Saat ini Indonesia masih belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan terhadap impor garam khususnya garam industri. Hal itu karena Indonesia belum mampu memproduksi garam dengan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan industri.
Masalahnya utama yang dihadapi adalah besarnya curah hujan di Indonesia. Sehingga membuat kadar garamnya tipis. Hal tersebut, membuat Indonesia baru mampu memproduksi garam dengan kadar NaCl sebesar 97 persen. Sementara kebutuhan NaCl untuk dunia industri adalah diatas 97 persen.
Boleh dikatakan soal garam untuk industri, Indonesia belum bisa berdaulat. Namun harapan itu datang dari mahasiswa dan alumni Institut Teknlogi Bandung (ITB). Mereka yang berasal dari berbagai jurusan ini membuat teknologi Kincir Elektrolisis, yang mampu menghasilkan garam dengan kualitas Industri.
“Kincir Elektrolisis yang kami kembangkan mampu menghasilkan kualitas NaCl sebesar 99.5 persen. Jumlah Nacl ini sudah sesuai dengan kebutuhan Industri,” kata Nadhira V. Pratama, ST penanggung jawab teknologi Kinci Elektrolisis kepada KabarKampus.
Lulusan Teknik Kelautan ITB ini menjelaskan, kincir tersebut menggunakan angin sebagai tenaga listrik. Kincir digunakan sebagai alat memompa air laut ke dalam kincir untuk di elektrolisis.
“Prosesnya yaitu dengan mengetrolisis air laut untuk menghasilkan larutan yang mengandung OH atau larutan basa. OH yang dihasilkan kemudian dikembalikan atau disemprotkan lagi ke tambak untuk bisa mengendapkan pengotor- pengotor yang yang ada di air laut yang masuk ke tambak,” katanya.
Setelah pengotor-pengotor yang terdiri dari maknesium, besi, dan kalsium dan sebagainya ini lepas, air laut tersebut akan mengkristal dan menghasilkan garam yang bening dengan kadar NaCl yang tinggi.
“Kadar NaClnya bisa 99.95 persen. Sehingga bisa masuk standar industri. Dan sebenarnya kita tidak perlu impor kalau sudah bisa produksi dengan tambahan teknologi elektrolisis ini,” ungkap Nadhira.
Keinginan untuk memproduksi Kincir Elektrolisis terinsipirasi dari upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas garam untuk industri. Ketika itu kualitas NaCl garam di Indonesia berada di bawah 97 persen. Namun upaya pemerintah untuk memisahkan pengotor dengan air laut tersebut hanya mampu meningkatkan kualitas garam dengan NaCl sebesar 97 persen. Dari sanalah mereka mengembangkan Kincir Eletrolisis.
Riset Kincir Elektrolisis sendiri sebenarnya dilakukan sejak tahun 2006. Pemanfaatan kincir ini baru digunakan untuk memproduksi garam kristal empat bulan yang lalu pada akhir tahun 2014. Mereka menempatkan dua Kincir Elektrolisis di lahan tambak garam seluas satu hektar di Indramayu, Cirebon.
Saat ini kata Nadhira, dalam sehari, tim yang tergabung dalam Garam Manis Company ini mampu memproduksi tiga per empat ton garam. Sementara dalam setahun dengan lahan satu hektar tersebut, mereka mampu memproduksi garam 90 ton pertahun. Jumlah tersebut masih jauh dari kebutuhan garam industri nasional yang mencapai 2.054 ton pertahun.
Nadhira dan kawan-kawan optimis kedepan mereka mampu memproduksi garam untuk memenuhi kebutuhan garam industri nasional. Namun saat ini mereka sedang mempromosikan garam industri mereka ke sejumlah perusahaan. Mereka berharap banyak perusahaan yang tertarik dengan garam mereka. Sehinggga mereka bisa memperluas tambak garam ke berbahai wilayah.
Menurut Nadhira, garam kualitas terbaik produksi Indonesia ini bisa lebih murah dari garam impor. Karena tidak ada biaya pengiriman atau impor garam ke Indonesia.
Ke depan, kata Nadhira, mereka akan terus mengembangkan kipas dengan menyesuaikan kondisi angin di lokasi tambak garam. Bahkan Nadhira dan teman teman akan memproduksinya dengan tenaga matahari.[]