilet per kamarnya. Atau katakanlah kehidupan modern yang sangat kompleks sampai pada persoalan individu. Di kala itu, manusia mungkin belum memikirkan pentingnya dialog gender antara perempuan dan pria. Peran yang ada masih alami menyesuaikan dengan keadaan. 

    Saat pengetahuan manusia masih terbatas, mungkin juga belum mengenal tulisan, pembagian peran masih sederhana, “perempuan menjaga kehidupan dan pria membunuh kehidupan” begitulah tuntutan zamannya. Perempuan bertugas merawat anak dalam komunitasnya dan pria pergi berburu mengeliminasi hewan dan tumbuhan lain untuk mempertahankan hidup kelompoknya. 

    - Advertisement -

    Ini berdasarkan pada patokan biologis, kulit perempuan lebih halus (tanpa melakukan berbagai perawatan di zaman ini) untuk merawat kehidupan baru, berbeda dengan kulit pria yang lebih kasar, lebih cocok untuk dunia luar yang liar, dunia perburuan yang berbahaya. Ini hannyalah salah satu dari banyaknya faktor biologis berpengaruh. 

    Dari sinilah kiranya konstruksi sosial mengenai wanita dan perannya yang feminin lalu pria beserta perannya yang maskulin terbentuk. Pada zaman itu, pembagian peran yang demikian adalah hal yang rasional. Dengan cara itu pula, di masa lalu, spesies manusia bisa bertahan. 

    Lalu zaman terus berkembang, berbagai penemuan terjadi, sektor teknologi dan informasi menyumbang peran besar dalam peradaban manusia. Hubungan antara manusia dan teknologi tidak bisa lagi terpisahkan, mereka telah bersinergi. Pembagian peran sesuai konstruksi masa lalu yang dipengaruhi faktor biologis tidak lagi menjadi hambatan. 

    Maka lahirlah Feminisme sebagai produk pemikiran baru lewat kesadaran perempuan bahwa pembagian peran di masa lalu tidak lagi relevan dengan keadaan saat ini. Mirisnya, jika tidak dilihat secara mendalam, masyarakat tradisional akan dinilai mendiskriminasi perempuan, padahal mereka masih menggunakan konstruksi gender masa lalu, bukan pemahaman yang baru muncul tersebut. 

    Selayaknya barang baru, kesadaran ini mendapat dukungan besar dan dibicarakan secara luas oleh masyarakat modern. Perempuan mendapat kesempatan untuk menolak dominasi pria atas hidup mereka. Tentu ini tidak terlepas dari pro dan kontra. Saya mencoba mengklasifikasikan feminisme ke dalam dua pembagian yang saya lihat secara umum. 

    Pertama, feminisme awam, yaitu mereka yang mengedepankan gejolak dari kebebasan dan pemberontakan terhadap konstruksi lama lewat cara ekstrem. Bahkan sampai menganggap mereka tidak butuh pria, mereka kurang rasional. Kedua, feminisme sejati, mereka adalah para pejuang kesetaraan yang mengedepankan dialog peran perempuan dan pria yang lebih rasional di era masyarakat modern. 

    Saat momentum rekonstruksi peran ini tidak mengedepankan rasionalitas. Itu menjadi sebuah ironi, upaya perempuan untuk bebas malah mendorong mereka berperilaku seperti pria dalam mengejar kesetaraan. Perempuan masih tidak bisa terlepas dari bayang-bayang patriarki jika terus demikian. 

    Pembagian peran yang masih dalam tahap peralihan dari konstruksi tradisional ke konstruksi modern, menimbulkan ranah pertempuran antara perempuan dan laki-laki mengenai peran mereka. Ini adalah hal yang baik, idealnya pertentangan itu akan melahirkan kesepakatan atau konstruksi baru yang lebih seimbang (sebuah proses dialektis). 

    Pembaharuan tidak boleh hanya berorientasi pada pihak yang akan disalahkan, titik fokus harus menyorot pada kesepahaman kedua gender dalam kesetaraan dan keadilan peran dalam masyarakat modern yang rasionalis. 

    Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah kesetaraan gender bukan berarti menjadikan perempuan seperti laki-laki. Ada hal biologis mengenai perempuan yang perlu diperlakukan secara adil. Yaitu saat menstruasi dan juga masa kehamilan serta sesudah kehamilan. Perempuan perlu mendapatkan hak khusus untuk kondisi biologis tersebut. Realisasi kebijakan mengenai itu perlu dipertanyakan, apakah tempat kerja telah menyediakan layanan yang perempuan butuh atau belum? Sebelum itu semua terwujud komitmen tentang kesetaraan hanya bersifat normatif di level sektoral. 

    Dalam hal pembangunan misalnya, pembaharuan kesadaran mengenai keutamaan dialog antara dua gender begitu penting. Di Indonesia, saat populasi perempuan dan pria hampir setara yaitu perempuan 49,42% dan pria 50,58%. Diskriminasi terhadap peran perempuan akan menimbulkan ruang kosong yang sangat besar. Ini akan memperlambat proses pembangunan dan juga konstruksi masa lalu yang sudah tidak relevan itu, mulai membatasi kemampuan perempuan untuk mengembangkan potensi mereka. 

    Kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan akan membuat peran perempuan dan pria menjadi maksimal. Sudah saatnya perempuan diberikan kesempatan lebih untuk berkontribusi sesuai tuntutan zaman. Salah satu penjara dalam hidup menurut Ali Shariati yang merupakan tokoh revolusioner Iran itu ialah “penjara sejarah”. Masyarakat harus mampu keluar dari penjara tersebut untuk menciptakan lompatan besar dalam kehidupannya. 

    Namun mengubah konstruksi sosial yang sudah tertanam dari masa lalu, membutuhkan proses yang lama. Perkembangannya tidak akan secepat kemajuan teknologi yang tidak terpenjara oleh sejarah. Perlu kesabaran untuk perjuangan panjang tentang kesetaraan dan keadilan gender. 

    Suatu saat, di masa yang sudah jauh ke depan, setelah generasi bertukar dan pengetahuan ini tidak lagi dianggap sebagai sebuah produk baru. Saat feminisme sudah menyentuh generasi saat itu secara menyeluruh. Penyesuaian peran perempuan dan pria akan berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan kebutuhan zaman. Sejarah tidak akan bisa menolak perkembangan yang rasional. Jika pemikiran mengenai kesetaraan dan keadilan gender ini adalah suatu hal yang rasional. Maka dia akan menjadi masa depan kita bersama. Rekonstruksi peran gender yang baru menunggu kita, karena itu perjuangan tidak boleh berhenti hanya pada tahap kritik, dia harus diterapkan sebagai sebuah solusi bersama. 

    *Penulis adalah Mahasiswa HI, FISIP, Unand.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here