More

    Fenomena Angka Kembar, Antara Unik atau Mistik

    Ahmad Tamimi*

    Ahmad Tamimi

    Deretan angka (huruf) kembar telah menjadi fenomena magnet dan menarik untuk dibicarakan. Angka cantik yang terdapat pada deretan tanggal, bulan, tahun dan jam sangat menjadi incaran dalam kurun waktu satu tahun. Menurut sumber berita lampung, kasus pernikahan tanggal 10 bulan 10 tahun 2010 jam 10 membuat penghulu bingung. Pasalnya, semua pasangan tersebut semuanya memesan pada waktu yang sama, yaitu pukul 10.00 Wib. Menurut KUA setempat, ada sekitar 16 pasang yang memesan pada jam yang sama. Namun, hanya tiga pasang yang dinikahi tepat waktu. Dan jumlah pernikahan pun pekan itu meningkat dua kali lipat dari biasa.

    Pada kasus lain dapat kita amati, di restoran, hotel, gedung-gedung penuh berisi karena sejak jauh-jauh hari sudah dibooking. Bahkan lebih aneh lagi, demi mengincar angka kembar bayi yang belum ditakdirkan keluar dipaksa keluar lewat bedah cesar. Walaupun memenuhi syarat secara medis, tetapi tetap sulit diterima oleh akal sehat. Mungkin bila dicermati lebih jauh mungkin banyak lagi aktivitas lain yang mengincar waktu yang dipandang istimewa itu, terlebih pada tahun 2011 ini berbagai rencana dan persiapan pun telah dilakukan.

    Lalu, apa sesungguhnya yang menjadi nilai lebih dari deretan angka tersebut, dan apakah hal ini termasuk unik atau mistik?

    - Advertisement -

    Masyarakat kita termasuk masyarakat yang sangat bersahabat dengan hal-hal yang berbaur mitos, sakralis dan mistik. Sebab, dahulu keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat mereka cendrung menjadikan alam dan fenomenanya sebagai subjek. Sehingga hampir setiap peristiwa unik menurutnya ada tersimpan mistik, dan itu dipandang berfungsi sebagai tali pengikat dan memberi arah hidup. Walaupun agama sangat menghargai akal kritis, sebahagian mereka tetap saja menjadikan itu sebagai penggerak ritual, guna melakukan sakralisasi membangun makna atas tindakan yang bersifat profan.

    Jadi, Persoalan angka ini, merupakan pecahan sekaligun warisan budaya zaman dahulu yang masih merekam kedalam pola pikir dan pola laku yang menjelma kedalam gaya hidup manusia modern. Sehingga angka dalam bentuk deretan tertentu dipandang memberikan sensasi. Angka tersebut pun ditafsirkan bermacam-macam.

    Ada yang menganggap angka yang serasi itu loebih akomodatif terhadap ruang imajinasi. Ada pula yang memandang punya nilai mistik. Perhatikan saja ketika 17 Ramadhan bertepatan pada 17 Agustus berada dalam ruang yang sama, mereka pun memolesnya dengan mengaitkan sebuah keajaiban. Mungkin saja ini kebetulan, dan tanpa makna. Atau boleh jadi Cuma tiruan dengan dalih yang disesuaikan. Seperti halnya angka 99 yang merupakan sifat-sifat Tuhan. Kemudian, bagi orang Cina banyak menyukai angka 9 yang katanya membawa Hoki.

    Pada kasus yang lain, masih terkesan pula dipikiran penulis ketika muncul isu kiamat terjadi pada angka serba 9. Tanggal 9, bulan 9, tahun 1999, jam 9, 9 menit dan 9 detik. Ketika itu suasana kehidupan masyarakat di kampung (kampung penulis) menjadi gundah, karena secara psikologis tertekan oleh kabar tak sedap. Suasana tanpa aktivitas, masing-masing keluarga berkumpul menunggu waktu. Namun, ada pula yang memperbanyak makan lantaran sebentar lagi hidup akan berakhir. Pokoknya hari itu sangat mencemaskan.

    Dari kesemuanya ini, menurut penulis, kita boeh saja memandang angka adalah sesuatu yang hoki, punya keramat mengandung unsur tuah atau barangkali hanya sekedar dipandang unik. Tapi setidaknya perlu dicermati secara akan sehat. Walaupun bagi pihak yang berpikir hanya sekedar alasan lebih akomodatif bagi imajinas, atau sekedar menanda peristiwa bersejarah dalam hidup. Tapi tidaklah harus berlebihan apalagi dapat membawa dampak negative di ruang sosial.

    Terlebih bagi kelompok yang memandang angka dapat mengandung nilai mistik. Maka, perlu direnungkan kembali apakah tidak melanggar prinsif tauhid yang sangat akrab dengan hati nurani. Karena pola keyakinan terhadap adanya mistik, terlebih bila direspon secara berlebihan akan dapat membawa kepada sikap syirik.

    Konsekuensi syirik jenis ini jelas melahirkan perbudakan, kebodohan yang senantiasa mengungkung nurani dan pikiran.

    Bukankah turunnya agama tauhid tujuannya adalah untuk pembebasan dari belenggu-belenggu taghut. Terlepaslah terkena hukuman neraka atau tidak, karena itu merupakan otoritas Tuhan. Tapi yang jelas di dunia kita telah menciptakan penjara bagi jiwa dengan mengagungkan benda-benda, bukankah jiwa itu selalu ingin lepas kepada realitas yang tak terbatas? Itulah sifat dari jiwa terhadap Tuhan.

    Jika perilaku mitos, mistik dan pengsakralan itu  muncul di masa lalu itu lantaran faktor pendidikan dan kemajuan ilmu pengtahuan dan teknologi yang minim, lalu bagaimana dengan hari ini jika terjadi di ruang masyarakat yang sudah tergolong maju justru mereka yang lebih semarak merayakannya. Bukankah menjadi aneh. Kalaupun itu dipandang khas dan unik, atau barangkali ada membawa keberuntungan, tentu sebaiknya kita membuka mata menelusuri deretan sejarah manusia, terkait adakah pengaruh faktor angka terhadap keberuntungan nasib hidup orang-orang masa lalu. Hal ini tentu sulit dijawab karena tidak bisa dibuktikan.

    Jadi hemat penulis, persoalan angka ini bukanlah persoalan unik atau mistik. Tapi lebih kepada pertimbangan apa sesunguhnya dampak positif untuk kehidupan diri dan sosial terlebih dalam etika bertuhan.

    Bagi yang memandang mistik atau sakral silahkan saja. Karena itu adalah ruang keyakinan tiap orang, sedangkan individu lain tidak bisa mengintervensi. Tapi setidaknya kita perlu mengukur setiap sikap dengan setandar norma yang dianut agar tidak merusak diri.

    Bagi yang merayakan dengan alasan sebuah keunikan atau kelangkaan juga silahkan saja selama tidak memberi dampak buruk secara social, dan bagi golongan penonton, sebaiknya tidak mengomentari secara berlebihan terlebih sampai pada sikap menghakimi. Sebab pada saat yang sama semua kita dituntut untuk mengukur diri dari segala prilaku yang kita perbuat dengan stantar ketuhanan. Tujuannya agar semua kita dapat kembali secara fitrah sebagaimana awal dilahirkan.[]

     

    * Penulis adalah mahasiswa IAIN “IB” Padang Fakultas Syari’ah Jurusan Jinayah Siyasah

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here